View Full Version
Rabu, 08 Jul 2020

Menjaga Stamina Belajar Mahasiswa

Oleh: Roni Tabroni (Dosen Ilmu Komunikasi UMBandung)

Menjelang akhir semester genap di tahun 2020 ini, sepertinya berbagai Perguruan Tinggi kembali melakukan evaluasi terhadap proses belajar yang telah dilaluinya.

Evaluasi yang kemungkinan besar dilakukan secara daring (dalam jaringan) ini, justru mengevaluasi pembelajaran daring itu sendiri. Para dosen menyampaikan berbagai catatan pembelajaran dengan pengalaman yang berbeda-beda, walaupun pada kenyataannya mengalami masalah yang sama. 

Selama berada di rumah, proses pembelajaran yang dilakukan secara daring ini memanfaatkan berbagai aplikasi yang tersedia, mulai dari zoon, google meet, WhatsApp Grup, dan lain sebagainya. Semuanya dilakukan terkadang bergantian, sangat jarang yang melakukannya secara tetap berada pada aplikasi yang sama. 

Mengingat problem mahasiswa dan juga dosennya sendiri, terutama yang berada di daerah-daerah, mengalami kendala pada tingkat aksesibilitas internet. Kendala itu biasanya karena persoalan jangkauan sinyal juga keterbatasan paket internet. Problem ini bukan berarti tidak ada di perkotaan, sebab beberapa kampus, terutama dengan segmen menengah ke bawah, mengalami hal serupa. Apalagi ketika mahasiswanya sudah pulang kampung, persoalan daring ini menjadi-jadi. 

Tetapi, di antara problem yang senantiasa muncul yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan menjangkau sinyal internet dan kemampuan membeli paket internet, justru yang tidak kalah beratnya adalah persoalan finansial anak didik yang menghawatirkan. Sebagaimana diketahui publik, persoalan belajar memang bisa disiasati – bahkan guru di pedesaan sampai ada yang menjangkau anak didiknya ke rumah-rumah – tetapi ada hal yang yang diluar jangkauan pengelola Perguruan Tinggi yaitu terkait kemampuan ekonomi mereka. 

Pandemi covid-19 yang menggerus tatanan kehdupan masyarakat, telah membuat masyarakat kesulitan ekonomi, khususnya mereka yang hidup dari pendapatan harian. Bahkan sebagain para karyawan yaitu kaum gaji pun banyak yang dirumahkan. Secara tiba-tiba orang-orang yang berada di sebuah industri atau perusahaan raksasa, harus kehilangan mata pencahariannya. Sebagian lagi, bagi mereka yang mungkin masih beruntung, harus bekerja separoh waktu, artinya tidak kehilangan pekerjaan, tetapi penghasilannya menurun tajam. 

Kondisi krisis ekonomi yang sangat massif itu mau tidak mau kemudian menggeser cara mengalokasikan anggaran masyarakat pada hal-hal yang bersifat pokok, seperti sembako atau barang-barang yang dapat menopang kehidupannya. Sedangkan kuliah menjadi terabaikan. Artinya, orang tua, dan mahasiswa sendiri, tidak menjadikan bayar kuliah sebagai prioritas utama, sebab ada kebutuhan yang jauh lebih mendesak. Dalam situasi sangat sulit, keputusan itu harus diambil, walaupun mungkin bukan keinginannya.

Di sinilah saya kira bagaimana negara turun tangan, memberikan solusi praktis yang langsung dirasakan kemanfaatannya. Di saat-saat krisis seperti itu, kemungkinan mahasiswa membutuhkan topangan anggaran yang dapat memenuhi kewajibannya kepada kampus masing-masing, tidak lebih dari itu. Artinya kebutuhan membeli buku, atau hal-hal yang tidak terlalu mendesak bisa dikesampingkan. 

Untuk itu, bantuan yang sifatnya langsung untuk mengatasi persoalan beban biaya rutin seperti uang semesteran, dangat dibutuhkan. Negara di sini dapat hadir menjadi juru selamat bagi ribuan mahasiswa yang mungkin menunggu kehadirannya. Sehingga munculnya kebijakan Mendikbud tentang kebijakan untuk mendukung mahasiswa dan sekolah yang terdampak covid-19 sangat membantu. Ketiga bantuan itu seperti dukungan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Dana Bantuan UKT Mahasiswa, kemudian menyangkut Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Afirmasi dan BOS Kinerja. 

Kebijakan ini dapat saja disebuta sebagai terobosan, sebab hadir di saat masyarakat, khususnya mahasiswa dan orang tua nya sangat membutuhkan. Sebab bagaimanapun persoalan kuliah bukan hanya keinginan tetapi juga persoalan kemampuan. Sedangkan, di saat krisis, tidak semua kampus dapat membantu mahasiswanya yang terkena dampak pandem ini. Walaupun sebenarnya, ada saja kampus yang berkecukupan kemudian memberikan bantuan, minimal untuk sekedar pembelian paket internet, atau sebagiannya lagi yang memberikan potongan SPP bagi mahasiswanya. 

Tetapi sekali lagi, pandemi covid-19 ini memang sangat luar biasa, sehingga tidak banyak kampus yang memiliki kemampuan untuk memberikan solusi dari sisi finansial ini. Sebab, jika kita melihat lebih dalam lagi, justru banyak kampus yang keteteran untuk memenuhi kewajiban dalam menggaji dosen dan karyawannya, sebab salah satu persoalannya adalah mahasiswa yang mengendor dalam melakukan pembayaran semesteran tersebut. 

Bantuan di saat pandemi bagi mahasiswa dan juga pelajar dari pemerintah tentu saja menjadi solusi kongkrit. Sebab saat ini, selain kebutuhan jaringan internet dan harga paket yang diharapkan lebih murah, adalah adanya bantuan untuk membayar kewajibannya ke kampus masing-masing. Dengan demikian, diharapkan program tersebut dapat menjaga stabilitas belajar dan semangat mahasiswa untuk tetap bertahan sebagai insan pembelajar, walaupun tetap ada di rumah.  


latestnews

View Full Version