View Full Version
Selasa, 14 Jul 2020

Berorientasi Industri, Pendidikan Minus Visi?

 

MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mendorong upaya membangun ‘perjodohan’ atau kerjasama antara perguruan tinggi atau Kampus dengan industri.

Tujuan utama dari strategi ini agar program studi vokasi di perguruan tinggi vokasi menghasilkan lulusan dengan kualitas dan kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan dunia kerja. Sehingga koneksi antar keduanya bisa menguat.

Untuk diketahui, ada 100 prodi vokasi di PTN dan PTS yang ditargetkan melakukan pernikahan massal pada 2020 dengan puluhan bahkan ratusan industri. Dan program tersebut akan diteruskan dan dikembangkan pada tahun berikutnya dengan melibatkan lebih banyak prodi vokasi.

Nadiem mengatakan ‘perjodohan massal’ antara pihak Kampus dan industri dilakukan hingga tahap kontrak rekrutmen mahasiswa di perusahaan, terkait peluang usaha.

Pada sesi diskusi daring bersama Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud, Wikan Sakarinto, Nadiem mengatakan bahwa esensi daripada program ini yang paling diuntungkan adalah industri. (Merdeka.com 27/6 )

Lebih lanjut, Nadiem mengatakan bahwa pemerintah juga memiliki sejumlah peran sebagai pendukung, regulator, dan katalis. Meski demikian, pemerintah tidak bisa memaksa pihak kampus dan industri untuk saling bermitra lewat regulasi, melainkan dengan berbagai macam insentif untuk berinvestasi di bidang pendidikan, misalnya lewat penelitian.

Dia menjelaskan, bahwa Kemendikbud telah menjalankan program Kampus Merdeka. Salah satunya untuk menghasilkan mahasiswa yang unggul dan bisa menjadi pendisrupsi revolusi industri 4.0. Sejalan dengan ini, kementerian keuangan (Kemenkeu) juga telah mengeluarkan insentif terkait sejumlah penelitian vokasi.

Tak hanya itu, dalam program kampus merdeka, struktur partisipasi mahasiswa saat magang di industri juga diperpanjang dari dua bulan menjadi satu semester hingga satu tahun. Harapanya, agar para mahasiswa bisa memanfaatkan kesempatan belajar di industri lebih baik mendalam sehingga kesempatan industri untuk merekrut juga jauh lebih besar.

Seperti biasa. Kelancaran proses produksi dan korporasi selalu menjadi pertimbangan utama lahirnya kebijakan dalam sistem kapitalisme. Bahkan sampai pada sektor pendidikan, orientasinya pun tetap ke arah sana. Fakta yang ada, semakin mengokohkan bahwa peran lembaga pendidikan sekedar pabrik (pencetak) pekerja pabrik  yang sengaja disistemkan demi memenuhi kebutuhan pasar yang murah meriah.

Benarlah apa yang dikatakan Karl Marx bahwa kapitalisme adalah sumber dari berbagai permasalahan yang ada di dunia dan merupakan proses dari dehumanisasi. Dimana hakikat kemanusiaan perlahan terlupakan karena profit oriented yang selalu dijadikan tumpuan kapitalisme.

Keadaan serupa tentu akan merambah pada sektor pendidikan. Lembaga pendidikan kehilangan visinya sebagai pembentuk kepribadian yang utuh. Ia hanya menekankan pengajaran menurut kurikulum yang telah di paket demi memperoleh sertifikat sebagai legitimasi bagi individu untuk memainkan perannya dalam pasar kerja yang tersedia.

Kondisi ini diperparah dengan getolnya sikap penguasa membawa Indonesia yang notabene berpenduduk muslim terbesar menjadi negara sekuler. Dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama membuat peserta didik gencar dicekoki  doktrin bahwa agama tidak layak diintegrasikan dengan segala urusan kehidupan. Walhasil, bukannya menjadi pilar peradaban terbaik, pendidikan justru beralih fungsi sebagai mesin penghancur generasi.

Lihat saja. Dari hari ke hari, dekadensi moral makin parah menyasar generasi. Pergaulan bebas, LGBT, narkoba, dan pornografi - pornoaksi seolah menjadi hal lumrah dan patut dimaklumi. Bahkan perilaku korupsi pun tak ubahnya dilakukan oleh kalangan berdasi yang kenyang akan pendidikan tinggi.

Hakikat pendidikan yang makin membias ini tentu mustahil ditemui dalam Islam. Karena jelas, tujuan pendidikan tidaklah lepas dari tujuan hidup manusia, yakni menciptakan pribadi yang sadar akan posisinya sebagai hamba Allah. Yang dengan kesadaran itu, setiap individu muslim diharapkan mampu meningkatkan nilai ketaqwaan pada dirinya. Oleh karena itu, arah pendidikan tidak hanya difokuskan pada perbaikan dari sisi pola pikir peserta didik, namun juga pola sikap yang tentu disandarkan pada Islam.

Adapun terkait kurikulumnya, maka setiap pelajaran dan metodologi pendidikan disusun selaras dengan akidah Islam. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqâfah Islam dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya, mendapat porsi yang besar dengan tetap menyesuaikan dengan waktu bagi ilmu lainnya. Dengan langkah ini, selain berhasil mencetak output bersyaksiyah (berkepribadian) islam, generasi juga akan mahir dalam penguasaan nya terhadap tsaqofah Islam dan ilmu kehidupan (IPTEK). Hal ini terbukti dengan lahirnya banyak cendekiawan muslim terdepan di dunia dengan ragam karyanya yang monumental. Sebut saja Al Khawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu Batutah, Imam Syafi'i dan masih banyak lagi.

Namun perlu digarisbawahi bahwa keagungan konsep pendidikan ini hanya akan terealisasi jika Islam diterapkan secara menyeluruh dalam bingkai kehidupan dengan institusinya yang bernama khilafah. Karena dengannya, sistem ekonomi yang ada mampu menunjang penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang bermutu untuk menunjang berkembangnya ilmu pengetahuan secara pesat. Karena dengannya, pendidikan gratis bagi setiap individu juga terjamin realisasi nya. Bahkan khilafah tak segan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi tanpa dipusingkan lagi biaya.

Kalau sudah begini, apalagi yang sebenarnya menunda kita untuk tidak turut memperjuangkan penerapan syariat yang sempurna ini?*

Maya A / Gresik


latestnews

View Full Version