View Full Version
Selasa, 14 Jul 2020

“Menikahkan” Vokasi dan Industri, Tepatkah?

 

Oleh:

Muntik A. Hidayah || Aktivis Dakwah dan Pegiat Literasi

 

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan luncurkan gerakan “pernikahan massal”. Bukan pernikahan antara dua insan seperti pada umumnya, namun ‘pernikahan’ antara vokasi dan industri. Sebagaimana dilansir oleh ANTARANEWS (27/5/2020), Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud, Wikan Sakarianto, menuturkan, “Tujuan utama dari gerakan ini agar program studi vokasi di perguruan tinggi vokasi menghasilkan lulusan dengan kualitas dan kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan dunia kerja. Industri dan dunia kerja, mohon bersiap menyambut kami.”

Tak tanggung-tanggung, target dari program ini adalah ‘menikahkan’ 100 prodi vokasi dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan puluhan bahkan ratusan industri pada tahun 2020. Dan akan terus dikembangkan pada tahun berikutnya dengan lebih banyak prodi vokasi.

Target ini turut didukung dengan memasukkan materi pelatihan di industri ke dalam kurikulum. Kemudian diajarkan tidak hanya oleh dosen tetapi juga praktisi dari industri. Wikan juga menambahkan, “ Jangan sampai, sudah lulus kuliah, masih harus di-training lagi oleh industri dengan susah payah, memakan banyak waktu dan berbiaya mahal.”

Lebih lanjut, diberitakan oleh theworldnews.net (27/6/2020), Mendikbud, Nadiem Makarim, menuturkan, “Esensi daripada program ini sebenarnya yang paling duntungkan ya mereka, adalah industri tentunya. Karena project saja cost yang para industri ini harus membayar untuk melatih staf-staf mereka, untuk mendapatkan talenta-talenta banyak sekali yang mesti diimpor, perlu dari luar kota, dari tempat lain dan itu perlu mengeluarkan banyak cost.”

Nadiem juga menambahkan bahwa industri mesti melihat SMK ataupun vokasi sebagai lembaga pelatihan para pekerjanya. Selain itu, industri juga bisa mendapatkan keuntungan lain bahwasannya lulusan dari SMK maupun vokasi memiliki harga yang kompetitif sehingga industri tidak dibebani dengan biaya yang besar untuk merekrut dan mempekerjakan mereka.

Bukanlah hal yang mengherankan melihat fakta-fakta yang demikian dalam sistem pendidikan kapitalis. Lembaga pendidikan dijadikan sebagai pencetak pegawai pabrik dan bukannya generasi gemilang berkepribadian unggul. Tujuan dari sistem pendidikan ini tidak lain hanyalah mencetak lulusan-lulusan yang siap kerja. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila nilai-nilai moral dikesampingkan, kepribadian anak didik tidak dipedulikan, hingga kesejahteraan guru yang merupakan bagian penting dari keberhasilan proses belajar mengajar juga diabaikan.

Sungguh miris! Kian hari kian jelas orientasi pendidikan di negeri ini. Bahkan secara terang-terangan Mendikbud sendiri yang mengatakan bahwa yang sangat diuntungkan dalam hal ini tidak lain adalah industri. Maka inilah masalah yang tak bisa kita pungkiri sedang melanda negeri. Lagi lagi ekonomi, lagi-lagi materi. Visi pendidikan menjadi kabur, tertutup oleh ambisi akan duniawi.

Kenyataan di lapangan ternyata jauh dari cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Pun jauh dari tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional yang termaktub dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 31 ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.” Disusul dengan pasal yang sama ayat 5, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” Apa hendak dikata? Ketika para kapitalis yang justru berjaya membawa arah pendidikan di negeri tercinta ini.

Sistem Pendidikan Islam: Pencetak Generasi Emas

Berbeda dengan sistem pendidikan sekuler kapitalis yang menjadikan lembaga pendidikan sebagai pemasok pegawai pabrik bagi perekonomiannya. Sistem pendidikan Islam akan menentukan secara pasti output yang akan dihasilkan, yakni generasi yang berkepribadian Islam; mempunyai tsaqofah Islam yang mendalam; serta unggul dalam iptek.

Untuk mencapai tujuan ini maka negara akan secara cermat menentukan kurikulum yang murni bersumber dari Islam. Adapun pengembangan iptek juga akan senantiasa didasarkan pada aturan agama dan tidak lain tujuannya adalah semata-mata untuk kemajuan dunia Islam dan kaum muslimin.

Kesejahteraan guru pun akan turut diperhatikan agar mereka bisa fokus dan senang dalam mendedikasikan potensinya guna mendidik generasi. Salah satu buktinya bisa kita lihat pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang menggaji guru sebesar 15 dinar atau setara dengan 63.85 gram emas. Jika dirupiahkan sekira hampir 32 juta per bulan.

Berkat mekanisme pengaturan sistem pendidikan Islam ini, sejarah mencatat lahirnya cendekiawan-cendekiawan muslim seperti Al-Khawarismi, Ibnu Sina, Laban dari Cordoba, Maryam Al-Asturlabi, Lubna, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sistem pendidikan Islam menjadi mercusuar pendidikan dunia. Raja dan kaisar pun saling mengirimkan putra dan putrinya ke negeri Islam untuk mendapatkan pendidikan terbaik pada masanya. Hadanallahu waiyyakum.*


latestnews

View Full Version