View Full Version
Kamis, 06 Aug 2020

Keterbatasan Pembelajaran Daring Amputasi Hak Siswa

 

Oleh:

Siti Subaidah || Pemeehati Lingkungan dan Generasi

 

MASA pandemi yang tak kunjung usai sudah bosan dirasakan masyarakat. Selama kurang lebih 7 bulan pandemi Covid-19 membersamai kehidupan kita. Dari sekedar istilah asing yang baru terdengar hingga kini lazim menjadi topik pembicaraan baik serius maupun untuk sekadar bercandaan.

Lamanya pandemi ini tentu menyisakan segelintir masalah dalam tatanan kehidupan baru ini. Tak terkecuali dalam ranah pendidikan. Disaat panduan protokol kesehatan yang mengharuskan menjaga jarak dan menghindari kerumunan harus dijalankan. Maka sekolahpun diharuskan menyesuaikan diri dengan peraturan yang ada. Alhasil sekolah daring pun menjadi pilihan.

Alih-alih dapat memberikan sumbangsih dalam menghambat penyebaran virus corona. Ranah pendidikan pun akhirnya menemui jalan buntu. Sekolah daring banyak menuai keluhan dari berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari keterbatasan HP android, jaringan yang tidak memadai, dan minimnya dana untuk membeli kuota.

Belum lagi rintihan emak-emak yang harus memandu dan menjelaskan kembali materi pelajaran yang diberikan oleh guru padahal mereka memiliki latar pendidikan yang berbeda-beda. Menurut riset terbaru INOVASI (Inovasi Untuk Anak Sekolah Indonesia) mayoritas responden yang diminta melakukan pembelajaran daring bekerja sebagai petani (47%) dan berpendidikan SD (47%). 

Proses seperti komunikasi dengan guru, mendampingi proses belajar, membantu anak memahami materi, dan menyediakan alat pendukung pembelajaran sangat dibebankan pada Ibu. Artinya, akses pembelajaran daring tak hanya ditentukan lokasi, tetapi juga tingkat pendidikan, pekerjaan, dan status ekonomi orang tua. ( asumsi.co)

Fakta di atas jelas sekali menggambarkan bahwa ranah pendidikan pun tak siap menghadapi situasi pandemi ini. Pembangunan infrastruktur yang begitu masif dilakukan nyatanya tak diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang pendidikan. Bahkan bisa dikatakan pembangunan yang ada sama sekali tak memberi manfaat bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Alias hanya menguntungkan segelintir golongan tertentu.

Pembelajaran jarak jauh yang menuntut sarana telekomunikasi dan ketersediaan jaringan memaksa puluhan juta pelajar kehilangan haknya. Rumitnya skema pembelajaran daring ini pun membuat stres tidak hanya di kalangan guru, bahkan anak sekolah dan orang tua. Penyesuaian-penyesuaian yang ada menuntut pengorbanan lebih bahkan tak sedikit yang berujung pada kematian.

Masih ingatkah kisah Seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar bernama Rudi Salam tewas karena terjatuh dari menara masjid di kampung halamannya demi mencari sinyal? Belum lagi perjalanan jauh yang ditempuh siswa siswi SD berkilo-kilo meter agar mendapat jaringan internet. Ditambah kasus kriminalitas seorang bapak nekat mencuri laptop demi anaknya untuk belajar daring. Hal tersebut sangat miris terasa manakala Indonesia menggembar-gemborkan predikat menuju negara maju. Lalu pertanyaannya “Maju” darimana?

Islam Menjamin Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pendidikan

Negara yang menerapkan aturan Islam sebagai landasannya, akan senantiasa mengutamakan kepentingan umat di atas segala-galanya. Jaminan kebutuhan dasar masyarakat merupakan hal yang wajib dipenuhi negara dalam kondisi apapun. Hal itu diantaranya kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan termasuk pendidikan.

Dalam Islam, negara mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Baik itu persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah, metode pengajaran,  serta sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mengoptimalkan kegiatan belajar mengajar. Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah  mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Rasulullah saw. Bersabda:

Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hal inilah yang menjadi dasar periayahan atau pengaturan kehidupan dasar masyarakat oleh negara. Bahkan menjadi sebuah kedzoliman jika ini tidak terpenuhi. Dengan mekanisme pengaturan kepemilikan umum yang mewajibkan pengelolaan sumber daya alam ditangan negara bukan pada asing maka seluruh pemasukan akan masuk kas negara. Pemasukan inilah yang nantinya digunakan untuk membiayai seluruh aktifitas periayahan umat, termasuk dalam hal ini pendidikan.

Berdasarkan sirah Nabi saw. dan tarikh Daulah Khilafah Islam (Al-Baghdadi, 1996), negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara. Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban negara yang diambil dari kas Baitul Mal. 

Sebagai contoh Madrasah al-Muntashiriah yang didirikan Khalifah al-Muntahsir Billah di kota Baghdad. Di sekolah ini setiap siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya oleh negara. Fasilitas sekolah disediakan seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit, dan pemandian. Begitu pula dengan Madrasah an-Nuriah di Damaskus yang didirikan pada abad 6 H oleh Khalifah Sultan Nuruddin Muhammad Zanky. Di sekolah ini terdapat fasilitas lain seperti asrama siswa, perumahan staf pengajar, tempat peristirahatan, para pelayan, serta ruangan besar untuk ceramah dan diskusi.

Inilah gambaran ketika Islam dijadikan dasar dalam membangun dunia pendidikan. Maka dalam pandemi sekalipun hak belajar dan bersekolah tidak akan teramputasi. Siapapun akan dapat terus menimba ilmu dengan segala sarana dan prasarana yang disediakan gratis oleh negara. Wallahu a'lam bishowwab.*


latestnews

View Full Version