View Full Version
Kamis, 06 Aug 2020

Hadirnya Negara dalam Pendidikan di Masa Pandemi

 

Oleh:

Irma Setyawati, S.Pd || Pemerhati masalah sosial dan pendidikan

 

SEJAK pandemi covid-19 kegiatan belajar mengajar (KMB) harus dilaksanakan secara daring. Banyak cerita dari KMB daring. Ada yang menyedihkan, memprihatinkan hingga yang mengundang tawa. Tak hanya bagi pelajar, tapi juga dari pihak guru karena metode baru dalam pendidikan ini mengubah tatanan KBM.

Bagi sebagian masyarakat perkotaan, sudah bukan sesuatu yang aneh atau sulit untuk mempunyai gawai. Namun, bagi kebanyakan masyarakat pedesaan, perangkat telepon pintar itu menjadi barang baru dan mewah, terlebih bagi keluarga dengan ekonomi lemah. Padahal telepon pintar menjadi syarat lancarnya KBM.

Seolah negara tidak mempedulikan serba serbi yang menyertai realitas daring yang sudah berjalan saat ini. Karena selama ini keluhan keluhan yang datang baik dari pihak sekolah, guru hingga orang tua siswa kurang diperhatikan oleh negara. Negara hanya mentargetkan KBM harus tetap berjalan tanpa di sertai dengan jaminan sarana dan prasarana yang memadai.

Jika negara memiliki target bahwa meskipun di masa pandemi harus ada KBM meski melalui daring. Maka negara harus hadir secara penuh sebagai penyelenggara utama pendidikan untuk menyiapkan kurikulum darurat hingga sarana dan prasarana yang mendukung berjalannya KBM tersebut. Bahkan sampai pada menyediakan layanan jejaring sosial gratis dan berkualitas untuk guru dan murid.

Karena hakikatnya jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar (hajah asasiyyah) bagi seluruh rakyat seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan, berada di tangan negara. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi SAW:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya (HR al-Bukhari).

Atas dasar itu, dalam kondisi tidak ada pandemi pun negara harus menjamin setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan mudah. Apalagi dalam kondisi pandemi seperti saat ini.

Dalam konteks pendidikan, jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara bisa diwujudkan dengan cara menyediakan pendidikan gratis bagi rakyat. Negara juga wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya.

Selain itu negara juga berkewajiban menyediakan tenaga – tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan. Para Sahabat telah sepakat mengenai kewajiban memberikan ujrah (gaji) kepada tenaga-tenaga pengajar yang bekerja di instansi pendidikan negara Khilafah di seluruh strata pendidikan. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah, sebanyak 15 dinar setiap bulan. Gaji ini beliau ambil dari Baitul Mal.

Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam negara Khilafah diambil dari Baitul Mal, yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. Seluruh pemasukan Negara Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos fai’ dan kharaj, serta pos milkiyyah ‘amah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi maka negara tidak akan menarik pungutan apapun dari rakyat.

Jika harta di Baitul Mal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, maka Negara Khilafah meminta sumbangan sukarela dari kaum Muslim. Jika sumbangan kaum Muslim juga tidak mencukupi, maka kewajiban pembiayaan untuk pos-pendidikan beralih kepada seluruh kaum Muslim.

Sebab, Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran wajib—seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan—ketika Baitul Mal tidak sanggup mencukupinya. Selain itu, jika pos-pos tersebut tidak dibiayai, kaum Muslim akan ditimpa kemadaratan. Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT memberikan hak kepada negara untuk memungut pajak (dharibah) dari kaum Muslim.

Hanya saja, penarikan pajak dilakukan secara selektif. Artinya, tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak. Hanya pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja yang akan dikenain pajak. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup dibebaskan dari membayar pajak. Berbeda dengan negara kapitalis, pajak dikenakan dan dipungut secara tidak selektif. Bahkan orang-orang miskin pun harus membayar berbagai macam pajak atas pembelian suatu produk atau pemanfaatan jasa-jasa tertentu.*


latestnews

View Full Version