View Full Version
Senin, 08 Mar 2021

Nikah Muda, Why Not?

 

Oleh:

Iffa Destra

 

PERNIKAHAN adalah suatu ibadah. Sebab menikah adalah salah satu perintah Allah SWT. Ketika ada dorongan untuk menikah, maka menikahlah dengan niat yang didasari oleh rasa keimanan. Secara alami, pernikahan dapat memenuhi fitrah manusia yaitu rasa cinta, kasih, sifat keibuan dan kebapakan.

Dengan terpenuhinya fitrah ini maka kehidupan menjadi indah, tingkat stress berkurang, hati menjadi lembut, tumbuh rasa simpati dan juga melahirkan ketentraman dan kedamaian. Bahkan sesuatu yang semula haram dilakukan sebelum melangsungkan akad nikah menjadi halal dan berpahala setelah melangsungkan akad nikah.

Tingginya permintaan dispensasi nikah menunjukkan bahwa menaikkan batasan usia pernikahan bukanlah solusi. Peningkatan itu dikarenakan adanya revisi UU perkawinan yang seharusnya minimal 16 tahun, sekarang telah diubah menjadi 19 tahun.

 “Selama tahun 2020 banyak yang mengajukan dispensasi nikah. Hingga kini mencapai 300 perkara,” ujar Panitera Pengadilan Agama Surabaya, Abdus Syakur.

Islam tidak membatasi usia ideal sebuah pernikahan. Namun, secara umum memiliki kriteria yaitu usia baligh, berakal sehat, serta mampu membedakan baik dan buruk. Para fuqoha berbeda pendapat tentang usia ideal pernikahan. Dimana Mahzab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa usia ideal dalam pernikahan adalah 15 tahun, sedangkan Abu Hanifa berpendapat bahwa usia kedewasaan datang pada usia 19 tahun bagi perempuan dan 17 tahun bagi laki-laki. Lain halnya dengan Imam Malik yang berpendapat bahwa usia ideal kedewasaan yaitu 18 tahun bagi laki-laki maupun perempuan.

Adapun tujuan pernikahan di dalam Islam yakni meliputi memperoleh keturunan, menyalurkan hawa nafsu syahwat dengan jalan yang benar, menyenangkan jiwa, mengatur rumah tangga, dan memimpin wanita. Karena tujuan itulah maka ketika seseorang menikah, dia akan dituntut untuk mempunyai sikap dewasa dengan memiliki tanggung jawab penuh.

Dengan demikian, sebab dari peningkatan dispensasi untuk menikah seharusnya bukan hanya didasari  untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan seksualnya saja, tetapi ada komitmen yang menjadikan ridho Allah SWT sebagai patokan atau tolak ukurnya. Janji yang diucap tak cukup sebatas sampai sehidup semati, melainkan juga sedunia seakhirat. Sepasang suami istri akan berupaya bersama untuk melakukan ketaatan agar dapat menjadi penghuni surga yang sangat dirindukan.

“Barangsiapa di antara kalian sudah mampu memperoleh tempat tinggal, maka hendaklah menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan penglihatan dan lebih menjaga farji. Barangsiapa tidak mampu maka sebaiknya berpuasa, karena puasa itu baginya merupakan perisai atau benteng.” (HR. Bukhari).*


latestnews

View Full Version