View Full Version
Jum'at, 27 Aug 2021

Afghanistan, ‘The Hidden Gem’ yang Jadi Rebutan

 

Penulis:

Fita Rahmania, S. Keb., Bd.

 

AFGHANISTAN kembali menjadi pusat perhatian dunia. Polemik yang berlangsung sejak 20 tahun yang lalu, kini memuncak diiringi dengan pengambilan kekuasaan oleh suatu kelompok militan bernama Taliban. Kelompok yang berhaluan Islam konservatif itu telah memegang wilayah ibu kota Kabul dan mulai menduduki kantor kepresidenan.

Sebuah video beredar viral di dunia maya yang menggambarkan beberapa pejabat kelompok itu mulai duduk dan menguasai sebuah ruangan di kantor presiden. Ini dilakukan setelah Presiden Ashraf Ghani, memutuskan untuk mengungsi dari negara itu.

Penaklukkan Taliban atas ibu kota juga menandai kembalinya kekuasaan mereka atas Afghanistan setelah digulingkan pada 2001 akibat diinvasi pasukan AS dan sekutunya. Sebelumnya mereka sempat memegang kursi kekuasaan selama lebih kurang 5 tahun sejak 1996.

Dengan berdalih tragedi penyerangan World Trade Center (WTC) 9 September, AS secara massif mengirimkan pasukannya untuk menduduki Afghanistan. Isu terorisme yang dihembuskan semata-mata adalah kedok untuk menutupi maksud busuk mereka, yakni keinginan menguasai kekayaan alam energi negeri tersebut . Seperti negara penjajah lain, mereka akan melakukan segala cara demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Namun, kini mereka harus berhenti melancarkan aksinya. Taliban tidak akan segan memaksa mereka angkat kaki dari Afghanistan. Dilansir dari republika.co.id, Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada Selasa (24/8) menegaskan kembali bahwa AS sedang berupaya untuk menyelesaikan penarikan pasukannya dari Afghanistan pada batas waktu 31 Agustus.

Bagi AS sebagai negara penjajah berat rasanya untuk melepaskan Afghanistan, negeri yang layak dijuluki 'the hidden gem state' atau negara dengan permata yang tersembunyi. Pesona Afghanistan semakin nampak ketika AS mulai melakukan riset mendalam sumber daya alam yang selama ini tidak pernah terkuak.

Pada tahun 2010, sebuah laporan dari pakar militer AS dan ahli geologi memperkirakan bahwa Afganistan, salah satu negara termiskin di dunia, memiliki kekayaan mineral nyaris US$1 triliun (Rp14.000 triliun). Adapun mineral tersebut antara lain besi, tembaga, litium, kobalt, dan logam langka lainnya. Dalam dekade berikutnya, sebagian besar sumber daya mineral tersebut tetap tak tersentuh karena kondisi yang berkembang di negara itu. Sementara itu, nilai jual mineral tersebut kian meroket dipicu transisi global ke energi hijau.

Sebuah laporan lanjutan oleh pemerintah Afganistan pada tahun 2017 bahkan memperkirakan, kekayaan mineral negara itu mungkin lebih besar, mencapai US$3 triliun (Rp42.000 triliun), termasuk bahan bakar fosil.

Sebut saja lithium, yang digunakan dalam baterai untuk mobil listrik, smartphone, dan laptop, menghadapi permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 20% dibandingkan dengan hanya 5-6% beberapa tahun yang lalu. Selain itu, ada permintaan tembaga yang juga meningkat 43% sepanjang tahun 2020. (news.detik.com)

Sungguh sumber daya alam dan energi yang fantastis telah dikaruniakan Allah SWT untuk rakyat Afghanistan. Berkah yang harus dijaga dan dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat semata. Namun, melihat fakta yang ada, hal ini tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Rakyat seperti diombang-ambing di antara runyamnya hegemoni kekuasaan di negara tersebut. Tidak ada jaminan penguasa yang baru pun akan menjadi amanah dan melupakan kepentingan pribadinya demi rakyat.

Islam memiliki pandangan khusus dalam pengelolaan sumber daya alam energi (SDAE) dalam sebuah negara. SDA energi merupakan kepemilikan umum. Umatlah pemilik sesungguhnya dari SDA energi, sementara negara hanya sebagai pengelola saja.

Karena merupakan kepemilikan umum, maka diharamkan bagi swasta untuk menguasainya, karena itu berarti menghalangi umat mendapatkan haknya.

Rasulullah ﷺ bersabda,

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, api, dan padang gembalaan.” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah)

Pada prinsipnya, negara hanya menarik biaya dari masyarakat sebesar biaya produksi, transportasi, dan litbang dari produk energi yang dihasilkan. Namun, negara boleh-boleh saja mengambil keuntungan dari harga produk energinya, dengan catatan tidak memberatkan dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan masyarakat dalam bentuk lain.

Hal ini tidak dapat terwujud tanpa adanya pemerintahan yang benar-benar menerapkan aturan Islam secara keseluruhan. Selama belum terpenuhi syarat tersebut, rakyat harus tetap waspada pada bujuk rayu para pemangsa rakus yang sudah siap mengambil semuanya ketika rakyat  tidak punya pelindung yang kuat dan memiliki ketaatan penuh kepada Allah.*


latestnews

View Full Version