View Full Version
Rabu, 03 Nov 2021

Ambiguitas Tes PCR di Indonesia

 

Oleh:

Yuli S Ridwan, S.H. || Aktivis dakwah tinggal di Banda Aceh

 

PENURUNAN kasus pandemi covid-19 di Indonesia, setidaknya memberikan harapan bagi para pihak untuk bisa kembali beraktifitas di ruang publik seperti sediakala.

Meskipun secara umum, rakyat tetap dianjurkan patuhi protokol kesehatan, sebagai bentuk prinsip kehati-hatian dan kewasapadaan di masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Hanya saja, kabar gembira untuk bisa berpergian jarak jauh lintas wilayah sepertinya masih akan berhadapan dengan prasyarat ketat, dimana para calon penumpang maskapai penerbangan diminta untuk memenuhi syarat tes polymerase chain reaction (PCR), yang tentu saja tidak gratis, alias berbayar.

Sebagaimana tertuang dalam instruksi menteri dalam negeri (Inmendagri) Nomor 53 tahun 2021, pemerintah mewajibkan penumpang perjalanan udara membawa hasil tes PCR (H-3) negatif sebagai syarat penerbangan pada masa PPKM.

Artinya, setiap kali hendak berpergian lintas wilayah, maka calon penumpang maskapai penerbangan harus kembali merogoh uang saku untuk membayar tes PCR, sehingga terpenuhi syarat untuk bisa menggunakan pelayanan maskapai penerbangan domestik di Indonesia.

Dilansir dari Viva.co.id (Minggu, 24 Oktober 2021), kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, Taqwaddin Husin menilai, aturan (Inmendagri) tersebut memberatkan masyarakat.

"Kebijakan ini menyusahkan dan memberatkan rakyat, apalagi bagi orang daerah yang perlu ke Ibu Kota provinsi atau ke Ibu Kota negara Jakarta," kata Taqwaddin Husin di Meulaboh, seperti dilansir dari Antara, Minggu (24 Oktober 2021).

Lebih jauh, Taqwaddin Husin juga menyarankan agar kebijakan tes PCR sebelum terbang menggunakan pesawat udara perlu ditinjau kembali dan dibatalkan.

 

Kapitalisasi Pelayanan Kesehatan

Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari kebijakan pemerintah melalui instruksi menteri dalam negeri nomor 53 tahun 2021, yang mewajibkan calon penumpang maskapai penerbangan domestik untuk menunjukkan hasil tes PCR (H-3) negatif, sebagai prasyarat menggunakan fasilitas maskapai penerbangan.

Pertama, pada faktanya instruksi mendagri tersebut tidak berbanding lurus dengan ketersediaan sarana tes PCR di seluruh wilayah di Indonesia.

Kedua, meskipun biaya tes PCR sudah ditetapkan batasannya, tetap saja biaya sekali tes PCR masih terasa mahal bagi calon penumpang maskapai penerbangan domestik, jika harus bolak-balik membayar biaya ratusan ribu untuk setiap kali tes PCR ketika mau menggunakan pelayanan maskapai penerbangan.

Ketiga, kebijakan mewajibkan tes PCR bagi calon penumpang maskapai penerbangan, belum bisa mengatasi persoalan teknis pelayanan tes PCR yang dihadapi calon penumpang maskapai penerbangan di bandara wilayah setempat.

Artinya, kebijakan pemerintah melalui instruksi menteri dalam negeri nomor 53 tahun 2021 tersebut, bukannya memudahkan pelayanan penerbangan bagi calon penumpang maskapai penerbangan, tapi malah menimbulkan masalah baru.

Di satu sisi calon penumpang maskapai penerbangan domestik, diwajibkan menunjukkan hasil tes PCR (H-3) negatif. Tapi di sisi lain, pemerintah masih belum berani mengeluarkan kebijakan untuk menggratiskan tes PCR tersebut kepada seluruh calon penumpang maskapai penerbangan domestik.

Bahkan pemerintah juga belum berani "pasang badan" untuk merogoh anggaran negara untuk mensubsidi biaya tes PCR, agar bisa semurah mungkin. Anehnya, terhadap oknum konglomerat yang menghindari tagihan pajak, pemerintah bisa bersikap berbaik hati untuk meringankan tagihan pajak dalam bentuk tax amnesty.

Dari masalah ini, pemerintah begitu terlihat hanya berposisi sebagai regulator yang sebatas beraksi menyarankan kepada penyedia layanan tes PCR agar menurunkan biaya tes PCR. 

Seperti diketahui, biaya tes PCR secara mandiri di Indonesia dari sejak merebaknya kasus pandemi covid-19, sempat menembus biaya sebesar jutaan rupiah per sekali tes PCR. Padahal di negeri tetangga seperti di India, biaya sekali tes PCR secara mandiri tidak sampai seratus ribu rupiah.

Walhasil, kabar turunnya kasus pandemi covid-19 di Indonesia, yang disertai kabar turunnya biaya tes PCR dari yang semula jutaan rupiah kini menjadi Rp.275.000,- untuk pulau Jawa-Bali dan Rp.300.000,- untuk kawasan di luar pulau Jawa-Bali, menghasilkan pertanyaan berderet yang tidak ada habis-habisnya.

Siapa sebetulnya yang diuntungkan, dari kebijakan inmendagri nomor 53 tahun 2021 tersebut.

Apakah kebijakan pemerintah tersebut murni untuk melindungi rakyat dari potensi penularan pandemi covid-19 selama dalam perjalanan di masa PPKM.

Ataukah, kebijakan pemerintah tersebut lebih berpihak kepada sektor swasta penyedia utama layanan fasilitas publik, yang menjadi rekanan akrab pemerintah dalam mengelola negara bercorak kapitalistik sekular ini.

 

Pandangan Islam 

Meskipun Indonesia adalah negeri bermayoritas Muslim, tapi kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah dalam mengurusi rakyat saat ini, masih bercorak kapitalistik-sekular. 

Syariah Islam masih dijalankan secara parsial di negeri bermayoritas Muslim ini, karena Indonesia yang berbentuk republik ini masih menggunakan kendaraan politik demokrasi, dimana kedaulatan berada di tangan rakyat. Sementara dalam negara bersistem Islam, kedaulatan milik Allah.

Sejatinya kebijakan politik dan ekonomi Islam, punya banyak solusi praktis yang dapat menjembatani negeri yang kaya sumber daya alam seperti Indonesia ini, untuk mampu mencukupi segala kebutuhan seluruh rakyat, baik kebutuhan primer individu (semisal, sandang, pangan, papan) maupun kebutuhan primer kolektif masyarakat (diantaranya, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, dan pelayanan keamanan).

Dalam kebijakan politik dan ekonomi Islam, penguasa berposisi sebagai pengurus urusan umat. Kebijakan di segala bidang yang dijalankan penguasa tinggal merujuk kepada syariah Islam, yang dijamin akan selalu relevan di sepanjang zaman.

Rasulullah Saw, bersabda, "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat), dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." [HR. Al Bukhari]

Semisal persoalan pelayanan di bidang kesehatan, Islam memandangnya sebagai bagian dari kebutuhan pokok primer masyarakat, yang wajib dipenuhi oleh negara terhadap seluruh lapisan masyarakatnya, tanpa memandang latar belakang warganya. Semua warga negara dalam sistem Islam berhak mendapat fasilitas kesehatan yang memadai secara gratis dari negara.

Dalam konsep bernegara, program pelayanan publik, ditopang secara komprehensif dengan rancangan kebijakan ekonomi Islam yang terintegrasi syar'i, dimana sumber pemasukan dan pengeluaran negaranya itu sudah bersifat tetap, sehingga tinggal dioperasionalkan saja oleh khalifah selaku pemimpin umat, dalam mengurusi urusan umat.

Baitul maal merupakan lumbung APBN syariah, yang pemasukan dan pengeluaran anggarannya tidak perlu diperdebatkan lagi oleh siapapun, lantaran khalifah selaku pemimpin umat diberikan haq dan kewajiban penuh oleh Khiththab Asy-Syari' (Allah Swt Sang Pembuat hukum), dalam menggunakan anggaran yang ada di baitul maal untuk memenuhi kebutuhan rakyat serta urusan jihad fii sabilillah.

Negara berkonsep syar'i, tidak akan mengandalkan pajak dan utang luar negeri berbasis ribawi sebagai sumber pendapatan utama negara. Pemasukan negara dalam sistem Islam, harus halal sumbernya dan halal juga penggunaannya.

Negara berlandaskan Islam, memiliki 12 sumber pemasukan tetap, yang terdiri dari dua kategori, yaitu 11 diantaranya adalah sumber pemasukan utama, dan 1 diantaranya adalah sumber pemasukan yang bersifat darurat ketika kondisi baitul maal kosong.

Sebelas sumber pemasukan utama diantaranya, anfal, ghanimah, fa'i, khumus, kharaj, jizyah, harta kepemilikan umum, harta milik negara (tanah, bangunan, dan sarana umum dan pendapatannya), harta 'usyur, khumus (barang temuan dan barang tambang), harta tidak sah, harta yang tidak ada ahli warisnya, harta orang-orang murtad, harta zakat.

Dan, satu sumber pemasukan yang bersifat darurat, yaitu dharibah atau pajak. Menariknya adalah, dharibah atau penarikan pajak dalam aturan Islam, hanya ditarik terhadap lelaki Muslim dewasa yang aghniyya (mapan harta), besar harta yang ditarik hanya sejumlah harta yang dibutuhkan saja, ditarik selama kas baitul maal dalam keadaan kosong, dan penarikan dharibah atau pajak ini hanya bersifat sementara saja, sambil menunggu kas baitul maal terisi kembali secara komprehensif.

Negara berlandaskan Islam masih mengizinkan pihak swasta untuk mendirikan pelayanan kesehatan, hanya saja pihak swasta bukanlah pihak pengelola utama pelayanan publik di dalam negara, melainkan hanya sekadar berpartisipasi membantu memberikan kemaslahatan di tengah umat. 

Demikianlah, gambaran kebijakan politik Islam terhadap pelayanan publik di bidang kesehatan. Negara memberikan pelayanan kesehatan secara gratis kepada rakyat, sebagai konsekuensi menunaikan amanah dalam mengurusi urusan rakyat.*


latestnews

View Full Version