View Full Version
Kamis, 04 Nov 2021

Rekontekstualisasi Fiqih, Perlukah?

 

Oleh:

Mela Ummu Nazry || Pemerhati Generasi dan Kebijakan Publik

 

PERUBAHAN dunia yang begitu cepat yang tidak berpihak pada kepentingan umat Islam dan kaum muslimin  hari  ini dan banyak memberikan kerugian bagi kehidupan umat Islam dan kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin selalu berada dibarisan terakhir kehidupan hari ini.

Bahkan keberadaannya nyaris tidak diperhitungkan oleh dunia,  membuat sebagian kalangan muslim menilai jelek dan tidak sempurna fiqih dan segala hal yang berkaitan dengannya. Sehingga perlu direkontekstualisasi kembali agar fiqih yang digunakan oleh kalangan muslim yang selama ini dijadikan panduan beramal shalih, bisa mengikuti perubahan dan perkembangan zaman, fleksibel, tidak kaku, dan dapat diterima oleh semua kalangan. 

Sehingga harapan dari pihak yang menawarkan rekontekstualisasi fiqih adalah agar Islam bisa diterima oleh semua kalangan,  oleh dunia, yang hari ini banyak menolak segala hal yang berbau aturan Islam.  Diharapkan dapat menjadi solusi yang ditawarkan atas seluruh masalah yang menimpa umat Islam dan kaum muslimin, agar umat Islam dan kaum muslimin lebih moderat sehingga lebih bisa masuk ke semua kalangan. 

Alih-alih menjadi solusi yang ingin diterima,. Yang terjadi malah memantik polemik ditengah-tengah kaum muslimin itu sendiri.  Sebab rekontekstualisasi fiqih ternyata mengandung bahaya yang sangat nyata bagi umat Islam dan kaum muslimin.  Yaitu dapat merubah hukum-hukum yang telah baku, yang dapat menyesatkan umat Islam dan kaum muslimin dengan kesesatan yang nyata.  Alhasil bukan hanya masalah muamalah sesama manusia saja yang berubah,. Bahkan ibadah pun bisa berubah sesuai kepentingan hawa nafsu manusia.  Alhasil, jadilah hukum mengikuti perkembangan zaman.  Padahal sejatinya zaman harus tunduk pada hukum yang telah baku. 

Lebih jauh lagi rekontekstualisasi fiqih seolah menjadi pesanan pelengkap dari kalangan yang tengah mengarusutamakan ide moderasi beragama.  Menjadi agenda untuk semakin menjauhkan kaum muslimin dari pemahaman agamanya.  Atau jika boleh dikatakan, agar kaum muslimin memahami agamanya sesuai dengan cara pandang kafir barat dalam memandang dan memahami agama Islam yaitu penuh kebencian, menyamakan agama Islam sama dengan agama lainnya sebab menganggap jika kebenaran bersifat nisbi dan memandang jika ajaran agama Islam belum sempurna dan ketinggalan zaman, sehingga harus disempurnakan melalui proses rekontekstualisasi fiqih. 

Dari sini jelaslah bahwa ide rekontekstualisasi fiqih adalah ide nyeleneh yang berasal dari ketidakpercayaan diri sebagian kalangan kaum muslimin yang pemikirannya telah teracuni pemikiran kaum sekuler yang menganggap agama hanya aksesoris belaka tak pantas mengatur kehidupan publik.  Sehingga kehidupan publik hanya pantas diatur oleh hawa nafsu manusia saja. Aturan agama disingkirkan dari kehidupan publik. Aturan agama harus tunduk pada hawa nafsu manusia. 

Atau dengan kata lain, rekontekstualisasi fiqih adalah menempatkan kembali fiqih sesuai dengan keadaan zaman sehingga melahirkan fiqih alternatif yang bisa dipakai acuan bagi umat Islam dan  kaum muslimin untuk bersikap dan berperilaku sesuai hawa nafsunya.  

Pada akhirnya hukum diambil bagaikan hidangan prasmanan, diambil hanya hukum yang mendukung kepentingan hawa nafsu manusia saja.  Yang tidak mendukung kepentingan hawa nafsu manusia ditendang dan dihilangkan.   Inilah bahayanya aktivitas rekontekstualisasi fiqih yang dibangun berdasarkan metode mantik para pemikir dan filosof barat yang mengagungkan akal yang dikendalikan oleh hawa nafsu. 

Padahal sejatinya fiqih bukanlah buah pikiran manusia.   Sebagaimana pendapat filosof atau pemikir.  Namun fiqih adalah  pemahaman terhadap Wahyu ( Nash Qur'an dan hadits ) dengan kaidah yang telah ditetapkan syariat.

Artinya untuk menjawab tantangan zaman dan perubahannya,. Umat Islam dan kaum muslimin justru membutuhkan para Mujtahid yang mampu memahami nash-nash Qur'an dan Hadits guna menghukumi fakta kehidupan yang terjadi. Sehingga fakta kehidupan yang terjadi memiliki status hukum yang jelas apakah halal atau haram dengan tuntutan perbuatan apakah wajib, sunah, mubah, makruh atau haram.  Bukan malah merubah Nash Qur'an dan hadist agar sesuai dengan keadaan zaman dengan mekontekstualisasi fiqih ala barat dengan metode yang diambil dan dicontoh dari para pemikir dan filosof barat yang sekuler. 

Sebab metode menggali hukum syara terkait perkembangan zaman dalam Islam memiliki metode yang khas, yang sudah sangat cukup baku,  yang telah ditetapkan oleh hukum syariat,. Yaitu dengan melalui proses ijtihad.  Sehingga  dengan proses ijtihad tersebut, dapat diketahui status hukum atas sebuah perbuatan manusia dari sebuah konsekuensi perkembangan dan perubahan zaman. 

Artinya Perubahan zaman yang harus dihukumi dan harus diubah sesuai dengan ketetapan hukum yang telah ditetapkan syariat. Bukan malah mengubah hukum syariat melalui proses rekontekstualisasi fiqih agar syariat berubah mengikuti perkembangan zaman.

Jika syariat yang harus berubah mengikuti perkembangan zaman, lalu hukum siapa yang harus dan bisa kita pegang sebagai standar penentuan hukum perbuatan manusia? Bukankah hukum yang dijadikan standar dalam menilai wajiblah bersifat tetap dan baku? Artinya, hal ini semakin mempertegas jika agenda rekontekstualisasi fiqih tidak diperlukan oleh umat Islam dan kaum muslimin, sebab bertentangan dengan kaidah penggalian hukum yang telah ditetapkan oleh syariat.

 Justru yang diperlukan oleh umat Islam dan kaum muslimin saat ini adalah hadirnya para mujtahid yang memahami nash-nash syariat ( Qur'an dan hadist),  yang akan dijadikan sebagai sumber penggalian hukum atas perkara atau persoalan baru yang timbul dalam kehidupan manusia.  Bukan pemikir dan filosof yang berkiblat pada barat yang sekuler. Wallahu'alam.*


latestnews

View Full Version