View Full Version
Selasa, 10 May 2022

Prabowo Potensial Menjadi Pecundang Abadi?

Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan)

Kekalahan Prabowo dalam tiga Pilpres berturut-turut patut menjadi pengalaman dan perhatian. Tahun 2009 Megawati-Prabowo kalah oleh pasangan SBY-Budiono. Prabowo Hatta Rajasa dikalahkan Jokowi-JK tahun 2014 dan terakhir tahun 2019 Prabowo-Uno kalah oleh Jokowi-Ma'ruf Amin.

Kini untuk Pilpres 2024 Prabowo mulai bersiap untuk maju kembali. Pasangan potensialnya adalah Puan Maharani dari PDIP.

Prabowo disorot hari-hari ini atas manuver "politik lebaran" yang atraktif. Satu-satunya Menteri yang segera menemui Presiden Jokowi di Istana Yogyakarta lalu makan opor dan tempe bacem bersama. Segera balik ke Jakarta untuk bertemu Mega dan Puan.

Terbang ke Jatim menemui Gubernur Khafifah dan ulama. Ketika ditanya oleh Jokowi akankah maju dalam Pilpres? Prabowo menjawab jika diizinkan Jokowi he hee.

Survey selalu menempatkan Prabowo di papan atas bahkan sering teratas. Mungkin efek dari kondisi peta pertarungan 2019 yang tersisa. Akan tetapi sebenarnya peta dukungan itu telah jauh berubah.

Sejak Prabowo masuk dalam Kabinet Jokowi, maka suara kecewa kerap terdengar. Banyak yang mengecam dan menilai Prabowo sebagai profil figur pecundang. Jikapun ia beralasan strategi, maka hal itu lebih pada jabatan dan keuntungan pribadi atau kelompok Prabowo sendiri.

Sejak puja puji berlebihan kepada Jokowi, Prabowo menampilkan integritas pribadi yang diragukan. Sebagaimana dirinya yang dinilai kurang demokratis, maka sikap kepada atasan lebih bernuansa ABS. Tidak terdengar gagasan kreatif apalagi progresif yang diterima dan dijadikan sebagai kebijakan Presiden.

Sikap kritis dan pembelaan pada rakyat yang menderita tidak nampak. Soal korupsi minim komentar, begitu juga saat rakyat ribut soal pemaksaan vaksin dan PCR. Minyak goreng langka, BBM naik, UU Cipta Kerja panas, proyek KA mangkrak, pindah IKN, penistaan agama dan lain-lainnya sepi dari suara Prabowo.

Soal pembantaian 6 laskar FPI maupun pembunuhan dokter pejuang kemanusiaan Prabowo tetap bungkam dan tenang-tenang saja. Saat HRS dan aktivis eks pendukungnya ditangkap dan dipenjara ia tidak nampak gelisah. Sikapnya nyaris bersatu dengan kezaliman rezim. Menyakitkan.

Kini ia mulai aktif bermanuver demi jabatan Presiden ke depan. Bukan demi rakyat yang semakin terdesak dan muak dengan perilaku pemimpin negara yang serakah, memikirkan sendiri, serta korup. Bermain di dua kaki antara Jokowi dan Megawati. Kakinya tidak berpijak pada amanat penderitaan rakyat.

Jika berprinsip dapatkan dulu kursi Presiden baru berbuat untuk rakyat, maka itu adalah awal dari kebohongan dan modal bagi penghianatan. Oligarki dipastikan mengangkangi dan tetap memegang kendali.

Janji untuk rakyat tidak ada artinya jika tidak berjuang bersama rakyat. Tidak merasakan denyut nadi aspirasi dan keinginan rakyat untuk hidup lebih bebas, sejahtera, berkeadilan dan berkeadaban.

Prabowo bukan figur terbaik yang dinilai mampu untuk memimpin negeri. Ia kini merepresentasi misi Istana yang nyatanya sudah berfriksi. Prabowo potensial menjadi wajah baru dari oligarki.

Masih banyak figur lain yang lebih berkualitas dan berintegritas seperti Anies Baswedan, LaNyalla Mattalitti, Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli dan lainnya. Rakyat tidak boleh digiring untuk selalu ditipu oleh rekayasa politik pragmatik.

Dalam pertarungan yang sehat, sulit Prabowo untuk berhasil. Gebrakan politiknya tidak populis.
Dengan postur politik Prabowo saat ini maka untuk menang bukan hal yang mudah. Dukungan telah berubah. Prabowo kemarin berbeda dengan Prabowo saat ini.

Prabowo potensial untuk menjadi pecundang yang abadi.


latestnews

View Full Version