View Full Version
Sabtu, 04 Mar 2023

LPG Naik Lagi, Rakyat Kembali Gigit Jari

 

Oleh: Khaziyah Naflah

 

Belum lama ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra) resmi untuk menaikkan harga Liquified Petroleum Gas (LPG) ukuran 3 kg. Kenaikan ini dipicu dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Faktor lain yang mendasari kenaikan harga LPG 3 kilogram ini juga karena terjadi kenaikan angka inflasi di Sultra. Harga terbaru akan berkisar pada angka Rp 20000 hingga Rp 25000  per tabung sesuai zona. Nantinya harga LPG akan berbeda setiap daerah tergantung dari jarak daerah dengan pangkalan pengisian.

Kenaikan harga LPG 3 kilogram tersebut sebagaimana tertuang dalam Peraturan Gubernur Sultra Nomor 74 Tahun 2022. Nantinya harga terbaru ini akan berlaku untuk keperluan rumah tangga dan usaha mikro (kendariinfo.com, 25/02/2023).

Beban hidup rakyat saat ini seakan tiada habisnya. Blum lama mereka harus menanggung kenaikan BBM yang berpengaruh kepada hampir seluruh kebutuhan hidupnya, kini Liquified Petroleum Gas (LPG) yang menjadi salah satu kebutuhan vital rakyat dan para usaha kecil pun juga terkena dampak kenaikan BBM tersebut. Hal ini jelas semakin menambah beban hidup rakyat. Padahal ekonomi rakyat pasca dihantam badai covid 19 belum pulih sepenuhnya dan masih membuat rakyat kelabakan untuk memenuhi hidupnya.

Kenaikan BBM adalah satu dari banyaknya alasan untuk menaikkan harga LPG. Sebab seyogianya akar problem kisruhnya kenaikan LPG yang terus menerus dan sering tidak terkendali yakni adanya ketergantungan impor yang dilakukan oleh penguasa negeri ini. Hal tersebut terlihat jelas saat penguasa ingin mengkonversi LPG ke kompor listrik.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menegaskan bahwa konversi LPG ke kompor listrik akan mampu menekan ketergantungan impor LPG yang jumlah tiap tahunnya terus membengkak (solopos.com).  Padahal diketahui bahwa impor sangat tergantung dengan kondisi pasar serta situasi harga internasional. Alhasil, harga LPG akan senantiasa sulit untuk dikendalikan oleh negeri ini dan bisa jadi  kenaikan LPG tersebut akan terulang kembali.  Apalagi jamak diketahui bahwa dari tahun ke tahun impor LPG terus mengalami kenaikan yang cukup signifikan, akibat kebutuhan akan LPG juga kian meningkat. Hal ini juga berdampak pada keuangan negara kedepannya, apalagi LPG bersubsidi yang disalurkan kepada rakyat hampir 93 persennya.

Sedangkan saat ini penguasa hanya memberikan solusi-solusi pragmatis yang tidak berimbas pada solusi tuntasnya. Seperti, wacana konversi LPG ke kompos listrik yang digadang-gadang mampu untuk menekan impor LPG dan memudahkan rakyat, nyatanya justru semakin membebani rakyat. Sebab usut demi usut pelaksanaannya sangat kental dengan aroma bisnis.

Selain itu, pemerintah juga sempat mewacanakan adanya  pengunaan gas bumi sebagai pengganti LPG, namun wacana tersebut tidak kunjung terealisasikan. Pada tahun 2021 lalu, infrastruktur jaringan gas kota yang berhasil dibangun baru mencapai 127.000 sambungan rumah. Padahal jika dilihat, potensi sumber daya gas bumi di dalam negeri sangat besar yang sejatinya mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan biaya yang cukup murah.

Menurut Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), hingga 31/12/2021 jumlah cadangan terbukti gas alam RI mencapai 42,93 triliun kaki kubik (TCF). Jumlah ini masih bisa meningkat jika aktivitas eksplorasi hulu minyak dan gas bumi (migas) terus digalakkan. Setidaknya Indonesia saat ini memiliki 128 cekungan hidrokarbon (basin), 20 cekungan sudah berproduksi dan 27 lainnya baru dibor, selain itu juga ditemukan cadangan terbukti gas.

Namun nyatanya wacana tersebut sangat sulit untuk diwujudkan, walaupun potensi sumber daya gas bumi dalam negeri sangat melimpah, hal ini akibat dari kesalahan paradigma kepemimpinan yang diadopsi oleh negeri ini yakni kapitalis liberal. Pengurusan rakyat bukan menjadi sebuah tanggung jawab negara untuk diwujudkan, namun sering kali dikaitkan bahkan dijadikan ajang bisnis. Hal tersebut nampak dimana kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa lebih fokus mengakomodasi kepentingan para pengusaha/korporasi, sedangkan kepentingan rakyat kerap dikorbankan.

Selain itu, prinsip kebebasan yang dianut oleh ideologi kapitalis sekuler ini pun telah membuat  pengelolaan sumber daya alam tidak lagi dikelola oleh negara saja dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat, namun sebagian pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada swasta ataupun asing. Padahal, SDA merupakan kepemilikan umum yang harusnya digunakan untuk kepentingan rakyat itu sendiri, semisal membiayai pendidikan gratis, kesehatan dan lainnya.

Namun, akibat liberalisasi dalam bidang SDA tersebut, keuntungan dari besarnya SDA itu sebagian besar masuk ke dalam kantong-kantong swasta atau asing itu sendiri, sedangkan rakyat hanya mendapatkan sisa-sisanya yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan kerap kali rakyat harus membayar mahal semua yang harusnya menjadi hak mereka. Maka wajar jika rakyat harus terseok-seok di negeri yang kaya akan SDA.

Inilah konsekuensi menerapkan sistem kapitalis sekuler, rakyat tidak pernah mendapatkan kesejahteraan yang ada rakyat justru menjadi tumbal kepentingan-kepentingan penguasa dan pengusaha. Hal ini jelas berbeda jika Islam diterapkan dalam kehidupan manusia.

Dalam Islam kemaslahatan umat merupakan salah satu prioritas utama di dalam sebuah kepemimpinan. Sehingga, Islam menuntun para pemimpin untuk senantiasa menjadikan kepemimpinan adalah amanah yang wajib diemban dan dipertanggungjawabkan kelak dihadapan Allah. Tugas utama khalifah adalah sebagi Pelindung dan pengurus urusan rakyat dan menjamin kesejahteraan bagi setiap individu rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Islam diturunkan dengan sangat komprehensif, mulai dari perpolitikan hingga ekonomi. Dalam sistem ekonomi Islam misalnya, kepemilikan diatur dengan sangat baik dan untuk kemaslahatan manusia. Kepemilikan dalam Islam ada 3 yakni, kepemilikan negara, individu dan umum. Ketiga kepemilikan tersebut memiliki aturan yang sempurna sesuai syariat,  bagaimana cara memperolehnya, cara mengelolanya serta bagaimana penyalurannya.

Terkait sumber daya alam yang jumlahnya melimpah seperti energi dan gas dalam Islam ia merupakan harta milik umum, Sabda Rasullulah, " Manusia berserikat akan tiga hal, api, padang rumput dan air" ( HR. Abu Daud dan Ibnu Majah). Sehingga, harta ini tidak boleh di privatisasi ataupun di swastanisasi. Negara hanya boleh mengelolanya, sedangkan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan dalam dalam berbagai bentuk seperti rakyat dapat menikmati SDA tersebut, seperti BBM, gas dan lainnya secara gratis atau dapat dijangkau secara murah oleh rakyat,  ataukah untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan, pemenuhan kebutuhan dan lainnya.

Diharamkan adanya liberalisasi dalam bidang SDA, apalagi jika asing ingin mengelolanya, jelas suatu hal yang diharamkan oleh Islam. Sehingga dengan demikian maka SDA termaksud gas dapat dinikmati oleh rakyat dan mampu membawa mereka kepada kesejahteraan. Wallahu A'alam Bissawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version