Oleh: Sunarti
"Bagai kerakap tumbuh di (di atas) batu, hidup enggan mati tak mau," artinya hidup selalu dalam kesengsaraan. Begini peribahasa yang tepat untuk disematkan pada kondisi masyarakat Indonesia. Sudahlah secara perkonomian berada di posisi sulit, ditambah lagi dengan berbagai macam penyakit yang mengancam kesehatannya. Bagaimana tidak, saat ini Indonesia menjadi penyumbang terbesar penderita tuberkulosis atau TBC.
Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Bakteri ini menyerang organ paru-paru, dan dapat juga menyerang kelenjar, tulang, ginjal, otak, dan lain-lain. Menurut WHO, pada tahun 2020 terdapat sekitar 10 juta kasus baru dan 1,3 juta kematian akibat tuberkulosis. Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular terbesar di dunia.
Di Indonesia data dari Kementerian Kesehatan, kasus Tuberculosis (TB) pada tahun 2021 mencapai 443.000 kasus. Angka ini menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya yang sebesar 3,3%. Memang angka kesembuhan pasien TB di Indonesia juga meningkat, namun masih banyak pasien TB yang tidak/belum terdeteksi atau tidak mendapatkan pengobatan yang memadai. Ditambah dengan ketidakpatuhan pasien terhadap proses pengobatan dirinya. Entah disebabkan karena malas minum obat, juga fasilitas kesehatan (faskes) yang sulit dijangkau ditambah dengan administrasi yang sulit dilakukan oleh pasien, kesemuanya menambah pasien enggan melakukan pengobatan secara rutin hingga tuntas masa pengobatan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya kasus tuberkulosis di Indonesia yaitu:
Pertama adalah kondisi sanitasi yang tidak baik di masyarakat. Bakteri Tuberkulosis dapat berkembang biak di lingkungan yang kondisi sanitasinya sangat buruk, yaitu tidak terjaganya kebersihan diri, lingkungan yang kotor dan tidak sehat.
Yang kedua adalah kondisi perekonomian rakyat yang rendah. Dikarenakan kemiskinan dan keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas menambah tingginya angka penderita TB. Kondisi ekonomi yang rendah juga dapat menyebabkan rendahnya daya tahan tubuh serta meningkatkan risiko terkena penyakit. Dikarenakan masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi dalam diri serta keluarganya, sehingga asupan makanan mempengaruhi kwalitas hidup mereka.
Meskipun pembangunan di Indonesia sudah dikatakan merata, namun di sebagian wilayah belum bisa mendapatkan akses kesehatan secara memadai. Inilah faktor ketiga penyebab tingginya kasus Tuberculosis. Atau dengan kata lain keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan masih terjadi. Keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas ini dapat menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit dan cara pencegahannya, serta kurangnya akses terhadap pengobatan yang tepat dan terjangkau oleh seluruh masyarakat.
Selain itu rendahnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit dan cara pencegahan penyakit menular, ini merupakan faktor keempat setelah ketiga faktor di atas. Masyarakat yang masih berada dalam pengetahuan kesehatan yang terbatas cenderung mengabaikan pola hidup sehat. Hal tersebut bisa mengakibatkan rendahnya perilaku hidup sehat, baik personal higiene maupun kebersihan lingkungan. Secara pencegahan (prefentif) terhadap penyakit, masyarakat belum paham, termasuk terhadap pencegah penyakit menular.
Dalam upaya kuratif (pengobatan) pun, dari mereka para penderita beserta keluarga sangat jarang untuk merutinkan masa pengobatan yang sudah terdeteksi menderita Tuberculosis. Sehingga banyak yang putus di jalan dan pengobatan tidak berhasil.
Di sisi lain, kurangnya upaya pencegahan dan penanganan penyakit yang cepat dan tepat dari pemerintah masih menjadi salah satu faktor tingginya angka Tuberculosis di Indonesia. Ini menjadikan penyakit menular tersebut sangat mudah dalam penyebaran dan tentu saja lebih cepat meluas serta akan sulit dikendalikan.
Untuk mengatasi tingginya kasus tuberkulosis di Indonesia, diperlukan upaya yang komprehensif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan lembaga kesehatan. Upaya-upaya tersebut dapat berupa peningkatan akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, peningkatan pengetahuan masyarakat tentang penyakit dan cara pencegahannya, serta pencegahan dan penanganan penyakit secara tepat dan terpadu.
Peningkatan angka kasus TB di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah:
Ada banyak hal yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah TB di Indonesia. Namun ini memerlukan peran besar negara sebagai pelindung umat (warganya). Negara sebagai pihak pengelola bidang kesehatan memiliki tanggung jawab penuh terhadap kesadaran masyarakat tentang TB. Diperlukan upaya yang masif dan komprehensif, melalui berbagai penyuluhan rutin baik pencegahan maupun pengobatan. Dilakukan kontrol dan evaluasi terhadap hasil dari penyuluhan maupun pengobatan secar rutin dan berkala.
Harus ada upaya maksimal untuk peningkatan ketersediaan obat dan fasilitas kesehatan di berbagai wilayah dan dijangkau oleh seluruh masyarakat. Ketersediaan obat dan fasilitas kesehatan yang memadai untuk pengobatan terhadap TB sangat mempengaruhi kesehatan masyarakat secara keseluruhan umumnya dan penderita TB khususnya. Upaya ini dapat memudahkan pasien dalam mendapatkan pengobatan yang mereka butuhkan.
Diperlukan pula monitoring dan pengawasan terhadap pasien TB. Pemerintah beserta lembaga kesehatannya perlu melakukan monitoring dan pengawasan terhadap pasien TB yang sedang menjalani pengobatan. Hal ini dapat membantu memastikan bahwa pasien TB patuh dalam menjalani pengobatan dan bakteri TB tidak menjadi resisten terhadap obat serta bisa terselesaikan jenjang waktu yang ditentukan..
Adanya upaya peningkatan kualitas lingkungan juga sangat diperlukan. Pemerintah perlu meningkatkan kualitas lingkungan dengan memperhatikan sanitasi, kebersihan, dan ketersediaan air bersih.
Sayangnya semua ini belumlah bisa terlaksana maksimal. Alih-alih upaya yang komprehensif antara rakyat dan negara bisa saling menguatkan, pemerintah justru memberikan fasilitas layanan kesehatan ini kepada pihak Asing atas nama investasi. Ini berakibat pengobatan hanya dilaksanakan sebagai pasar, yaitu ada pedagang dan pembeli. Tak ubahnya pedagang di manapun ingin memperoleh kedudukan, pihak swasta sebagai pihak penyelenggara bidang kesehatan, juga ingin meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Lebih-lebih masyarakat berada di bawah kehidupan yang di bawah standar sehat dengan berbagai persoalan yang menimpa, musti memikirkan kehidupannya sendiri tanpa campur tangan negara. Ini pula menambah beban hidup masyarakat. Yang sejatinya hendak berpikir hidup bersih dan sehat harus tunduk dengan keadaan. Lepaslah sudah untuk berada di ranah pencegahan.
Upaya ini benar-benar membutuhkan sinkronisasi antara pemerintah dan masyarakat. Niat tulus pemimpin sebagai pengurus urusan umatharus benar-benar dilakukan. Agar sinergi hidup sehat terwujud. Waallahu alam bisawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google