View Full Version
Kamis, 20 Apr 2023

Bebas Rentenir, Bebas Riba?

 

Penulis: Ariefdhianty Vibie

 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan Ujungberung sebagai kampung bersih rentenir pertama di Jabar. Hal tersebut disampaikan Kepala OJK Kantor Regional II Jabar, Indarto Budiwitono dalam kegiatan Festival Pasar Murah di Kantor Kecamatan Ujungberung, akhir pekan ini.

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rentenir memiliki arti orang atau lembaga  yang meminjamkan sejumlah uang kepada masyarakat dan memperoleh keuntungan dari bunga yang berlaku. Biasanya rentenir ini tidak diawasi oleh lembaga hukum maupun mendapat izin resmi. Rentenir cenderung menyasar masyarakat menengah ke bawah. Misalnya pedagang kecil di desa. Mereka sengaja menargetkan kelompok ini karena kepolosannya, mudah diperdaya, dan adanya desakan ekonomi. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh para rentenir untuk meraup untung yang besar. Dalam menawarkan jasanya, rentenir bisa menawarkan secara langsung ataupun memanfaatkan teknologi terkini seperti WhatsApp, SMS, maupun sosial media untuk menawarkan jasa pinjamannya (bfi.co.id)

Financial Technology (fintech) berkembang cukup pesat di era yang mendukung teknologi sekarang ini. Berbagai kemudahan pun dijajakan kepada masyarakat untuk mendapatkan dana secara instan. Masyarakat dengan berbagai kondisi yang ada, baik karena kebutuhan mendesak, ataupun gaya hidup dengan gengsi selangit, akhirnya tergiur dengan kemudahan mendapatkan dana.

Rentenir ilegal yang tidak diawasi oleh lembaga hukum serta tidak mendapat izin resmi memang berbahaya. Banyak sekali korban rentenir yang mengalami intimidasi, pelecehan, bahkan kekerasan karena tidak mampu membayar pinjaman sesuai dengan tempo perjanjian. Data-data peminjam, bahkan kontak keluarga dan kerabat pun disasar untuk meneruskan ancaman yang sama agar pinjaman bisa dilunasi.

Namun sebenarnya, lembaga keuangan baik itu bank, koperasi, aplikasi paylater resmi dan terdaftar di OJK bukan berarti bebas dari ancaman. Dengan maraknya fintech yang dengan mudah diakses oleh masyarakat dari berbagai aplikasi, situs, atau media sosial, masyarakat cenderung akan mengubah pola pikir serta pola sikapnya untuk memutuskan dengan mudah saat terdesak ketika membutuhkan dana. Fintech legal pun sama saja. Dengan berbagai syarat dan ketentuannya, masyarakat jadi gemar berutang. Berutang menjadi sebuah tren, bahkan budaya pada masyarakat sistem kapitalisme saat ini. Ini justru yang paling berbahaya.

Fenomena gemar berutang pada masyarakat, menandakan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol diri. Mereka terjebak pada penawaran yang kelihatannya mudah, apalagi dengan model kehidupan mayoritas milenial dan Gen Z yang terpengaruh hedonisme dan konsumerisme, menjadikan mereka sebagai ladang subur bagi rentenir gaya baru.

Para kapitalis mencari celah setiap kesempatan untuk meraup untung, salah satunya dengan menggunakan perkembangan teknologi. Dalam kemajuan dunia digital, mereka membuat aplikasi pinjaman untuk menggaet nasabah sebanyak-banyaknya. Jadi, demi mendapatkan banyak pelanggan, mereka mempermudah persyaratan pengajuan pinjaman. Cukup dengan verifikasi data dan persetujuan pengguna.

Menjamurnya pinjaman seperti ini juga tidak lepas dari peran pemerintah. Mereka membolehkan berbagai fintech legal berdiri dengan syarat terdaftar di OJK. Selain itu, kisaran bunga yang rendah juga dinilai dapat membantu masyarakat mengatasi kesulitannya untuk membeli barang.

Dalam kapitalisme, hal ini adalah kesempatan untuk mengunduh laba. Sedangkan bagi pengguna, ini adalah jebakan kaum kapitalis yang membuat hidup makin kelimpungan.

Islam dengan jelas mengharamkan riba (tambahan). Dalam Al-Qur’an dijelaskan, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275).

Pinjaman dari lembaga keuangan konvensional di sistem kapitalisme mayoritas mengandung riba. Hal ini dapat dilihat dari adanya perjanjian bunga pinjaman (meski rendah) dan terkena denda jika telat membayar. Lembaga keuangan berlabel syariah pun tidak menjamin bebas riba.

Selain itu, Allah pun telah mengancam pemakan riba, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran (tekanan) gila.” (QS Al-Baqarah: 275)

Selanjutnya, Islam memiliki visi misi yang jelas dalam membentuk kepribadian muslim. Seorang muslim wajib berpola pikir dan sikap sesuai dengan Islam. Oleh karenanya, pemerintahan Islam akan mengondisikan masyarakatnya berkepribadian Islam. Dengan demikian, sebelum melakukan aktivitas, mereka akan menyandarkan segalanya sesuai Islam. Kepribadian Islam akan menghindarkan masyarakat, termasuk pemuda, dari pola hidup hedonistik atau konsumtif. Mereka akan membeli sesuatu sesuai kebutuhan, bukan keinginan, termasuk ketika bertransaksi pinjam-meminjam.

Terkait fintech, Islam akan mengatur sesuai pandangan Islam: tidak boleh memungut riba, akad pinjam meminjam harus jelas, tujuannya tidak boleh melanggar syariat. Islam pun menegaskan pinjam-meminjam hanya dilakukan untuk ta’awun atau tolong menolong, bukan untuk mencari keuntungan.

Akidah dapat membentuk mereka memiliki kepribadian Islam. Pola pikir dan pola sikap inilah yang akan menjadi tameng dari gempuran gaya hidup hedonistik dan konsumtif. Namun, untuk mewujudkan itu tentu tidak bisa sendirian. Perlu adanya sinergi yang baik antara orang tua, lingkungan masyarakat, sekolah, dan negara. Wallahu’alam bisshawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version