Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)
Jokowi undang kandidat capres, diantaranya Anies Baswedan, Prabowo dan Ganjar makan bersama di istana. Setelahnya, beredar foto rilis istana. Satu yang menjadikan heboh, terutama di media sosial adalah gambar yang cukup berbeda. Prabowo dan Ganjar, dalam foto terlihat menunduk dihadapan Jokowi saat bersalaman, sementara Anies Baswedan tak menunduk, saling pandang, bertatapan mata dengan Jokowi. Dari foto itu, muncul tafsir beragam.
Foto datang dari istana. Kemudian beredar dikalangan wartawan (jurnalis) dan beredar pula di media sosial. Tentu bukan muncul begitu saja. Semua terencana. Ada tafsir yang muncul. Misalnya dikesankan Anies Baswedan sebagai sosok yang kurang beradab, tidak menunduk seperti gaya salaman yang dilakukan Ganjar maupun Prabowo dihadapan Jokowi. Anies digambarkan orang yang etika dasar saja tidak punya, digambarkan tidak njawani, yang lebih liar lagi, sebut dia wajar begitu karena orang Yaman. Tapi benarkah asumsi demikian? Kita lihat.
Kali ini, kita sedikit pakai ilmu. Seperti kenyataan kita tiap hari, bahkan setiap menit atau detik, kita menyaksikan “pertempuran” berbagai pandangan dunia ini dalam beragam media komunikasi. Yang paling mutahir tentu media sosial. Kita bisa jadi beralih dari satu pandangan ke pandangan lain dalam sekejap mata. Kenyataannya, banyak yang bingung. Maka, memahami sesuatu dengan kaca mata ilmu tertentu menjadikan kita lebih waras.
Saya akan meminjam semiotika (ilmu tanda) untuk membedah kasus ini. Umberto Eco, filsuf, pemikir semiotika dan pengarang “The Name of the Rose” itu menyebut dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi dan bukan merupakan tanda itu sendiri. Dalam konteks kekuasaan, biasanya memang aktif mengonstruksi realitas yang menguntungkan mereka saja. Istilah konstruksi realitas sendiri, dalam ilmu sosial terkenal sejak Peter L. Berger dan Thomas Luckman menulis buku “The Social Construction of Reality (Tafsir Sosial atas Kenyataan), di mana individu, pihak tertentu, intens menciptakan realitas. Sampai kemudian gagasan konstruksi sosial ini dikoreksi, misalnya oleh gagasan dekonstruksi (deconstruction). Yang paling menonjol gagasan ini diperkenalkan misalnya oleh Derrida, pengarang “Galaksi Simulakra”.
Dalam kesempatan ini, saya juga ingin membongkar realitas yang coba ditawarkan atau dipaksakan itu dengan perspektif dekonstruksi. Ketika pihak tertentu mengarahkan pada pilihan realitas yang sewenang-wenang, maka tugas kita adalah membongkar kesewenang-wenangan dan kebusukan yang coba dijalankan. Sebuah konsep filosofis menyadarkan kita bahwa yang kita lihat kadangkala bukanlah “realitas” melainkan representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya. Jadi, yang kita tangkap hanya tampilan (appearance) dari realitas di baliknya.
Terkait gaya salaman Anies Baswedan ini saya akan coba ikuti “Teori” Roland Barthes, semiolog terkemuka di ranah akademis humaniora terutama Ilmu Komunikasi. Dikatakan bahwa semiotika, dia menyebutnya semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Konsep denotasi, konotasi dan mitosnya membantu kita untuk membongkar apa sebenarnya yang terjadi dalam perkara salaman gaya Anies Baswedan itu. Tentu dengan penyesuaian konsep seperlunya.
Di ranah denotasi (sebenarnya) sangat terbuka kemungkinan Anies Baswedan juga bersalaman dengan menunduk, bahkan pada realitas lain di beragam media, banyak beredar bagaimana Anies Baswedan menunduk bahkan mencium tangan orang-orang yang dituakan, termasuk mencium tangan para kiayi (ustaz). Jadi, persepsi Anies Baswedan yang dinilai kurang sopan, kurang beradab, tidak njawani batal dengan sendirinya.
Pada kasus ini, konstruksi realitas yang coba ditampilkan (konotasi) adalah Anies gaya salamannya beda. Ditampilkan tidak menunduk ke Jokowi, beda dengan Ganjar atau Prabowo. Saya kira hal ini justru bisa menjadi bumerang tersendiri. Motif yang coba ditawarkan adalah membidik sisi negatif Anies. Dan bumerang yang dilontarkan mengenai muka sendiri. Di sisi lain, bagi mereka yang sepakat dengan angin perubahan. Justru, gaya salaman demikian menunjukkan bahwa Anies tak mau tunduk pada kekuasaan, oligarki dan simbol-simbol kekuasaan yang saat ini masih menggurita dan coba menerapkan strategi berdiri di dua kaki. Seperti kita paham betul, Antara Ganjar dan Prabowo. Keduanya dalam dekapan kekuasaan. Sementara Anies tidak.
Pada akhirnya, mitos yang coba digaungkan gagal total. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang mencoba hadirkan “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Dalam kasus ini, mitos yang ingin diciptakan adalah menempatkan Anies Baswedan dengan citra negatif yang coba dilukiskan dalam rilis foto-foto istana tersebut dengan tuduhan macam-macam. Hasilnya, tak semudah itu “Ferguzo” menipu publik dengan propaganda murahan. Pada akhirnya, operasi-operasi ideologis ini pada kasus-kasus berikutnya bakal terbongkar kembali asalkan publik “well educated” dengan bersikap kritis atas setiap konstruksi realitas (politik) di negeri ini.
Semua kini menjadi berbalik. Lewat foto-foto di atas, citra Anies dengan kepala tegak, tidak membebek kekuasaan, independent, tidak tunduk pada oligarki tapi tetap tersenyum bahkan kepada lawan-lawan politiknya sekalipun memberikan kesegaran tersendiri. Hal ini menjadi tafsir harapan tersendiri bagi masyarakat (publik). Pilihan memang tak bisa dipaksakan, kalau ingin tetap mandek atau sama seperti sediakala maka yang menunduk-nunduk pada kekuasaan itu pilihannya, tapi kalau publik menginginkan angin perubahan, tentu semua orang sudah tahu jawabannya. [PurWD/voa-islam.com]