View Full Version
Selasa, 21 May 2013

Nasehat Terbaru Ustadz Aman Tentang Aksi Mengambil Harta Orang Kafir

Nasehat Kepada Ikhwan Tauhid

Perihal Fenomena Pengambilan Harta Orang Kafir

VOA-ISLAM.COM - Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘aalamiin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Imamul Mujahidin, keluarga, para sahabat dan para pengikutnya sampai hari kiamat.

Ini adalah kepedulian pena dan kepedihan penjara yang saya tuangkan dalam tulisan sebagai bentuk kepedulian terhadap ikhwan saya serta sebagai ketulusan terhadap da’wah, para da’i, jihad dan mujahidin.

Sesungguhnya da’wah tauhid adalah da’wah yang suci. Walaupun benar bahwa keterjagaan darah dan harta dikaitkan terhadap perealisasian tauhid secara zhahir, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barang siapa mengucapkan laa ilaaha illallaah dan dia ingkar terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka terjagalah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya atas Allah Subhaananahu wa Ta’ala. (HR. Muslim),” namun penempatan suatu hukum bila bukan pada tempatnya, maka mafsadahnya akan lebih besar daripada mashlahatnya.

Sesungguhnya da’wah tauhid adalah da’wah yang suci.  Kehalalan harta itu bukanlah sesuatu yang harus atau wajib diambil, namun hanya sekedar mubah dan itu pun harus dengan mempertimbangkan kondisi negeri dan juga mafsadat yang ditimbulkan.

Kita hidup di negeri yang mana tauhid dan muwahhidun adalah sangat terasing, semestinya da’wah tauhidlah yang digencarkan. Lihatlah siroh nabawiyyah! Ketika Rasulullah telah hijrah dan jihad sudah tegak di Madinah,  terjadilah peperangan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melawan kafir Quraisy.

Di sekitar Madinah banyak suku-suku yang mayoritas anggotanya masih kafir, sedang sebagiannya sudah masuk Islam dan sebagiannya tinggal di tengah mereka dan di kota Mekkah pun masih banyak kaum muslimin yang belum hijrah, namun tidak pernah sampai kabar kepada kita dalam satu atsar pun bahwa ada orang muslim yang mengambil harta orang kafir tetangganya atau yang sama-sama hidup di bawah naungan penguasa kabilah yang kafir, karena hal itu mendatangkan mafsadah terhadap da’wah yang membuat manusia antipati dengannya dan juga mafsadah bagi dirinya andai ditangkap penguasa kafir akibat pengambilan harta itu.

Bagaimana mungkin orang muslim di sana saat itu mengejar hal yang mubah yang bisa mendatangkan mafsadah bagi da’wah dan diri, padahal kewajiban penampakkan tauhid di tengah orang-orang kafir itu belum bisa dilakukannya.

Begitu juga realita kita di bawah payung penguasa murtad masa kita ini, di mana untuk menampakan tauhid di hadapan ummat saja banyak yang belum sanggup, tapi anehnya ada sebagian  pemuda yang hanya berpikir bagaimana caranya untuk mendapatkan harta orang kafir, sehingga saat dilakukan, maka yang terjadi adalah sum’ah (citra) dan kesucian da’wah tauhid ini tercoreng dan kaum muslimin banyak yang antipati dengan da’wah tauhid ini akibat tindakan segelintir mereka yang kurang wawasan.

Akibatnya, yang memikul beban berat tindakan itu adalah para du’at tauhid, merekalah yang selalu menjadi sorotan dan menuai fitnah serta cacian. Bila para pemuda yang gegabah itu berdalil dengan kisah Abu Bashir semestinya mereka terapkan pada kondisi yang sama dengan kondisi Abu Bashir, yaitu beliau dan sahabatnya memiliki wilayah otoritas sendiri yang di luar penguasaan orang-orang kafir.

Haruslah kita ingat bahwa hal yang hukumnya mubah itu bila penempatannya tidak tepat, maka malah menjadi buruk dan memperburuk. Syaikh ‘Abdullah ‘Azzam, ketika ditanya tentang tawanan wanita kafir komunis bangsa Afghan di Afghanistan; Apakah mereka boleh diperbudak dan digauli oleh mujahid yang mendapatkannya? Karena dalam hukum Islam, tawanan perang wanita kafir asli boleh dijadikan budak dan digauli, namun Syaikh ‘Abdullah ‘Azzam menjawab bahwa haram melakukan hal itu karena besar madlaratnya kepada mujahidin Arab dimana bangsa Afghan (mujahidin mereka) akan marah besar melihat anak bangsanya dijadikan budak, padahal secara teori fiqh itu adalah mubah, tapi beliau mengatakan haram dilakukan dalam kondisi tersebut, karena hal yang mubah kalau menghantarkan kepada mafsadah, maka menjadi haram pada kondisi itu.

Berikut ini adalah petikan ucapan beliau dari kitabnya “An Nihayah wal Khulashoh” yang disebarkan oleh Forum Islam at-Tawbah: [ (Ada, ed.) Orang yang datang kepada Syaikh ‘Abdul ‘Aziz lalu mengatakan: Wahai Syaikh ‘Abdul ‘Aziz, bolehkah kita menawan wanita-wanita komunis -menjadikannya sebagai budak-. Tentu beliau menjawab berdasarkan teori.. “ya, boleh menjadikan mereka sebagai budak”. Seandainya ia datang dan menanyakannya kepadaku, tentu akan aku jawab: Haram hukumnya menjadikan wanita-wanita komunis itu sebagai budak. Kenapa?! Karena saya mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz.

Saya tahu bahwa seandainya ada seorang wanita dari Jalalabad yang menjadi istri orang komunis lalu dijadikan budak tawanan oleh seorang Arab, pasti seluruh orang Arab akan dibantai. Kenapa?! karena wanita yang menjadi istri orang komunis itu adalah seorang wanita yang berasal dari Kabilah si Fulan, yang mana kebanyakan orang-orangnya adalah mujahidin.

Bagaimana puteri (suku) mujahidin menjadi sesuatu yang diincar dan dicuri oleh orang Arab dan dijadikannya sebagai budak tawanan?!! Hukumnya secara teori boleh karena dia adalah mujahid. Akan tetapi Syaikh (‘Abdul ‘Aziz bin Baz) tidak memahami tabi’at mereka tabi’at permasalahannya. Ini adalah sedikit (maksudnya: urusan yang sepele, ed.) dan  (sedangkan, ed.) kehormatan sangatlah mahal, yang lebih mashlahat dalam keadaan seperti ini adalah hukumnya haram dan dilarang dengan alasan kemashlahatan yang syar’i...

Sesungguhnya da’wah tauhid ini adalah da’wah yang suci. Menjaga kesucian da’wah tauhid adalah kewajiban semua muslim, sedangkan harta orang kafir harbi hanyalah berstatus halal, maka bukan termasuk manhaj Rasulullah sikap orang yang mengejar hal mubah dengan menjadikan kewajiban tercoreng.

Perhatikanlah Syaikh ‘Abdullah ‘Azzam tadi yang menfatwakan hal mubah menjadi haram di saat mendatangkan mafsadah, padahal itu di front perang terbuka, maka apa gerangan dengan kondisi yang masih buram dan fenomena kebodohan yang hampir merata di tengah kaum muslimin?

Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisi -fakkallahu asrah- berkata dalam Waqafaat-nya: [[Para du’at dan mujahidin tidak akan mencapai kemenangan yang mereka inginkan dan tidak akan menghadirkan manfaat bagi ummat mereka dan jihad mereka sebagaimana yang mereka inginkan sampai mereka meningkat dari level penglihatan kepada hal yang boleh dan yang tidak boleh saja; kepada level perbandingan antara hal yang manfaat dan yang tidak manfaat dari hal yang boleh itu pada waktu ini, apa yang rajih dan yang marjuh darinya, apa yang utama dan yang tidak utama darinya, hal-hal yang mashlahat dalam amal yang telah dipilih serta hal-hal yang rusak yang beraneka ragam dari hal-hal yang boleh itu. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

“Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus,” (QS. Al Isra: 9), yaitu yang lebih mashlahat. Dan firman-Nya Ta’ala:

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ

“Ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu,” (Az Zumar: 55).

Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk mengikuti amalan yang paling mashlahat, paling baik dan paling bermanfaat bagi dien kita. Dan firman-Nya Ta’ala:

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”, (Az Zumar: 18)

Saya mengingatkan bahwa jihad dan nushrah dien serta kaum muslimin ini wajib dikendalikan dengan batasan-batasan syari’at seraya di dalamnya memperhatikan fiqh waqi’ (kepahaman terhadap realita) dan mashlahat Islam dan kaum muslimin dengan mengedepankan sesuatu yang paling bermanfaat bagi dienullah dan sesuatu yang paling memukul dan paling membuat geram musuh-musuh Allah.

Maka agar sang mujahid dengan jihadnya mendapatkan ridha Allah, maka dia wajib menggabungkan antara pemahaman terhadap tujuan-tujuan syari’at pada faridhah jihad dengan penguasaan pengetahuan terhadap realita di mana ia hidup di dalamnya, agar ia bisa memperhitungkan apa yang paling bermanfaat bagi jihad dan kaum muslimin serta apa yang paling memukul bagi musuh-musuh dien ini,[1] itu dikarenakan al haq itu sebagaimana apa yang telah dijelaskan oleh ulama kita adalah tidak tercapai kecuali dengan menggabungkan antara dua pemahaman ini, sedangkan kebodohan terhadap salah satu dari dua fiqh (pemahaman) ini adalah (mengakibatkan,ed.) penyia-nyiaan terhadap banyaknya nyawa orang-orang yang tidak berdosa, bahkan juga nyawa para mujahidin serta pembuangan sia-sia bagi kekuatan-kekuatan kaum muslimin dan penceceran bagi hasil-hasil jihad mereka, maka bagaimana bila digabungkan antara dua kebodohan ini semuanya?]]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah memberi contoh kepada kita dalam hal ini: Ketika terjadi peristiwa futuh Mekkah, saat Quraisy dan Mekkah sudah di bawah genggaman beliau dan Ka’bah pun di bawah kekuasaan beliau, sedangkan Ka’bah dulu telah dibangun Quraisy tidak tepat pada pondasi yang didirikan oleh Nabi Ibrahim dan mengembalikannya kepada pondasi Ibrahim adalah hal utama yang lebih dari sekedar mubah, tapi karena beliau khawatir Quraisy lari lagi dari tauhid maka beliau tidak merenovasi Ka’bah sesuai pondasi Ibrahim dan beliau berkata kepada ‘Aisyah dalam hadits Bukhari: “Seandainya kaummu tidak baru masuk Islam, tentu aku robohkan Ka’bah dan aku jadikan lagi di atas pondasi Ibrahim.” Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Meninggalkan sebagian hal-hal yang mandub (sunnah) karena hal yang menyelisihinya yang kuat adalah lebih utama.” (Ar Risalah Muniriyyah dari fatwa Syaikh ‘Abdullah ‘Azzam, MTJ) dan bahkan Al Bukhariy membuat bab dalam Shahih-nya: (Bab: Imam meninggalkan hal afdlal lagi terpilih karena khawatir membuat manusia lari). Perhatikanlah wahai ikhwan, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan sesuatu yang afdlal, karena khawatir manusia lari dari tauhid…., padahal itu berkaitan dengan Ka’bah, Baitullaah…

Dalil lain: Kita telah mengetahui bahwa menghina Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kekafiran dan hukuman bagi pelakunya adalah dibunuh, akan tetapi Rasul diberi hak boleh memaafkan orang yang menghina beliau. Pada suatu ketika ada orang yang menghina beliau dan para sahabat memandang baik untuk membunuhnya, akan tetapi beliau berkata:

دعهم ، يتحدث الناس محمدٌ يقتل أصحابه

“Biarkan mereka, (agar) manusia (tidak) membicarakan Muhammad membunuhi para sahabatnya”. (HR. Bukhari-Muslim)

Beliau meninggalkan yang mubah bagi beliau demi menjaga pembicaraan manusia yang negatif tentang beliau, karena orang munafiq yang menghina beliau itu dalam pandangan orang- orang luar adalah dianggap sahabat beliau. Maka dalam hal ini, beliau meninggalkan sesuatu yang mubah demi menjaga sum’ah/ citra/ kehormatan da’wah. Jadi jelaslah dalam menyikapi yang mubah itu harus mempertimbangkan hal-hal lain.

Aktivis da’wah itu bukan hanya harus tahu status halal haram, tapi harus bisa memilah di antara hal yang halal itu apakah mendatangkan mafsadah atau tidak, jadi jangan asal bicara: ini kan halal..!!!  Ucapan semacam itu bukan lahir dari ilmu aktivis da’wah tapi dari ilmu orang umum,  orang awam.

Orang yang mengejar-ngejar harta orang kafir dengan alasan mubah lalu dengan tindakannya itu membuat citra da’wah menjadi buruk dan ummat  menjadi lari dari da’wah, maka dia sungguh akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah karena telah menjauhkan ummat dari tauhid dan menjadi sebab mereka mencela da’wah ini.

Berikut ini adalah cuplikan yang sangat berharga dari nasehat Syaikh Al Maqdisiy kepada ikhwan muwahhidin di Belgia, yang mana di sana muncul fenomena pengambilan harta orang kafir dengan dalih ghanimah dan fa’i. Beliau berkata: […Oleh sebab itu, maka di dalam bidang interaksi (ta’amul) dalam ladang da’wah dengan manusia, maka saya tidak menganjurkan untuk berpegang kepada dhahir definisi fiqh taqlidiy/klasik terhadap pembagian manusia menjadi harbiyyin dan mu’ahidin atau dzimmiyyin kemudian berinteraksi dengan manusia di atas dasar tekstualnya dan hukum-hukum cabangnya yang termaktub dalam kitab-kitab fiqh dalam kondisi lenyapnya Negara Islam yang di dalam payungnya diberlakukan pembagian-pembagian (manusia) ini dengan gambarannya yang sempurna dan sebenarnya; dan ia adalah suatu yang menyibukkan sebagian para pemuda di Barat dalam mencari-cari permasalahan ghanimah atau menyibukkan diri dengan pencurian bahkan sabyu (perbudakan wanita dan anak-anak orang kafir) dan yang serupa itu sebagaimana yang sampai beritanya kepada kami, dan (justru) menelantarkan da’wah dan pembelaan terhadap dien serta beramal serius untuknya; sehingga mereka itu dengan tindakan-tindakannya tadi malah mendatangkan mafsadah dan kemungkaran terhadap diri mereka dan terhadap Islam.

Namun dalam kondisi lenyapnya Negara Islam ini saya menasehatkan agar berinteraksi dengan manusia sesuai dengan siyasah syar’iyyah, mashlahat Islam dan kaum muslimin serta mashlahat da’wah sesuai dengan batasan-batasan syar’iyyah dan mempertimbangkan kondisi istidl’af (ketertindasan) kaum muslimin.

Barangsiapa di antara orang kafir itu dia tergolong yang tidak memusuhi kaum muslimin dan tidak menampakkan hujatan terhadap dien mereka, maka tidak ada halangan dari berbuat baik kepadanya dan berinteraksi bersamanya dengan hal yang bisa membuatnya tertarik kepada dienul Islam dan menda’wahinya kepada Islam. Dan barangsiapa di antara orang kafir itu dia tergolong yang menghujat Islam dan memperolok-olokkan syari’atnya serta membuat makar buruk terhadap pemeluknya sedangkan kaum muslimin di negerinya itu lemah dari menanggulanginya dengan apa yang semestinya karena kelemahan mereka dan ketidakberdayaan mereka, maka berpaling darinya dan berlepas diri darinya dan dari perbuatannya, dan ditampakkan kepadanya keberlepasan diri atau permusuhan sesuai kemampuan, dan dibenci serta dijauhi, dan bila dia itu tergolong orang yang layak diajak diskusi maka diajak diskusi dan dipatahkan (hujjahnya), dan bila ia itu pedagang maka diboikot dan dihajr dan seterusnya…] (http://wp.me/pm3Zd-oL)

Demikianlah nasehat bagi orang-orang yang intima kepada da’wah mubarakah ini namun terjatuh ke dalam kekeliruan tadi (yaitu menyibukan diri dengan harta orang kafir harbi) Maka ambillah faidah darinya. Perbanyaklah mengkaji sirah nabawiyyah, agar kita memahami bagaimana perjalananan Rasul dan para sahabatnya dalam berucap dan beramal. Sesungguhnya da’wah tauhid ini adalah da’wah yang suci.

Kemudian kepada orang-orang yang senang menghujat dan menjelek-jelekan para muwahhidun yang terjatuh ke dalam kekeliruan tersebut atau yang melakukan ‘amaliyyat ijtihadiyyah (oprasi-oprasi jihad yang sifatnya ijtihadiy)  yang tidak mereka sepakati, maka hendaklah mereka bersikap adil, karena telah jelas bahwa para penguasa thaghut dan aparatnya adalah lebih buruk dari itu dalam segala sisinya, selain kekafiran dan kemusyrikan mereka, dengan gaya kapitalisnya, mereka tak henti-henti menjarah dan merampas harta ummat ini, baik secara paksa maupun dengan dalih undang-undang yang menghalalkan pengambilan harta ummat tanpa hak, di samping mereka juga memonopoli kekayaan alam yang Allah sediakan bagi kaum muslimin.

Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisiy fakkallahu asrah dalam kitabnya Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah berkata: [...di antara yang wajib diketahui dan diperhatikan serta dijaga di sini adalah bahwa mayoritas metode-metode yang dicela atas sebagian du’at tauhid itu terkubur beserta kekeliruan-kekeliruan lainnya di dalam sisi yang dibawa oleh para pemuda itu, berupa pembelaan terhadap tauhid, penegakan akan hal itu serta sikap bara’ah dari syirik dan para pelakunya. Ini adalah dasar penilaian kami terhadap ahlut tauhid, dan tidak halal sama sekali mengenyampingkan keutamaan yang agung ini, dan bagian yang penting yang kartu lembarannya melebihi berat puluhan lembaran dosa, maksiat dan kesalahan, dengan sebab sebagian kekeliruan yang mana ia itu termasuk hal furu’, dan itu bisa hilang bagi orang-orang yang ikhlas dengan pencarian ilmu, pengalaman dan kematangan serta dengan nasihat dan pembenahan dari orang-orang yang bertanggung jawab atas pengarahan mereka atau orang-orang yang menangani urusan mereka atau orang-orang yang bergaul langsung dengan mereka. Itu adalah sesuatu yang selalu kami upayakan dengan karunia Allah. Dan lembaran ini membahas bagian dari hal itu, sebagaimana yang engkau lihat]

Demikian risalah ini saya tulis seraya memohon taufiq, pertolongan dan ampunan Allah Subhaanahu wa Ta’ala, semoga bermanfaat.

Alhamdulillaahirrobbil ‘aalamiin.

 

LP Kembang Kuning - NK

2 Rajab 1434 H

 

Abu Sulaiman



[1] Dan dalam keharusan menggabungkan antara pemahaman terhadap syari’at dengan pemahaman terhadap waqi’ (realita), agar tetap pada al haq, silahkan rujuk muqadimmah Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah dalam fatwanya tentang Tartar dan ucapan muridnya Ibnul Qayyim dalam (‘A’lamul Muwaqqi’in).


latestnews

View Full Version