View Full Version
Senin, 22 Jul 2019

Liberalisme Seks Berbungkus Film Dua Garis Biru

 

Oleh:

Ulfiatul Khomariah

Founder Ideo Media, Pemerhati Masalah Sosial dan Politik

 

DUA garis biru. Mungkin bagi orang yang sudah menikah sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Tapi bagi yang masih lajang mungkin bertanya-tanya, apa maksud dari dua garis biru? Apakah tanda dua garis biru di akun WhatsApp yang menandakan kalau pesannya sudah terbaca? Oh tidak! Ternyata dua garis biru yang dimaksud disini adalah tanda yang ada pada test pack yang menunjukkan bahwa si pengguna positif hamil. Istilah ini menjadi viral saat film dua garis biru mulai beredar di pasaran. Apa isi dari film dua garis biru ini?

Film dua garis biru menceritakan tentang kisah hidup sepasang anak SMA yang kebablasan dalam berpacaran hingga akhirnya hamil diluar nikah. Namun ternyata laki-laki yang menghamilinya mau bertanggungjawab atas kehamilan pacarnya itu. Jika kita membaca sinopsis dari film dua garis biru ini, jelas tergambar bahwa film dua garis biru ini memberi pesan kepada penonton bahwa tidak apa-apa berpacaran yang penting bisa saling menjaga, tidak masalah hamil diluar nikah asal si laki-laki mau bertanggungjawab. Disini kita bisa melihat jelas bagaimana sudut pandang agama sudah tidak dijadikan sebagai tolak ukur dalam menghukumi perbuatan.

Sayangnya, meskipun film ini sempat mendapat penolakan dan pemboikotan dari pihak yang kontra, namun akhirnya film ini masih tetap ditayangkan juga di bioskop Indonesia. Keberadaan film ini seolah-olah menjadi jawaban atas keresahan masyarakat Indonesia yang dihantui oleh meningkatnya angka kehamilan diluar nikah. Pihak pro mengatakan bahwa film ini bagus untuk edukasi agar anak muda tidak sampai having sex sebelum pernikahan untuk mencegah kehamilan diluar nikah. Namun tentu saja penulis melihat ada sisi yang lebih patut dikritisi disini. Benarkah film ini menjadi jawaban atas bebasnya pergaulan remaja saat ini?

 

Racun Liberalisme Seks

Sebagaimana yang kita ketahui dalam isi sinopsisnya, “setelah akhirnya kebablasan bergaul, Dara positif hamil dan Bima maju mengambil langkah untuk bertanggungjawab atas perbuatannya. Ia pun menikahi Dara, pacarnya.” Meskipun ada titik poin yang bisa diambil dari pesan film ini yaitu ‘jangan sampai hamil di luar nikah, dan kalau pun hamil di luar nikah, maka si laki-laki harus mau bertanggungjawab’. Secara tidak sadar, penonton sudah menelan racun liberalisme seks dalam film ini. Mengapa demikian? Mari kita kritisi poin-poinnya.

Pertama, di dalam film ini ada banyak adegan yang tidak layak untuk dipertontonkan kepada khalayak. Adegan romantisme berpacaran,  pergaulan bebas, dan interaksi kebablasan antara laki-laki dan perempuan. Lalu dengan adanya adegan seperti ini apakah bisa menangkal fenomena gaul bebas di masyarakat? Tentu tidak. Justru para penonton yang remaja atau yang bukan remaja akan penasaran dengan adegan-adegan dewasa yang di pertontonkan. Mereka akan menjadi penasaran untuk mencobanya dan berharap happy ending dengan pasangannya yakni mendapatkan  tanggungjawab dari pihak laki-laki saat hamil diluar nikah.

Jika memang ingin mendidik para generasi muda untuk menjauhi pergaulan bebas, seharusnya adegan yang dipertontonkan lebih mendidik. Imanlah yang harusnya disebarkan. Dengan pendidikan formal, juga informal. Begitupun dalam dunia hiburan, seharusnya film dibuat dengan tujuan menumbuhkan keimanan dalam diri manusia agar menjadi benteng penghalang dari kemaksiatan. Namun nyatanya, banyak sekali film Indonesia yang tidak mendidik malah dipertontonkan. Misal tentang cerita anak sekolahan, tapi isi di dalamnya bukan tentang siswa yang unggul dalam pelajaran, namun kebanyakan isinya tentang romansa pacaran, tawuran, rebutan cewek, dll.

Kedua, edukasi yang disampaikan dalam film ini tentu kurang tepat. Ada yang perlu dikritisi disini seperti “tidak apa-apa pacaran yang penting bisa saling menjaga”, “tidak apa-apa melakukan zina yang penting tidak hamil diluar nikah”, atau “tidak apa-apa hamil diluar nikah yang penting mau bertanggungjawab”. Artinya, dalam film ini sama sekali tidak menjadikan agama sebagai tolak ukur dari perbuatan. Dimana generasi akan menjadi sosok yang menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan kesenangan seperti having sex sebelum menikah. Misalnya, mereka akan menggunakan kondom agar tidak hamil, padahal sudah jelas bahwa aktivitas berzina merupakan sebuah keharaman.

Sungguh, keberadaan media dalam sistem kehidupan yang serba liberal ini justru semakin memperparah adanya pergaulan bebas. Media bahkan sengaja dijadikan alat untuk menyebarkan kebebasan itu sendiri, baik kebebasan berbicara maupun kebebasan bertingkah laku. Ide seperti ini malah dikampanyekan secara massif dengan berbagai macam cara, baik melalui romantisme film, menguak kehidupan glamour dan bebas selebriti, dll. Hingga pada akhirnya semua itu akan menjadi kiblat generasi muda dalam kehidupan nyata mereka. Maka dari itu, marilah kembali kepada cara yang benar untuk menyelamatkan generasi dari pergaulan bebas.

 

Islam Solusi Tuntasnya

Sesungguhnya tidak ada solusi lain dari semua permasalaham yang menimpa negeri ini selain kembali kepada islam kaffah. Hal ini tentu saja menjadi sebuah keniscayaan bahwa hanya Islam yang bisa mencabut akar masalah ini hingga keakarnya, karena paham liberal yang telah lama bercokol di negeri ini adalah akibat dari sistem yang menjamin kebebasan itu sendiri. Kesempurnaan Islam tak lagi diragukan, bahkan dalam tinta emas peradaban, Islam mampu memadukan pembinaan generasi mulai dari individu, keluarga, pendidikan juga media melalui payung negara. Negara wajib memastikan keluarga muslim memilki bekal yang mampuni untuk mendidik anak-anaknya dengan fondasi keimanan dalam betingkahlaku dan berbuat.

Sistem pendidikan dalam Islam akan memiliki kurikulum dengan asas akidah Islam yang pastinya berkontribusi besar dalam membentuk kepribadian Islam para generasi. Selain itu, Media Massa dalam Islampun diatur dengan menyelaraskan pembinaan generasi sesuai dengan tujuannnya, karena tujuan media dalam Islam ialah untuk membuat opini publik dalam masyarakat hingga bertransformasi menjadi opini umum di tengah-tengah mereka. Yang mana di dalam negeri membangun masyarakat Islami, sedangkan diluar negeri massif mendakwahkan dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Dalam konteks menyelesaikan masalah kebobrokan generasi, media juga sangat dibutuhkan sebagai wasilah untuk menjelaskan kembali ke umat bagaimana sistem pergaulan antara pria dan wanita dalam Islam.

Jika semua aturan Islam dijalankan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah maka akan sampailah juga pada akhirnya remaja muslim akan memahami bahwa rasa cinta yang merupakan salah satu fitrah manusia itu tidak bisa di salurkan sesuka hati. Karena Islam memerintahkan untuk kita menyalurkanya dengan menikah, bukan yang lain apalagi seperti pacaran. Bahkan kita di perintahkan berpuasa jika belum mampu. Seperti sabda Rasulullah saw yang di riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim “ Wahai para pemuda, barangsiapa dari kalian mampu memberi nafkah maka hendaknya dia menikah karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa belum mampu menikah maka hendaklah dia berpuasa karena ia adalah kendali baginya. Wallahualam bi ash-shawab.*


latestnews

View Full Version