View Full Version
Jum'at, 03 Jan 2020

Memotret Perempuan, Peran Ibu, dan Kesetaraan Gender di Awal 2020

 

Oleh: Prita HW*

 

Masih teringat gegap gempita 22 Desember lalu, yang rutin diperingati sebagai hari ibu. Semua orang, tua muda, anak-anak maupun orang dewasa berlomba-lomba menunjukkan kasih sayang dan ucapan terimakasihnya pada sang ibu. Momen ini juga dimanfaatkan berbagai bisnis produk dan jasa untuk momen promosi. Kesimpulannya satu, semua appreciate pada peran ibu. Semua bangga memiliki ibu hebat dan tak ada yg menafikkan peranannya dalam kehidupan kita.

Lalu, kenapa kaum feminis yang katanya bertujuan mengagungkan perempuan dan meyetarakan hak-haknya justru berkata : "Mengapa kewajiban kami harus berbeda? Hanya karena kami punya rahim dan laki-laki tidak, lalu tugas kami merangkap dua, jd begitu berat? Lalu,bagaimana kami bisa berkembang, mengekspresikan diri, dan mengejar cita-cita yg kami impikan?"

Jelas, pernyataan-pernyataan yang semacam gugatan itu kontradiksi dengan bagaimana sosok ibu diagungkan saat peringatan hari ibu kemarin. Ibu adalah profesi mulia yang tak tergantikan. Darinyalah, generasi peradaban tak hanya dilahirkan, tapi ditempa menjadi seorang pejuang yang nantinya akan memimpin dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan negara. Hanya ibu yang menyandarkan standarnya pada syariat lah, pada keridhaan Allah-lah yang nantinya akan membawa generasi ke puncak kegemilangan. Persis seperti ibu-ibu di yang melahirkan generasi hebat di masa Rasulullah SAW, para sahabat, dan para khalifah yang pernah memimpin dunia.

Islam tak menjadikan perempuan bebas tanpa batas sebagaimana pandangan HAM yang sempit. Islam tak menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan yang harus dikejar atas nama karir, jabatan, dan gaya hidup sebagaimana standar kebahagiaan kehidupan liberal kapitalis. Islam juga tak mengeksploitasi perempuan sebagaimana berbagai macam kebutuhan industri yang menjadikannya sebagai komoditi yang menggadaikan harga diri.

Islam memandang laki-laki dan perempuan sama dan setara dalam hal tugas dan peranannya. Tapi jelas, kesetaraan itu bukan kesetaraaan artifisial, seperti kalau laki-laki bisa bekerja dengan gaji tinggi, perempuan pun bisa. Atau kalau laki-laki bs jadi presiden, perempuan pun bisa. Kalau laki-laki bisa meninggalkan anak-anak di rumah, perempuan pun bisa. Bukan. Bukan yang seperti itu. Karena secara fitrah menurut Allah, Sang Pencipta dan Sang Pengatur Kehidupan kita, semua itu telah diatur sedemikian rupa. Laki-laki dan perempuan sama-sama makhluk Allah, diciptakan untuk beribadah, dan bukan ditujukan untuk bersaing, tapi untuk saling melengkapi.

Lalu, seperti apakah perempuan mulia dalam pandangan Islam? Hadits berikut menggambarkan betapa berharganya perempuan, "Dunia itu perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita shalihah" (HR. Muslim). Kemuliaan seorang perempuan ada pada saat ia mengandung dan melahirkan anaknya, disebutkan itulah jihadnya seorang wanita. Belum lagi kemuliaan yang didapat saat membesarkan, mengurus keluarga, dan taat pada suaminya. Kemuliaannya juga terjaga dari syariat Allah menutup aurat agar terjaga izzah dan iffah-nya, menjaganya dari pergaulan menyimpang dan merangsang nafsu lawan jenisnya. Sehingga, mereka lebih terjaga. Saat menjadi ibu, posisinya dimuliakan 3x lbh tinggi dibanding ayah seperti sabda Rasulullah SAW.

Karena teramat mulia inilah, maka Islam tidak membatasi perempuan dalam memperoleh pendidikan. Bukan dimaksud utk menyamai laki-laki lalu kemudian menjadi tulang punggung keluarga, tapi sebagai bekal menjadi madrasah utama anak-anaknya. Pun dalam bekerjasama dengan suami, perempuan wajib diperlakukan mulia. Suami harus sama-sama mengajak introspeksi, memberi motivasi, juga bimbingan kepada istri.

Bukan dengan menyakiti, apalagi memukul. Banyak sekali hadits-hadits yang menyampaikan ini, seperti :

"Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita" (HR Muslim) atau "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik diantara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku" (HR. At-Tirmidzi)

Pun, dalam urusan publik dan aktif di sosial kemasyarakatan, perempuan boleh saja berkiprah. Menjabat suatu peranan asalkan bukan termasuk penguasa. Hal ini seperti contoh pada kasus di zaman Umar bin Khattab yang pernah mengangkat hakim dari golongan perempuan.

Maka, jelaslah bahwa kodrat perempuan bukanlah hanya terbatas pada apa yang diasumsikan banyak orang selama ini, yang katanya hanya berkutat di urusan dapur, kasur, dan sumur. Begitupun persoalan kekerasan berbasis gender yang banyak diperbincangkan dan dihadapi sebagian perempuan saat ini, seperti kekerasan fisik, psikologis (termasuk KDRT dan pelecehan seksual), ekonomi (sebagai tulang punggung keluarga), dsb bukanlah disebabkan oleh syariat Islam. Tapi karena kehidupan liberal kapitalis yang telah mewarnai hari-hari kita.

Semoga tulisan sederhana ini menjadi catatan kecil dalam isu utama dunia tentang kesetaraan gender di tahun 2030, yang akan dimulai dengan berbagai momen penting di tahun 2020, salah satunya peringatan 10 tahun berdirinya UN women.

Kembalilah pada Islam, solusi segala permasalahan perempuan.

*) praktisi pendidikan, ibu rumah tangga yang juga freelance writer dan blogger

 


latestnews

View Full Version