View Full Version
Selasa, 10 Mar 2020

Bugil Bukan Seni

 

Oleh:

Yons Achmad
Pemerhati Kebudayaan, tinggal di Depok

 

SENI itu subyektif. Hal ini yang membuat siapapun merasa berhak melakukan apapun. Seolah seni bisa melakukan apa saja, termasuk di dalamnya seni untuk seni. Membuat siapapun tidak berhak menggugat, melakukan penghakiman. Termasuk misalnya, orang berfoto bugil (telanjang) atau membuat lukisan bugil sejenis. Sebelum banyak orang komentar, “Seniman” sudah berfatwa “Bukan selangkanganku yang salah, tapi otak lu yang ngeres”.

Ada kasus“kreatif”, seorang perempuan, dikenal figur publik, berfoto bugil dengan pesan untuk mencintai dan menghargai tubuhnya sendiri. Ketika banyak orang mengkritik, beberapa orang langsung dicap “kadrun” alias kadal gurun. Berpikir konservatif, menjadi polisi moral, membawa-bawa agama, padahal itu kampanye positif, bukan pornografi tapi seni dsb.

Tapi, bagaimana sikap mereka itu terhadap para pemakai cadar. Ramai-ramai dihakimi. Memakai cadar dihakimi sebagai orang yang tak merdeka, terkekang pemahaman sempit agama. Padahal, bagaimana kalau itu hadir sebagai bentuk lain dari penghargaan tubuh mereka? Di sini, logika penghargaan dan pesan mencintai tubuh sendiri menjadi hambar. Kenapa? Yang pertama, berhak bugil karena logika tubuh mereka sendiri, hanya berdasarkan logika dengan spirit kebebasan sekuler Barat. Yang kedua memakai cadar sebagai pilihan sadar atas dasar pemahaman keagamaan yang mereka yakini. Juga sebagai bentuk penghargaan atas tubuhnya sendiri. Sayangnya, orang sering menerapkan standar ganda. Seolah yang pertama lebih baik, padahal sebaliknya.

Dari kasus, ini saya jadi teringat pengamatan Prof. Dr. Abdul Hadi (2016) dalam buku “Cakrawala Budaya Islam” ketika menyoal “Islam dan Seni Rupa Kontemporer”. Menurutnya, sebuah karya seni yang baik memberikan penikmatnya suasana meditatif (tafakur) dan pada saat yang sama menyajikan pencerahan (kasyf) kepada kalbu kita. Sementara, seni apa yang tak bisa diterima? Unsur-unsur yang membawa kepada syirik, nihilisme, pemujaan suatu kelas tertentu, suku atau ras tertentu, fetisyisme palsu, hedonisme material, pemutarbalikan sejarah wahyu dan kenabian serta pengingkaran terhadap hal-hal yang bersifat metafisis dan eksatologis.

Jadi, dari sini apakah bugil dalam foto atau lukisan bisa disebut seni? Dengan berdalih subyektifitas mungkin bisa disebut seni. Tapi, itu adalah seni paling buruk. Foto bugil, siapa yang bisa membuatnya? Semua orang. Hanya mereka yang kurang waras saja yang kemudian memublikasikan dan menganggapnya seni. Hasilnya apa? Seni kemudian menjadi rendah derajatnya. Lagi pula, tak semua orang tergiur foto bugil. Ahmad Tohari, seorang sastrawan Banyumas pernah berkelakar tentang kecantikan wanita. Bagi seorang sufi, melihat kecantikan perempuan sama halnya dengan seonggok daging belaka. Ini tentu bukan merendahkan, tapi sebuah penglihatan yang dalam untuk tak tergoda dengan semua hal yang sifatnya materi, duniawi.

Pada akhirnya, ketika bicara seni. Atau lebih khususnya seni Islam, kita akan kembali kepada persoalan paling dasar. Seperti tujuan Islam itu sendiri, membawa penganutnya dari kegelapan menuju cahaya tauhid. Perjuangan dari kegelapan menuju cahaya ini yang kemudian disebut dengan pencerahan. Pencerahan seperti apa? Dari “Yang Banyak” menuju “Yang Satu”. Dari yang sifatnya sementara menuju yang kekal dan abadi.

Dalam apresiasi seni juga begitu. Kita mungkin pernah terpesona oleh lukisan yang bagus, sastra yang menjulang, arsitektur yang megah. Pemuja seni untuk seni barangkali hanya sampai kepada penghargaan terhadap obyek itu, termasuk manusia yang menciptanya. Tapi, sebenarnya siapa “Yang Satu”. Yang menciptakan manusia? Inilah pemahaman akan seni profetik (berbasis kenabian) yang kita maknai. Yang membawa manusia ketika berkesenian, berkebudayaan pada akhirnya menjadikan mereka selalu mengingatNYa.


latestnews

View Full Version