View Full Version
Kamis, 12 Mar 2020

Kesetaraan Gender, Diperjuangan oleh Siapa untuk Siapa?

 

Oleh: Khamsiyatil Fajriyah

Peringatan hari perempuan Internasional tanggal 8 Maret sudah berlalu. Namun ambisi para feminis tidak pernah berhenti untuk menjadikan dunia memposisikan perempuan setara dengan laki-laki dalam semua sisi kehidupan. Dengan tema, "I am Generation Equality:Realizing Women's Rights" atau  "Saya Generasi Setara:Menyadari  Hak Perempuan", feminis tetap dengan targetnya planet 50:50 untuk kesetaraan perempuan se-dunia. Menurut mereka, setelah 25 tahun konferensi Beijing  dengan komitmen Beijing Platform for Action, yang disepakati untuk diratifikasi  oleh 189 negara belum berhasil mewujudkan kesetaraan gender secara 'kaffah'.

Ujung Kesetaraan Gender

Capaian yang menunjukkan bahwa masalah perempuan sudah bisa diatasi dengan baik, seperti Angka Kematian ibu yang turun hingga 38% sejak tahun 2000 dan angka partisipasi pendidikan tersier perempuan yang bahkan melebihi pria secara global, belum juga memuaskan para feminis dunia. Rupanya yang terus menjadi kegeraman mereka, dengan dalih lambatnya negara-negara di dunia mewujudkan kesetaraan gender, adalah menjadikan perempuan memiliki hak penuh atas dirinya. Mereka menamakannya hak asasi bagi perempuan, seperti hak penuh atas badan, reproduksi, dan hak publiknya.

Inti dari tuntutan mereka adalah kebebasan atas diri perempuan, sebagai wujud kehidupan sekular. Hasilnya, mereka menganggap bahwa budaya patriarki-lah yang telah menjadi penghalang perempuan meraih kesetaraan. Budaya patriarki yang mereka maksud adalah budaya yang lahir dari syariat Islam. Mereka menganggap peran seorang istri yang diatur dalam syariat Islam, dengan menjalani tugas domestik yang menghadirkan keharmonisan dalam keluarganya, adalah salah satu bentuk kesenjangan gender.

Upaya feminis melepaskan perempuan dari kehidupannya dengan menjalani fitrahnya, tidak akan pernah tercapai. Mengurus rumah, melayani suami, mengasuh anak, secara fitrah telah melekat dalam diri perempuan. Perempuan yang tidak mau berpaling dari fitrahnya, pasti menginginkan kehidupan yang tentram, harmonis, dengan menjalani tugasnya sebagai seorang ibu dan istri dalam rumah tangganya. Bila pun dia terpaksa keluar rumah untuk membantu perekonomian keluarga atau untuk berperan dalam kehidupan masyarakat, dia tak pernah bisa melepaskan sosoknya sebagai seorang ibu dan istri.

Semarah apapun kaum feminis se-dunia karena belum terpenuhinya hak yang setara untuk perempuan, tetap saja  kebebasan yang diberikan oleh sistem sekular, tidak pernah bisa menjadikan perempuan bahagia. Bahkan, permasalahan tak kunjung reda mendera perempuan. Dengan kebebasan yang dimiliki, perempuan hanya menjadi sosok yang mudah untuk dilecehkan dan menjadi korban kekerasan. Sebutlah kebebasan akan tubuh dan reproduksi, yang menjadikan perempuan menemui banyak masalah dan penderitaan. Perempuan hanya menjadi objek kepuasan seksual, pasangan selingkuh, terperangkap dalam prostitusi, model segala produk kepornoan, dan kekerasan seksual. Tak terbayang, semakin besarnya masalah yang akan dihadapi oleh perempuan bila kebebasan mutlak atas nama kesetaraan gender telah diraih.

Tuduhan bahwa kesenjangan peran antara laki-laki dan perempuan di dalam rumah, yang menjadi penghalang bagi perempuan berdaya secara ekonomi dan berakibat kemiskinan, nampak tidak berpijak pada akar masalah sebenarnya. Kaum feminis tutup mata, bahwa perempuan keluar rumah untuk bekerja bukan semata karena dorongan kesetaraan. Mereka terpaksa bekerja, karena kehidupan kapitalis menjadikan kehidupan yang semakin sulit, yang memaksa para perempuan ikut berperan untuk keberlangsungan pemenuhan kehidupan keluarga setiap harinya.

Padahal setiap saat, dilema selalu menghantuinya. Urusan rumah ditinggalkannya, karena sebagian besar waktu disita oleh pekerjaan di luar rumah dan kelelahan sesampai di rumah. Pemberdayaan ekonomi dengan tetap menjadikan perempuan di rumah, tetap tidak mampu menjadikan perempuan lebih fokus kepada fitrahnya. Anak-anak yang 'lepas' dari tangannya dan dibesarkan oleh gawai di tangan mungil mereka, dididik oleh media sosial yang hampir tanpa sensor menyuguhkan kepornoan dan kekerasan. Jelas, itu bukan pilihan hidup seorang perempuan.

Peran sebagai seorang istri pun terancam kelanggengannya. Hubungan suami istri yang berjalan tidak sebagaimana mestinya, sering berujung perceraian. Bahkan hal menyakitkan bisa jadi mereka hadapi, ketika mendapati putri kesayangannya menjadi 'mangsa' ayah tiri bahkan ayah kandung  mereka dengan alasan ketiadaan istri dalam hubungan intim suami istri. Kalau sudah begini peliknya, masihkah terus bertahan bahwa kesetaraan gender sebagai solusi atas segala masalah perempuan? Mendorong perempuan setara, menemui masalah, diselesaikan dengan kesetaraan, lahir masalah yang lebih pelik, dan terus begitu. Menjadi lingkaran setan.

Islam Memanusiakan dan Memuliakan Perempuan

Buruk wajah, cermin dibelah. Begitu peribahasa yang mewakili kemarahan feminis kepada ajaran Islam, yang dianggap sebagai penghalang terwujudnya kesetaraan di dunia. Islam telah sempurna mengatur perempuan. Bukan semata hak mereka sebagai manusia dipenuhi dengan sebaik-baiknya, kemuliaan mereka juga dijunjung tinggi. Dengan diturunkannya Islam, perempuan diposisikan sebagai manusia, bahkan sama dengan laki-laki. Disaat ajaran yang lain menghinakan perempuan, Islam dengan jelas memberikan hak-haknya sebagai manusia dan kemuliaannya.

Sebelum Islam diturunkan, bangsa Yunani dan Romawi sebagai bangsa besar pada saat itu, memposisikan perempuan sebagai makhluk hina. Perempuan hanya dijadikan pemuas nafsu, tidak memiliki hak apapun, bahkan hak hidup. Perempuan hanya menjadi harta kepemilikan bagi ayah dan suami mereka, bukan untuk dilindungi tetapi untuk dimanfaatkan dan diperas tenaganya bahkan bila dianggap membawa sial, mereka akan dibunuh.

Islam datang dengan kesempurnaan ajarannya. Perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum Syara'. Dia diberi kesempatan untuk berkiprah di tengah-tengah  masyarakat untuk memberi manfaat. Dalam menjalani fitrahnya sebagai ibu, Islam memberikan perempuan perlindungan penuh dan menjaga kemuliaannya. Sehingga, tidak pernah kita dengar tuntutan kesetaraan mumcul di saat penerapan Islam kaffah, yang berlangsung hampir 1400 tahun lamanya.

Tuntutan kesetaraan muncul saat sistem sekular liberal diterapkan, dengan ketidakadilannya kepada perempuan. Bila sudah begini, masihkah sistem rusak seperti ini dipertahankan? Sungguh, hanya orang berpikir yang bisa memutuskan dengan waras bahwa Islam saja yang layak untuk diperjuangan dan diterapkan. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version