View Full Version
Sabtu, 31 Oct 2020

Rasulullah Dihina, Siapa yang Mampu Melindunginya?

 

Oleh: Khamsiyatil Fajriyah

Sepanjang bulan Rabiul Awal, umat Islam merayakan maulid Nabi sebagai bentuk kecintaan mereka kepada junjungannya. Sosok yang harus dan pantas dicintai, karena tidak ada kecintaan yang melebihi kecintaan beliau kepada umatnya.

Sebelum beliau wafat, yang terucap lirih di bibir mulia beliau adalah "ummati..ummati." Tidak hanya di  akhir hidup beliau, di akhirat nanti kecintaan beliau kepada umatnya masih berlanjut. Di Padang Mahsyar nanti, beliaulah manusia yang paling sibuk mencari umatnya, mengumpulkan, dan memberi minum mereka dari telaga Kautsar setelah kehausan di bawah terik panas matahari.

Maka sangat layak bila umat Islam se-dunia marah ketika Rasulullah dihina. Terlebih penghinaan ini terjadi di saat umat Islam merasakan kesyahduan dan kerinduan yang dalam kepada Baginda Nabi, di peringatan hari kelahiran beliau.

Sudah sepekan berlalu, sejak pernyataan Emmanuel Macron, Presiden Perancis yang menyatakan bahwa dirinya akan tetap memberikan izin penerbitan karikatur nabi Muhammad di majalah satire Charlie Hebdo. Alasannya, karena hendak mempertahankan kebebasan berekspresi di negaranya. Masalah seperti ini, jelas mengundang reaksi umat Islam di seluruh dunia.

Sepekan ini, umat Islam di seluruh negeri-negeri muslim memprotes pernyataan dan kebijakan Macron. Protes dan kecaman  dari kepala negara hingga rakyat jelata,  di dunia maya juga dunia nyata. Tetapi tetap saja si Macron pada pendiriannya. Yang dikhawatirkannya hanyalah berkurangnya penghasilan Perancis bila negeri-negeri muslim memboikot produk negaranya. Itu saja.

Benar-benar sikap semau gue, gaya khas bangsa Perancis sebagai cerminan sikap individualisme yang kuat. Dan sampai hari ini, tidak ada ucapan maaf kepada umat Islam karena telah menghina Islam dan junjungan mereka. Penyakit intoleran ini ada, karena sekularisme akut yang telah diidap lama oleh Perancis.

Memboikot dan mengecam  adalah langkah awal menolak pernyataan si Macron. Menghentikan si Macron, tentu tidak bisa berhenti sampai di langkah ini. Tahapan selanjutnya adalah jangan lagi berdiri di sisi yang sama dengan si Macron beserta segenap prinsip hidup bangsa Perancis. Apakah itu? Jangan ikut hidup dalam kehidupan sekular dan mempertahankan demokrasi yang menjadi sumber kebebasan berekspresi.

Untuk ketegasan bersikap, umat Islam bisa melihat bagaimana Sultan Abdul Hamid II menghentikan upaya penghinaan kepada Rasulullah SAW. Saat itu akan ada pementasan teater di Perancis, dengan judul "Muhammad dan Kefanatikan" yang disadur dari karya sastra Voltaire. Sultan Abdul Hamid II hanya memanggil duta besar Perancis dengan pesan yang menunjukkan kewibawaan beliau sebagai Khalifah, pemimpin umat Islam. Singkat saja pesan beliau kepada duta besar Perancis.

"Aku Sultan dari Balkan, Irak, Suriah, Lebanon, Hijaz, Kaukasus, Anatolia, dan Istambul. Aku, Khalifah Abdul Hamid Han. Jika Anda tidak menghentikan teater tersebut. Maka akan kuhancurkan negerimu."

Dan pementasan itu benar-benar dibatalkan. Padahal saat itu, kondisi kekhilafahan Turki sedang krisis, dengan julukan "The Old Sick Man" yang diberikan oleh negara-negara Eropa. Sedangkan Perancis saat itu, adalah salah satu dari negara besar di Eropa yang tengah berjaya. Tetap saja, Khilafah Turki sebagai sebuah negara adidaya yang melindungi umat Islam, agama, dan Rasulullah walaupun harus bertaruh nyawa, disegani oleh negara-negara di dunia.

Hari ini, kita belum memiliki kekuatan itu, kekuatan yang menjadi pelindung Islam dan Nabinya. Kekuatan yang akan membungkam musuh-musuh Allah. Maka, berjuang untuk memilikinya kembali, jelas bukanlah mimpi. Berjuang mewujudkannya kembali, adalah buah keyakinan akan janji Allah dan RasulNya. Insya Allah segera. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google

 


latestnews

View Full Version