View Full Version
Kamis, 17 Dec 2020

Akankah Indonesia Normalisasi Hubungan Diplomatik dengan Israel?

 

Oleh: Vivin Indriani  

Media Israel mengklaim Indonesia sangat ingin melakukan normalisasi hubungan dengan Israel sebagaimana negara-negara Arab yang sudah lebih dulu bergabung. Channel 12 dan Channel 13 sebagaimana dikutip oleh Times of Israel pada Jumat(11/12/2020) lalu mengumumkan bahwa Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, sangat menginginkan untuk memiliki hubungan publik dengan Israel.

Meski belum jelas sumbernya, namun laporan dari Channel 13 TV mengatakan bahwa Arab Saudi telah bekerja sama dengan pemerintahan Preaiden Trump untuk membujuk beberapa negara Islam agar bersedia menandatangani perjanjian normalisasi dengan Israel. Diantara negara-negara yang disebut-sebut akan bergabung yakni Oman dan Indonesia.

Hal ini tentu saja berlawanan dengan sikap Indonesia sebelumnya. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menegaskan posisi Indonesia terkait konflik Palestina harus didasarkan pada Resolusi DKK PBB yang relevan dan parameter yang disepakati secara Internasional. Yakni menggunakan solusi dua negara. Demikian disampaikan secara resmi setelah Kemenlu usai pengumuman normalisasi UEA-Israel.

Demikian juga disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah ketika ditanya soal normalisasi hubungan Indonesia-Israel, yang menegaskan bahwa tidak ada komunikasi antara Kemenlu RI soal ini. Faizasyah menyatakan bahwa Kemenlu RI menjalankan politik Luar Negeri RI atas konflik Palestina-Israel senantiasa berpegang pada amanat konstitusi.

Normalisasi Hubungan dengan Penjajah

Isi pembukaan UUD 45 alinea pertama dengan sangat jelas menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk menghapuskan berbagai bentuk penjajahan dan ikut serta menyuarakan kemerdekaan bagi bangsa-bangsa yang masih terjajah. Demikian juga sikap Indonesia sejauh ini terhadap konflik yang terjadi antara Palestina dengan Israel.

Suara Indonesia di tingkat internasional seperti dalam forum PBB selama ini senantiasa memberikan dukungan kepada kemerdekaan Palestina. Meski pada dasarnya bisa terlihat bahwa suara dan dukungan kepada Palestina lebih kepada mengamankan suara mayoritas umat Islam Indonesia. Namun sejauh ini, Indonesia telah menempatkan diri sebagai mitra Palestina.

Israel dianggap oleh mayoritas masyarakat Muslim terutama Muslim Indonesia sebagai negara yang mencaplok wilayah Palestina. Oleh karena itu Israel adalah negara penjajah dan selayaknya sesuai dengan aturan dan isi pembukaan UUD 45, penjajahan Israel atas Palestina harus dihapuskan.

Test The Water Isu Bergabung dalam Normalisasi

Siaran televisi Israel yang tidak mencantumkan asal sumber kesediaan dan keinginan Indonesia untuk bergabung dalam normalisasi hubungan dengan Israel ini bisa kita lihat sebagai upaya Test The Water. Sebuah isu yang dilempar ke hadapan publik untuk mengetahui sejauh mana reaksi publik terhadap kemungkinan untuk menyetujui satu kebijakan yang akan diputuskan. Di mana kebijakan itu dianggap bertentangan dengan keinginan masyarakat.

Jika hasil dari Test The Water tadi berupa penolakan, maka kebijakan tersebut akan dipertimbangkan untuk tidak diberlakukan. Namun jika publik tidak menunjukkan penolakan yang berarti, maka kebijakan tersebut akan jalan terus. Hal semacam ini banyak kita lihat sejak beberapa tahun terakhir. Demikian pula yang terjadi dalam kasus tersebarnya berita Indonesia akan menormalisasi hubungan dengan Israel.

Unggahan serupa dalam beberapa hari ini dibuat dengan menghadirkan beberapa berita serupa dan pendapat pakar ekonomi yang menampilkan keuntungan dan manfaat yang akan diperoleh Indonesia jika bersedia menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Seperti judul artikel di Detik Finance pada Senin(14-12-2020) dengan judul "Ini Untung Ruginya Bila RI Berkongsi Dengan Israel". (https://finance.detik.com)

Bisakah Penjajahan atas Palestina Dihapuskan

Sebagai negeri Muslim dengan jumlah mayoritas, semestinya Indonesia menunjukkan keberpihakan kepada Palestina tanpa memandang untung rugi. Tanpa melihat apakah ada manfaat ekonomi dan bisnis yang akan diperoleh jika bersedia bergabung dengan negara-negara Arab untuk normalisasi hubungan dengan Israel. Hanya segelintir para kapitalis yang akan menikmati hasil hubungan diplomatik dengan Israel, sementara rakyat Indonesia secara mayoritas akan menanggung malu atas keberpihakannya kepada negara penjajah yang telah lama menguasai tanah Palestina secara ilegal.

Upaya-upaya untuk membuka jalur diplomatik dan bisnis dengan Israel sesungguhnya telah berkali-kali dilakukan sejak era Reformasi hingga hari ini. Namun, penolakan tegas masyarakat Muslim di negeri ini menjadi satu sikap yang mampu menolak tawaran normalisasi hubungan dengan negara penjajah Israel. Di sisi lain, Palestina terus menderita dari waktu ke waktu okeh arogansi Israel dan tentaranya.

Pencaplokan tanah-tanah milik rakyat Palestina untuk memperluas wilayah jajahan Israel terus dilakukan hingga kini. Berbagai intimidasi dan teror terus dilakukan kepada penduduk Palestina. Berapa kali PBB sebagai lembaga perdamaian dunia mengultimatum dan berusaha menjatuhkan sanksi atas Israel namun selalu dibatalkan oleh negara-negara pendukungnya seperti Amerika Serikat. Alhasil, Israel kian tak terhentikan.

Sejatinya penjajahan Israel hanya bisa dihentikan oleh satu kekuatan negara. Sebuah negara yang independen dan tidak menggantungkan keputusan luar negerinya kepada perjanjian yang mengikat dan membuatnya tidak mampu bersikap secara mandiri. Dibutuhkan sebuah institusi negara adidaya yang ditakuti oleh Israel dan negara-negara sekutunya. Di mana konsekuensi apapun bisa diambil asal Palestina kembali ke pangkuan umat Islam seutuhnya.

Sepanjang sejarah umat Islam, hanya Kekhilafahan Islam satu-satunya institusi yang cukup ditakuti keberadaannya oleh musuh-musuh Islam. Pasukan Muslim dan kehadirannya senantiasa menggentarkan dan ditakuti oleh musuh dalam berbagai medan pertempuran. Kekuasaan Islam yang membentang tiga perempat wilayah dunia pada waktu itu aman terkendali dalam kontrol perlindungan khilafah Islam. Khalifah sebagai pemimpin daulah Islam, akan memberikan penjagaan ketat kepada wilayah perbatasan agar tidak memunculkan gangguan kepada warga negara daulah yang tinggal di sekitar perbatasan.

Kaum Muslimin sebagai warga negara juga merupakan pribadi-pribadi tangguh yang akan menjaga dengan segenap jiwa dan raga tanah-tanah umat Islam. Sebab hal tersebut adalah bagian dari jihad fisabilillah. Bahkan menjaga tanah air kaum muslimin termasuk ibadah yang memiliki keutamaan lebih baik dari dunia dan seisinya. Rasulullah saw bersabda,

رِبَاطُ يَوْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا

“Ribath (bersiap siaga) satu hari di jalan Allah lebih baik dari dunia dan apa saja yang ada di atasnya.” (HR Bukhari).

Maka, seharusnya tidak ada kompromi dengan penjajah yang jelas-jelas mencaplok dan mengambil tanah umat Islam tanpa hak. Serta diharuskan bagi kaum Muslimin untuk ikut andil dalam menjaga tanah-tanah kaum muslimin sebagai bagian dari perintah agama. Jika intitusi yang memiliki kemampuan untuk mengusir dan menghapuskan penjajahan di atas tanah Palestina belum nampak, maka menjadi kewajiban kaum muslimin untuk menghadirkannya dengan cara dan metode yang sama sebagaimana dakwah Rasulullah saw di Mekkas hingga tegaknya daulah Islam pertama di Madinah. Wallahu 'alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version