View Full Version
Rabu, 24 Feb 2021

Standar Ganda Tudingan Intoleransi Agama

 

Oleh:

Fita Rahmania, S. Keb, Bd.

 

DALAM video itu, terdengar orang tua murid tengah menjelaskan bahwa ia dan anaknya merupakan non-muslim, sehingga ia meminta toleransi kepada pihak sekolah untuk tidak menggunakan jilbab. Namun, pihak sekolah menyebutkan, penggunaan jilbab merupakan kewajiban dan aturan sekolah. Dengan demikian, menjadi janggal bagi guru-guru dan pihak sekolah kalau ada anak yang tidak mematuhi peraturan sekolah.

Namun, pihak sekolah menyebutkan, penggunaan jilbab merupakan kewajiban dan aturan sekolah. Sehingga, menjadi janggal bagi guru-guru dan pihak sekolah kalau ada anak yang tidak mematuhi peraturan sekolah. Apalagi pada awal penerimaan masuk sekolah, orangtua dan anak sudah sepakat untuk mematuhi peraturan sekolah.

Bahkan dikutip dari detik.com sejumlah siswi non-muslim di sekolah itu pun mengungkap cerita mereka memilih berjilbab sejak SD. Salah satu siswi, Eka Maria Putri Waruwu, mengatakan sudah memakai jilbab ke sekolah sejak duduk di kelas IV SD. Dia mengatakan tak ada pengaruh penggunaan jilbab ke sekolah dengan keimanannya sebagai pemeluk Kristen.

Akibat kejadian tersebut, EH, orangtua siswi SMKN 2 Padang yang diduga dipaksa memakai jilbab di sekolah, melaporkan kasus yang dialami putrinya ke Komnas HAM serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Alih-alih meredakan perseteruan yang terjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim  serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, Mahfud Md justru melontarkan statemen yang semakin memperkeruh suasana. Nadiem Anwar Makarim menegaskan, pemerintah tidak akan menoleransi guru dan kepala sekolah yang melakukan pelanggaran dalam bentuk intoleransi.

Pihaknya bahkan telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait pemberian sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi pihak yang terbukti terlibat. Sedangkan Menko Polhukam Mahfud MD dalam inews.id, mengingatkan bahwa tidak boleh ada pemaksaan dalam penggunaan atribut agama ke siswa. Dia menyamakan hal itu dengan pelarangan hijab yang terjadi di Indonesia pada tahun 1980-an.

Sikap gegabah beberapa pihak yang dengan cepat bereaksi tanpa melakukan peninjauan mendalam adalah cerminan buruk bagi masyarakat. Ditambah lagi mereka kurang melihat fakta-fakta lain yang menimpa siswi muslimah yang dilarang berhijab oleh sekolah.  Contohnya dalam catatan P2G, pelarangan kerudung di SMAN 1 Maumere 2017 dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari tahun 2019.

Bahkan pada 2014, tak kurang dari 40 sekolah di Bali melarang penggunaan kerudung. Ketika fakta itu mencuat tak ada pihak bereaksi, berkoar soal intoleransi dan menggolongkannya dalam pelanggaran HAM. Dengan demikian, telah nampak jelas bagaimana standar ganda berlaku di negeri ini. Standar ganda merupakan ukuran moral dengan membuat penilaian terhadap subjek yang berbeda, dinilai secara tidak sama dalam suatu kejadian atau objek serupa yang terkesan tidak adil dan proporsional.

Dalam Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang pakaian seragam sekolah pun telah dijelaskan, mengenai jenis-jenis seragam sekolah, salah satunya adalah seragam muslimah, yaitu terdiri dari rok, kemeja lengan panjang, dan kerudung. Namun, tidak boleh ada pemaksaan bagi siswi baik muslim ataupun nonmuslim untuk menggunakan seragam muslimah, harus sukarela. Sehingga bagi siapa saja yang berkeberatan menerima aturan tersebut, ia harusnya secara fair akan melakukan diskusi di awal tanpa menunggu permasalahan ini besar dan berdampak pada beredarnya opini negatif tentang aturan Islam berupa jilbab yang antitoleransi.

Citra syariat Islam sebagai aturan Sang Pencipta Allah SWT.  memang sedang dijauhkan dari pemeluknya sendiri. Pola pikir sekulerisme dan liberalisme telah menyatu kuat di benak kaum muslim. Bukannya berbondong-bondong menegakkan kewajiban menutup aurat baik bagi dirinya dan saudara muslim lainya, mereka malah memilih sikap hormat bagi siapa saja yang belum mau berhijab. Seolah kewajiban ini adalah sebuah pilihan yang bebas untuk dijalankan atau tidak. Sehingga wajar jika hari ini seorang  perempuan dibebaskan menggunakan pakaian yang membuka aurat mereka, maka kasus-kasus pelecehan hingga pemerkosaan kerap terjadi.

Sesungguhnya, Islam adalah agama yang sangat toleran. Makna toleransi dalam Islam tentu bukan dengan mencampuradukkan ajarannya. Tapi dengan saling menghormati dan tak saling memaksakan atas akidahnya.

Allah SWT berfirman,

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus.” (QS Al Baqarah: 256)

Sejarah pun telah membuktikan bahwa saat kekhilafahan Islam berdiri dan memberlakukan aturan menutup aurat bagi seluruh warga negaranya, baik muslim dan non-muslim sama sekali hal itu tidak menjadi masalah. Terkait aturan dalam berpakaian terdapat 2 batasan yang ditentukan oleh syara’.

Pertama, menurut agamanya, maka ahlu dzimmi diperbolehkan untuk berpakaian menurut agamanya, yaitu pakaian pendeta, biarawati, rahib Yahudi, dan sebagainya. Kedua, dalam ruang lingkup aturan hukum syara’ yang diperbolehkan. Ketentuan kehidupan publik mencakup muslim dan nonmuslim, untuk pria dan perempuan. Untuk pakaian perempuan di kehidupan umum, sebagaimana ketetapan Islam, maka perempuan nonmuslim juga menggunakan pakaian yang sama.

Pakaian yang menutup aurat adalah sebuah perlidungan bagi kaum perempuan, baik muslim maupun non-muslim supaya kehormatan mereka tetap terjaga dan terhindar dari kemaksiatan. Oleh karena itu, kesadaran dan pemahaman akan syariat Islam semacam ini perlu ditancapkan di dada kaum muslimin sehingga tak ada lagi tudingan keji yang menghina ajaran Islam, agamanya sendiri.*


latestnews

View Full Version