View Full Version
Senin, 08 Mar 2021

Benang Merah Arab Spring dan Seabad Nihilnya Khilafah Islam

 

Oleh: Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
Alumni Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam UI

Tahun 2021 baru memasuki bulan ketiganya, tapi sungguh Allah seakan berusaha mengingatkan kaum muslimin dengan berbagai momentum keumatan. Di antara sekian banyak momentum ini, terdapat dua momentum yang cukup prominen dan waktunya bersamaan, namun agaknya kurang mendapatkan sorotan. Ialah peristiwa Arab Spring dan keruntuhan khilafah Islam, dua momentum yang seharusnya menarik perhatian kaum muslimin.

Tahun 2021 ini menandai sepuluh tahun pecahnya revolusi yang dikenal dengan “musim seminya” negeri-negeri Arab yang sumbunya menyala pada akhir tahun 2010 dan awal tahun 2011. Di tahun ini juga, tetapi dengan penanggalan Hijriah, seabad sudah institusi khilafah Islam kebanggan kaum muslimin secara global itu tiada, yakni pada tahun 1342 H yang saat itu bertepatan dengan tahun 1924 berdasarkan penanggalan Masehi.

Sedikit menyegarkan kembali ingatan, Arab Spring yang melanda kawasan Timur Tengah ini terjadi sebagai gejolak yang ditunjukkan oleh rakyat beberapa Negara terdampak Arab Spring terhadap ketidakadilan dan ketimpangan yang melanda negeri mereka, tersebab penguasa yang dapat dikatakan abai dalam memenuhi hak-hak dan kebutuhan rakyatnya. Pantikan revolusi yang bermula di Tunisia ini akhirnya berhasil menumbangkan beberapa penguasa di Timur Tengah, yakni di Ben Ali di Tunisia, Husni Mubarak di Mesir, Muammar Gadafi di Libya dan Ali Abdullah Saleh di Yaman. Seluruhnya bermuara pada durasi kekuasaan yang sudah berlangsung puluhan tahun, namun dianggap gagal dalam mengakomodir aspirasi rakyat.

Kemudian jika menarik kembali tali sejarah ke jauh sebelum Arab Spring ini pecah, peristiwa yang lebih besar dan menggemparkan dunia telah terjadi. Pengabolisian institusi khilafah Islam terakhir kaum muslimin lalu digantikan dengan Republik Turki yang berdiri di atas asas sekularisme. Seratus tahun dalam penanggalan Hijriah, kaum muslimin sudah hidup bukan di bawah kekuasaan yang menjadikan Islam sebagai landasan bernegaranya, padahal baginda Nabi telah menggariskan batas maksimal kaum muslimin “boleh” tidak memiliki khalifah, yakni hanya tiga hari. Terbayang seperti apa nestapa yang dirasakan umat ini ketika mereka hidup bukan dalam ‘habitat’nya?

Dari dua fenomena yang berselang jauh ini, keduanya sebetulnya memiliki benang merah yang sama yang dapat dijadikan pelajaran oleh kaum muslimin yang merindukan kebangkitan dan perubahan. Arab Spring yang pecah di 2011 ini, menunjukkan pola kepemimpinan individu yang tidak ideal, rentan disusupi oleh kepentingan asing sehingga harus mengorbankan kepentingan rakyat; dan karena pondasi kepemimpinan yang tentu tidak Islami, namun mengarah pada pragmatisme sekuler.

Adapun pada tragedi keruntuhan khilafah, ia sejatinya merupakan agenda yang telah dicanangkan puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya oleh Barat dan kaki tangannya. Keruntuhannya ini menunjukkan keberhasilan Barat dalam melemahkan otoritas kekhalifahan, walaupun institusinya secara fisik masih ada; menjauhkan penguasa dan kaum muslimin dari pilar-pilar Islam; dan menjadikan ide asing seperti nasionalisme dan sekularisme menjadi lebih menawan dibandingkan ide dan pemikiran yang bersumber dari Islam.

Kedua momentum ini juga secara nyata menyampaikan kepada segenap kaum muslimin, bahwa ketika kekuasaan itu tidak benar-benar berada pada umat dan tidak diberikan kepada Islam, maka kejadian-kejadian seperti Arab Spring yang juga berujung pada konflik internal berkepanjangan kaum muslimin dan tidak diaturnya umat Muhammad dengan aturan Allah dalam institusi Negara, tentu menjadi sebuah keniscayaan.

Di balik malapetaka yang menimpa dunia Islam tersebut, masih ada banyak kenestapaan lainnya yang tak kalah ironis untuk diketahui. Sebut saja, nyawa umat ini menjadi kian “murah”, karena tidak lagi memiliki pelindung hakiki yang akan senantiasa menjaga setiap tetes darah kaum muslimin. Lalu tak lupa bahwa betapa negeri-negeri muslim hari ini kerap menjadi sasaran empuk dari serangan fisik dan nonfisik yang dilancarkan oleh Barat yang tak menghendaki kebangkitan umat, karena hilangnya kekuatan dan posisi tawar diinullah dan “khayru ummah” ini dalam kancah kehidupan global.

Semua itu mengajarkan kepada siapapun yang merindukan kembali kejayaan itu berada di tangan Islam dan kaum muslimin, bahwa hidupnya umat bukan di bawah naungan syariah dan hukum-hukum Allah adalah masalah besar yang harus menjadi perhatian bersama dan harus menjadi prioritas masalah yang diselesaikan sesegara mungkin. Kaidah syar’i yang mengatakan “haytsuma kaana asy-syar’u fa tsammati al-mashlahah“ atau yang berarti di mana ada syariat, di situ ada maslahat tentu tidak akan berlaku sampai kapanpun apabila syariat yang menjadi sebab didatangkannya maslahat untuk umat oleh Allah ini tidak diimplementasikan dalam kehidupan. Bila bukan maslahat yang kita dapatkan, maka jelas, berbagai mudharatlah yang justru akan menghampiri.

Umat ini sudah terlalu lama hidup dalam naungan peradaban yang mengesampingkan peran Allah dalam pengaturan hidup. Seratus tahun tiadanya khilafah seharusnya menjadi batu loncatan umat untuk segera memaksimalkan ikhtiar dalam rangka mewujudkan kembali kekuatan Islam, agar tak hanya preseden buruk ala Arab Spring dapat terulang kembali, namun lebih dari itu, agar berbagai kenestapaan yang dirasakan oleh umat Muhammad dapat terangkat dan segera tergantikan dengan kecemerlangan hidup di bawah ketaatan penguasa dan rakyatnya pada Allah, Tuhan semesta alam. Wallahu a’lam bisshawwab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version