View Full Version
Ahad, 06 Jun 2021

Dagelan Lemahkan KPK Lewat Tes Wawasan Kebangsaan

 

 

Oleh: Hana Annisa Afriliani,S.S

Korupsi yang membudaya di negeri ini menjadi ancaman bagi kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu, demi menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme, maka dibentuklah lembaga independen demi memberantas praktik korupsi di negeri ini lewat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun demikian, dalam perjalanannya UU KPK tersebut mengalami revisi dan telah disahkan oleh DPR pada September 2019 lalu. Banyak pihak yang menyatakan bahwa ada upaya pelemahan KPK lewat revisi UU tersebut.

Sebagaimana diungkapkan oleh Febri Diansyah, juru bicara KPK pada saat itu, yang dilansir dari Kompas.com (25-09-2019), “Dua puluh enam poin ini kami pandang sangat berisiko melemahkan atau bahkan riskan bisa melumpuhkan kerja KPK. Karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini."

Pelemahan KPK Itu Nyata

Adapun di antara poin yang dianggap melemahkan KPK adalah adanya Dewan Pengawas KPK, penyidik dan penyelidik hanya dari pihak polri dan jaksa, penyadapan harus berdasarkan izin Dewan Pengawas, penuntutan harus berkordinasi dengan Kejaksaan Agung, hal itu dinilai semakin menyulitkan proses pemberantasan korupsi.

Wajar, jika revisi UU KPK kala itu menuai banyak kritik, karena banyak pasal yang diubah mengarah pada upaya pelemahan KPK. Namun, nyatanya upaya pelemahan KPK tak hanya berhenti sampai di situ. Baru-baru ini sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), bahkan 51 orang darinya dinonaktifkan dari jabatannya karena dianggap tak bisa dididik lagi.

Adapun tes wawasan kebangsaan tersebut diselenggarakan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang juga melibatkan Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS-TNI), Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat (Pusintel TNI AD), Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat (DISPSIAD), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sedangkan asesmen dari materi TWK ini di antaranya integritas berbangsa untuk menilai konsistensi perilaku pegawai apakah sesuai dengan nilai, norma, dan etika organisasi dalam berbangsa dan bernegara.

Namun, faktanya TWK menuai polemik dari berbagai kalangan. Tak sedikit yang melontarkan kritik, di antaranya Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas. Beliau mengatakan bahwa TWK mencampuradukan antara pengadaan PNS dengan alih status pegawai KPK menjadi PNS.

Feri menjelaskan  bahwa tes wawasan kebangsaan tidak termasuk dalam lima tahapan alih status pegawai KPK sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 41 Tahun 2020. Tes wawasan kebangsaan, sebut dia, tertuang dalam PP tentang manajemen PNS.(Detiknews.com/01-06-2021)

Dan ternyata, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron pun mengakui bahwa Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai sarana alih status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) tetap sah meski tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Novel Baswedan sebagai salah satu pegawai KPK tak lulus TWK menyatakan bahwa ada upaya untuk menyingkirkan orang-orang yang berintegritas dari KPK. Bahkan ia menyebut bahwa upaya tersebut merupakan upaya lama. (jpnn.com/05-05-2021)

Jika ditilik, memang sejatinya ada beberapa keganjilan di dalam Tes Wawasan Kebangsaan tersebut. Pertama, pertanyaan yang diujikan dalam TWK banyak yang menyimpang dari persoalan kebangsaan. Sebaliknya lebih banyak menyorot soal pemahaman agama dan pandangan politik pegawai yang mengikuti tes. Di antara soal tersebut adalah, bagaimana pandangan anda terhadap LGBT? Bagaimana sikap anda terhadap FPI dan HTI? Bagaimana pandangan anda terhadap hal ghaib? Qunut atau tidak qunut? Bahkan ada pertanyaan, memilih Al-Qur'an atau Pancasila?

Menurut salah satu pegawai yang mengikuti tes tersebut, sebagaimana diberitakan oleh Tribunnews.com (29/05/2021) bahwa dari 200 pertanyaan, hanya satu pertanyaan yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Jadi sungguh mengherankan bukan? Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan justru sangat tampak ingin membaca isi kepala para pegawai KPK, apakah sesuai dengan visi rezim atau justru bertentangan.

Kedua, beberapa pegawai KPK yang dinyatakan tak lulus TWK adalah para penyidik yang masih aktif menyelidiki kasus korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah, contohnya penyidik yang tengah menangani kasus korupsi Harun Masiku,  penyidik atas kasus korupsi dana Bansos oleh Juliari Batubara, penyidik yang tengah menangani korupsi pengadaan benih lobster, bahkan direktur sosialisasi dan kampanye antikorupsi KPK, Giri Suprapdiono dinyatakan tak lulus TWK. Sebelumnya beliau dikenal vokal menyuarakan penolakan atas revisi UU KPK.

Sungguh ironis, satu-satunya lembaga antirasuah yang dibentuk untuk memberantas para tikus berdasi, nyatanya terus dikempesi. Sangat nyata bahwa sistem hari ini berupaya terus melindungi para koruptor kelas kakap. Miris, jika maling ayam babak belur bahkan mati dihakimi massa, sedangkan maling uang rakyat justru melenggang elegan dalam perlindungan rezim.

Begitulah dagelan yang terpaksa harus kita saksikan di negeri berideologi kapitalisme sekuler hari ini. Budaya korupsi mengakar, di mana ada kesempatan maka di situlah ada taktik untuk meraup keuntungan. Materi oriented, sungguh itulah yang menjadi tujuan adalah hidup mereka yang jiwanya telah terkontaminasi debu-debu kapitalisme. Tak peduli halal-haram, yang penting untung besar. Tak peduli merugikan rakyat, yang penting diri sendiri berlimpah harta.

Sistem Islam Menumpas Korupsi

Jika sistem hari ini melanggengkan korupsi, lain halnya dengan sistem Islam. Tak ada ruang bagi koruptor. Karena sejatinya korupsi merupakan jarimah (kejahatan) yang wajib dibumihanguskan.

Allah Swt berfirman:

"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." [Al-Baqarah/2: 188]

Korupsi levelnya lebih tinggi dari mencuri, karena yang dirugikan bukan individu saja, melainkan masyarakat secara luas bahkan negara. Maka dalam sistem Islam, pelaku korupsi akan diberikan sanksi tegas berupa ta'zir, yakni bentuk hukumannya diserahkan kepada ketetapan Khalifah atau kepala negara. Jika harta yang dikorupsinya besar, bisa jadi sanksi hukuman mati akan dijatuhkan padanya. Tak ada belas kasih apalagi kompromi. Begitulah sistem uqubat dalam sistem Islam, berfungsi sebagai jawazir (pemberi efek jera) dan jawabir (penebus dosa).

Adapun sistem Islam pun akan melakukan upaya preventif dalam rangka mencegah terjadinya korupsi. Di antaranya menanamkan ketakwaan kepada setiap individu rakyatnya. Sebab ketakwaan merupakan modal asasi dalam diri seorang muslim dalam mencegahnya dari perilaku maksiat atau melanggar syariat. Oleh karena itu, negara dalam sistem Islam akan menghadirkan sistem pendidikan berbasis pada pembentukan akidah islamiyah dan kepribadian Islam pada anak didiknya, sehingga output pendidikan adalah mereka yang bertakwa, amanah, adil, dapat dipercaya, dan berjiwa pemimpin. Dengan begitu, ketika mereka mengaktualisasikan diri dalam kehidupan atau memegang suatu jabatan, tentu akan senantiasa bersandar pada syariat Islam. Tak ada nafsu berkuasa karena ingin menilap uang rakyat. Halal-haram menjadi standar dalam perbuatan.

Tak hanya itu, sistem Islam pun menghidupkan budaya amar ma'ruf nahi mungkar sebagai bagian dari kewajiban seorang muslim. Mereka akan menegur ketika melihat kemaksiatan, bukan malah ikut bermaksiat secara berjamaah.

Pemerintah dalam sistem Islam akan melakukan audit terhadap harta kekayaan para pejabat negara, sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada harta yang dicurgai sumber pendapatannya, maka akan disita oleh negara dan pelakunya akan dikenai sanksi. Islam juga melarang para pemangku kekuasaan untuk menerima hadiah dalam bentuk apapun. Hal ini semata-mata dalam rangka mencegah terjadinya praktik suap.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: "Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemberi suap dan penerima suap di dalam hukum." (HR. Ahmad, no. 9011, 9019; Abu Dawud, no. 3582; Ibnu Hibban, no. 5076)

Selanjutnya, sistem Islam akan menjadikan aturan Islam sebagai rujukan dalam setiap permasalahan kehidupan. Aturan Islam dijadikan sandaran dalam bermasyarakat serta bernegara, termasuk dalam menindak tegas pelaku korupsi.

Demikianlah potret ketegasan Islam dalam melibas praktik korupsi. Tak butuh lembaga khusus untuk memberantasnya, karena sudah ditangkal secara sistemik melalui penerapan sistem Islam itu sendiri. Oleh karena itu, saatnya kita menghentikan dagelan rezim hari ini dengan berjuang mengembalikan tegaknya sistem Islam di atas muka bumi ini. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version