View Full Version
Ahad, 19 Sep 2021

Over Kapasitas Lapas, Apa Solusinya?

 

Oleh: Meri Hastuti

 

Kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas 1 di Tanggerang Rabu   (8/9/2021) memakan korban tewas mencapai 44 orang dan luka-luka 8 orang. Pemberitaan tewasnya narapidana di Lapas Tangerang menjadi sorotan media nasional maupun internasional.

Kebakaran Lapas ini bukanlah kali pertama. Di negeri ini sering terjadi kebakaran dengan berbagai motif. Mulai dari masalah arus listrik, perkelahian antar napi hingga over kapasitas penghuni lapas. Untuk Lapas Tangerang sendiri yang harusnya di huni 600 orang, ternyata penghuninya mencapai 2.072 orang. Menkumham Yasonna Laoly menyatakan Lapas Tanggerang kelebihan penghuni 250 persen.

Over Kapasitas Lapas

Over kapasitas Lapas terjadi hampir di semua wilayah. Ada dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama pelaku kriminalitas semakin meningkat. Setiap tahunnya, kepolisian mencatat angka kriminalitas selalu naik. Bahkan di masa pandemi, terjadi tren gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).

Kedua, peradilan yang ditegakkan menjadikan penjara sebagai menu pokok hukuman. Mayoritas kasus yang ditangani kepolisian dan peradilan selalu berakhir dengan penjara. Selaras dengan pernyataan peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, bahwa sistem peradilan Indonesia yang menjadikan penjara sebagai hukuman utama. Pidana penjara 52 kali lebih sering digunakan jaksa dan hakim dari bentuk pidana lain (www.cnnindonesia.com, 08/09/2021).

Ditambah, penegakan hukum yang tidak berkeadilan seperti penerapan pasal-pasal karet UU ITE. Tak sedikit masyarakat yang menjadi korban UU ITE yang juga berakhir di penjara. Tahanan yang mestinya tidak perlu ditahan akibat intrik politik penguasa. Ini juga menjadi sebab hunian penjara tak pernah sepi dari politik kepentingan.

Padahal harus diakui, hari ini penjara saja tak cukup memberikan efek jera pelaku kejahatan. Banyak pelaku kejahatan ternyata ‘berguru’ selama di penjara. Ketika keluar dari penjara kembali mengulang kejahatan yang sama bahkan lebih berat lagi kasusnya. Di penjara juga subur  aktivitas kejahatan oleh para napi seperti transaksi narkoba, pembunuhan dan sebagainya. Yang miris acapkali terjadi jual beli penjara mewah oleh oknum pegawai Lapas kepada napi berkantong tebal.

Kriminalitas Massal Akibat Penerapan Hukum Sekuler

Meningkatnya angka kriminalitas dan hukuman yang tak berefek jera adalah konsekuensi dari penerapan hukum sekuler di negeri ini. Manusia cenderung mudah melakukan kejahatan karena lemahnya keimanan untuk mentaati Allah SWT dan RasulNya. Sehingga tanpa berdosa melakukan kejahatan yang merugikan masyarakat.

Apatah lagi dalam kondisi sulit hari ini. Sempitnya akses lapangan pekerjaan, PHK massal, maraknya pengangguran dan ditambah lagi negara ‘abai’ mengurusi rakyatnya. Akal sehat hilang dan kejahatan pun dilakukan karena mendesaknya kebutuhan perut keluarga.

Tak dapat dinafikkan, hukum peradilan pidana yang diterapkan di negeri ini adalah warisan kolonialisme Belanda. Hukum buatan akal manusia yang terbatas ini, sarat sekali dengan sekulerisasi. Hukum agama dipinggirkan. Sehingga wajar saja tindak kejahatan akan terus tumbuh subur, karena hukum yang ditegakkan nihil keimanan. Pelaku kejahatan tak menganggap ada kaitan kejahatan yang dilakukannya dengan kemaksiatan pada Allah. Pun sama dengan pelaksana dan penegak hukum, menjalani aktivitas hukuman terlepas dari nilai ruh agama. Sehingga mudah melakakan jual beli hukum.

Hukum Pidana Islam Ampuh Atasi Kriminalitas

Keimanan pada Allah SWT dan RasulNya, memberikan konsekuensi bagi muslim untuk terikat pada syari’at Islam, termasuk dalam ranah hukum pidana. Allah SWT telah menetapkan aturan hukum pidana secara lengkap dan terperinci yang dijelaskan para ulama dalam kitab yang membahas nizham uqubat. Yang harus diyakini kaum muslim hanya hukum pidana dari Allah SWT lah yang terbaik, adil dan memanusiakan manusia. Karena Allah SWT Maha Mengetahui yang terbaik bagi manusia.

Penerapan nizham uqubat diliputi atmosfer keimanan, karena kesadaran akan kewajiban dari Allah SWT dan pertanggung jawabannya di akhirat. Setiap pelaksanaannya mendatangkan pahala dan kelalaiannya mendatangkan dosa. Hal inilah yang mendorong hukum ditegakkan dengan seadil-adilnya. Hukum bukan ‘mainan’ untuk kepentingan perut, jabatan atau syahwat dunia lainnya.

Nizham uqubat dalam Islam terdiri hudud, jinayat, ta’zir dan mukhalafat. Hudud meliputi rajam dan jilid bagi pezina, potong tangan dalam pencurian, cambuk bagi peminum khamr (minuman keras) dan sebagainya. Dalam jinayat (penganiayaan badan) diberlakukan qishas (balasan setimpal) dan diyat (denda). Jika penganiayaan berujung pembunuhan maka diberlakukan hukum pembunuhan juga. Pun sama dengan penganiayaan anggota badan yang lain tanpa berujung pembunuhan, dibalas setimpal. Mata dengan mata, tangan dengan tangan, telinga dengan telinga dan sebagainya.

Ta’zir adalah hukuman yang diberikan oleh qadhi (hakim) yang tidak diatur dalam hudud dan jinayat. Contohnya pelanggaran kehormatan dan kemuliaan, perbuatan merusak akal, penodaan agama, gangguan keamanan (begal, perampokan) dan sebagainya. Hukumannya dapat berupa hukuman mati, cambuk, penjara, salib, pengasingan dan sebagainya. Dan mukhalafat adalah hukuman yang diberikan karena pelanggaran aturan yang ditetapkan negara.

Nizham uqubat ini dalam Islam memiliki fungsi sebagai jawabir dan zawajir. Jawabir maksudnya hukuman yang diberlakukan akan menjadi penebus dosa bagi pelaku kriminal. Sehingga tidak akan mendapat lagi siksaan Allah SWT di akhirat. Bagi muslim pelaku kejahatan, akan lebih baik tindakan kriminal yang dilakukan dibalas saat di dunia walaupun berat. Dari pada di akhirat yang siksaannya sangat pedih dan tak terbayang kerasnya oleh akal manusia. Sedangkan zawajir maksudnya hukuman tegas yang diberlakukan akan mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama. Orang lain akan berpikir ribuan kali melakukan kriminal yang sama setelah melihat proses rajam, jilid, potong tangan atau qishas.

Nizham uqubat inilah yang diterapkan oleh Rasulullah SAW ketika berada di Madinah. Selanjutnya diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah penerusnya. Keunggulan nizham uqubat secara empiris memiliki keunggulan. Terbukti jika melihat konteks hari ini, tingkat kriminal di negeri muslim (misal Arab Saudi) yang menerapkan nizham uqubat sangat kecil dibandingkan negeri muslim yang tidak menerapkannya. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara Barat. 

Tapi sayangnya, opini negatif seputar hukum pidana Islam selalu dihembuskan oleh pihak sekuler. Menuduh hukum pidana Islam bar-bar atau tak manusiawi. Padahal terbukti hukum sekuler jauh dari keadilan dan penyebab massalnya kriminalitas.

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

Artinya : Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (QS. Al MAidah ayat 50). Wallaahu a’lam bishshawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version