View Full Version
Senin, 29 Nov 2021

Permendikbud tentang Kekerasan Seksual: Haruskah Jadi Polemik?

 

Oleh: Linda Maulidia

Rupanya bukan hanya pandemi Covid-19 yang ramai diperbincangkan. Pandemi kekerasan seksual juga kini menjadi  perhatian. Pro kontra pun bermunculan. Disebutkan bahwa latar belakang di balik hadirnya peraturan ini adalah karena kekerasan seksual di dunia pendidikan yang semakin meningkat.

Dari survei yang dilakukan kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) tahun 2020, ternyata 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun, sebanyak 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. (Kompas.com, 13/11/2021)

Aliansi Kekerasan Seksual dalam Kampus se-UI mencatat masih ada puluhan kasus kekerasan seksual di kampus Universitas Indonesia yang belum terselesaikan. Data ini dikumpulkan dari Juni 2020 hingga 2021, Direktorat Advokasi HopeHelps UI mencatat ada 30 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan UI.

Perdebatan pun tak dapat dihindari. Sebagian pihak menganggap bahwa Permendikbud ini penting sebagai solusi masalah kekerasan seksual yang terjadi.

Baca: Urgen, Mari Support Dakwah Media Voa Islam

Komnas Perempuan memberikan apresiasi atas terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbud 30/2021). Peraturan ini merupakan langkah maju untuk mewujudkan lingkungan Pendidikan yang aman, sehat dan nyaman tanpa kekerasan seksual. Komnas Perempuan mengajak seluruh pihak untuk mengawal dan memastikan Permendikbud dilaksanakan dan mencapai tujuannya untuk mencegah, menangani dan memulihkan korban kekerasan seksual. (komnasperempuan.go.id, 29/10/2021)

Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam mengatakan tujuan utama peraturan ini adalah memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi.

Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 hadir sebagai langkah awal kita untuk menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi kita,” jelas Nizam dalam keterangan persnya, Senin (8/11/2021). (beritasatu.com 08/11/2021)

Tak sedikit pula yang menganggap bahwa peraturan ini meresahkan dan justru membahayakan generasi. Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai aturan tersebut berpotensi melegalkan zina.

Menurut, Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad salah satu kecacatan materil ada di Pasal 5 yang memuat consent dalam frasa ”tanpa persetujuan korban”. (Kompas.com,14/11/2021)

 Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PKS Fahmy Alaydroes menyoroti Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 yang dikeluarkan oleh Mendikbud-Ristek, Nadiem Makarim beberapa waktu lalu."Terbitnya Permen ini menimbulkan keresahan, kegelisahan dan kegaduhan di kalangan masyarakat," ujarnya.

Sejumlah ormas, kata Fahmy, seperti Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Universitas NU Yogyakarta, Aliansi Indonesia Cinta Keluarga, Persaudaraan Muslimah Indonesia, Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi se Indonesia, para dosen dan akademisi di berbagai kampus mempertanyakan keberadaan Peraturan Mendikbud-Ristek ini. (Pks.id, 08/11/2021)

Generasi Tongkat Estafet Peradaban

Memikirkan dengan sungguh-sungguh serta solusi yang benar untuk menuntaskan masalah yang menimpa dunia pendidikan adalah perkara penting untuk menyelamatkan generasi sebagai penyambung tongkat estafet membangun peradaban.

Menilik pesoalan kekerasan seksual yang melibatkan civitas akademik tentu sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak? Sebuah tempat yang menjadi harapan bagi umat untuk melahirkan para intelektual justru dikotori dengan perbuatan-perbuatan asusila, yang akan memberikan pengaruh buruk terhadap output lembaga pendidikan, kualitas pengajaran; serta keamanan dan kenyamanan dalam proses belajar mengajar. Belum lagi masalah psikologis yang akan mendera korban kekerasan seksual.

Maka yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah akankah Permendikbud No. 30 Tahun 2021 ini adalah solusi yang tepat? Munculnya sebuah polemik tentu bukan tanpa sebab.

Beberapa point yang menjadi persoalan diantara adalah, pertama adanya consent dalam bentuk frase "tanpa persetujuan korban", yang salah satunya terletak di Pasal 5 ayat 2. Adanya consent atau persetujuan tentu harus dipersoalkan, karena dapat menjadi indikator penentu suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual atau tidak.  frasa "tanpa persetujuan korban" terdapat makna sebagai "pelegalan kebebasan seks".

Peraturan ini "mengandung unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan". Frasa itu juga ditolak oleh MUI. Kata tersebut memiliki makna bahwa transaksi atau aktivitas seksual di luar nikah selama dilakukan suka sama suka (sexual consent) menjadi tidak diatur, dan dunia pendidikan tidak menghukuminya.

Kedua, Permendikbud juga berpotensi memberikan perlindungan pada penyimpangan perilaku seksual seperti LGBT. Dalam Pasal 5 ayat 2 bagian (a) tercantum bahwa kekerasan seksual meliputi “menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.”

 Penggunaan istilah 'identitas gender" ini mengandung makna bahwa siapapun, baik laki- laki maupun perempuan, gay atau lesbian tidak boleh dilarang dilingkungan kampus ataupun dikritisi. Dengan kata lain terdapat upaya untuk memberikan perlindungan terhadap perilaku seksual seperti LGBT.

Sebagaimana juga yang disampaikan oleh Ketua MUI Cholil Nafis, yang menyatakan hasil ijtima ulama Majelis Ulama Indonesia menolak Permendikbudristek No 30 tahun 2021 tentang tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.Cholil Nafis meminta agar Permendikbudristek tersebut dibatalkan atau direvisi khususnya pada pasal 5 ayat 2 dan 3.

"Hasil Ijtima’ Ulama MUI pusat memutuskan menolak permendikbud No. 30 tahun 2021 ttg Kekerasan Seksual, dan meminta dibatalkan atau direvisi, khususnya pasal 5 ayat 2 dan 3," kata Cholil Nafis di akun Twitternya, Jumat, 12 November 2021.

Cabut Sekulerisme Ganti dengan Islam

Memang tak dapat berharap banyak kepada Sistem Kapitalisme yang diterapkan saat ini. Sebuah sistem aturan yang berasaskan sekulerisme atau pemisahan agama dari kehidupan, akan senantiasa melahirkan peraturan-peraturan yang sarat dengan berbagai kepentingan serta mengabaikan aturan agama.

Sesungguhnya, persoalan tak hanya seputarkekerasan seksual ataupun korbannya, namun harus menjangkau lebih luas lagi, yakni bagaimana memberantas segala jenis kemaksiatan, termasuk pergaulan bebas, aborsi, LGBT dan sebagainya, yang tentunya memiliki dampak berbahaya yang jauh lebih besar.

Diberlakukannya Permendikbud No. 30/2021 ini juga disebut sebagai bagian dari upaya moderasi Islam. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memberikan dukungan pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual atau Permendibud 30 sebagai bentuk komitmen mengembangkan moderasi beragama. (nasional.tempo.co, 13/11/2021)

Sedangkan Islam, sudah memiliki konsep yang jelas serta aturan yang rinci. Sistem Islam yang sempurna dapat dipastikan mampu mencegah terjadinya kekerasan seksual dan yang semacamnya.

Allah Swt berfirman dalam Al Qur'an  surah Al Iqra ayat 32 yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk

Mendekati saja tidak boleh apalagi melakukannya. Maka akrivitas seperti menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya, sebagaimana yang tersebut dalam pasal, tidak akan terjadi.

Demikian pula dalam sistem sanksinya. Dalam Islam tidak ada istilah consent atau persetujuan. Jika terjadi kekerasan seksual karena paksaan, Jika seorang laki-laki memperkosa seorang perempuan, seluruh fukaha sepakat perempuan itu tak dijatuhi hukuman zina (had az zina), baik hukuman cambuk 100 kali maupun hukuman rajam.

Adapun jika terjadi dengan kesadaran atau unsur suka sama suka hingga terjadi perzinahan maka akan dikenai sanksi  dengan rajam atau dilempari batu sampai mati. Sedangkan pada pelaku yang belum menikah, hukuman zina diganti dengan hukum cambuk sebanyak 100 kali serta diasingkan selama satu tahun.

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kamu kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman." (Q.S. An Nur: 2).

Tindak kejahatan seksual lain semisal meraba, ujaran kata-kata kotor, merayu, dan sebagainya juga tidak lepas dari sanksi berupa ta’zir, yang akan diputuskan oleh kadi (hakim) di pengadilan. Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam kitabnya Nizhâm al-‘Uqûbât fî al-Islâm menyebutkan bahwa orang yang berusaha melakukan zina dengan perempuan, tetapi tidak sampai melakukannya, maka dia akan diberi sanksi tiga tahun penjara, ditambah hukuman cambuk dan pengasingan. Hukuman yang diberikan akan dimaksimalkan jika korbannya adalah orang yang berada di bawah kekuasaannya seperti pembantu perempuannya, pegawainya (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât fî al-Islâm, hlm. 93).

 Demikian pula  LGBT, termasuk praktik homoseksual dan lesbianisme, merupakan kejahatan yang pelakunya diancam dengan sanksi berat. Nabi saw. bersabda “Siapa saja yang menjumpai orang yang melakukan perbuatan homo seperti kelakuan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya.” (HR Ahmad)

Hukum Islam berfungsi sebagai penebus dosa dan pencegah agar tidak terulang. Sistem sanksinya yang tegas serta rinci tentu akan membuat siapa saja tidak berani melakukan tindak kemaksiatan.

Kesempurnaan Islam dalam mengatasi kasus kekerasan seksual juga didukung oleh sistem pergaulan di dalam Islam, dimana adanya perintah untuk menutup aurat, menjaga pandangan, larangan berkhasiat dan ikhtilat. Tentu pintu terjadinya tindak kekerasan seksual akan benar-benar tertutup. Wallahu'alam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version