View Full Version
Rabu, 08 Dec 2021

Cacat Logika Kaum Amoral-Liberal dalam Kasus Randi-Novia

 
 
Oleh: Aisha Rara
 
Saya pikir tidak adil jika Randy hanya dijadikan tersangka atas kasus aborsi ilegal dengan tuntutan 5 tahun penjara. Kemana larinya kasus tuduhan pemerkosaan yang telah dilakukannya? Apakah segitu sulitnya membuktikan bahwa ia telah memperkosa korban? Ya, tentu saja sekarang sulit karena korban sudah wafat. 
 
Maka saya geram sekali saat mengetahui fakta bahwa Novia sudah pernah melaporkan tindakan Randy ke propam, namun laporannya tidak digubris. Kenapa seolah terlihat sulit sekali bagi anggota kepolisian untuk mengusut laporan pelanggaran anggotanya saat kasus masih dini bergulir?
 
Saya memang mengapresiasi tindakan kapolri beserta jajarannya yang sudah menahan Randy dan memecatnya saat ini, tapi kalau saja, Ya Allah, kalau saja ini dilakukan saat Novia masih hidup, maka banyak kegetiran hati para perempuan dan ibu yang kini bisa terelakkan. Setidaknya, ada nyawa yang masih berharap bisa diselamatkan.
 
SUNGGUH TIDAK ADIL!
 
Seperti juga orang-orang yang kini menghujat para kaum moralis-religius yang bereaksi "negatif" terhadap kasus ini. Manusia yang menghujat Novia dengan kata-kata kurang iman, lemah, sedari awal murahan, tukang pacaran, pezina yang kena batunya, bla..bla...bla... Itu memang sangat memuakkan. Banyak kok di temlen saya! Bukan main bikin sepet mata dan pedih hati membacanya.
 
Tapi kenapa kesinisan hanya kita lontarkan kepada para MORALIS-RELIGIUS tersebut? Padahal akar dari permasalahan seperti ini timbul dari perilaku kaum AMORAL-LIBERAL!
 
Siapa yang terus mendorong wacana bahwa perilaku seks di luar nikah itu sah-sah saja asalkan suka sama suka?
Siapa yang begitu ngotot mengaburkan norma bahwa urusan ranjang manusia yang satu tidak boleh diganggu gugat oleh manusia yang lainnya?
Siapa yang sangat permisif dengan perilaku seks bebas dengan lagi dan lagi mendengungkan frasa suka sama suka?
Ranjangku urusanku?
 
Tapi begitu asas suka sama suka itu berubah menjadi sebuah paksaan yang melahirkan tragedi, apa bisa kamu masih menyebutnya sebagai urusanmu?
Sadar gak kalo frasa "suka sama suka" yang amoral-liberalis dengungkan setiap hari itu justru semakin mengaburkan delik pemerkosaan.
 
Contoh kasus:
Ada yang pacaran lalu melakukan seks suka sama suka. Pertama kali ok. Kedua kali masih ok. Lalu entah yang keberapa kali mulai ada pemaksaan. Dan pemaksaan dalam hubungan seksual inilah yang disebut pemerkosaan. Bisa kejadian sekali, bisa juga berulang.
 
Lantas korban melapor ke polisi. Polisi memanggil pelaku. Pelaku bilang tidak ada pemerkosaan karena mereka pacaran. Jadinya semua dilakukan atas dasar suka sama suka. Bukti-bukti menunjukkan bahwa mereka memang pacaran. Jejak digital menerangkan bahwa mereka sering bepergian, liburan dan chek-in sekamar. Pelaku pun menyatakan bahwa sebelumnya juga sudah sering melakukan hubungan seksual atas persetujuan bersama.
 
Kalau sudah begini kira-kira bagaimana kesimpulan akhirnya? Apakah korban akan mudah mendapat kepercayaan dan keadilan?
Bisa jadi malah keluarlah pertanyaan keparat dari pihak penyidik kepada korban:
 
"Waktu diperkosa anda rasanya bagaimana? Sakit gak? Menikmati gak? Koq kalau gak suka masih mau diajak-ajak pergi bersama?"
 
Apa rasanya jadi korban saat itu?
Terintimidasi? Jelas!
Merasa tidak dipercaya? Sudah pasti!
Merasa bodoh dan terpedaya? Tentu saja!
Merasa tidak lagi berharga? Ini yang berbahaya dan bisa memicu depresi seperti apa yang dialami oleh Novia.
Lalu bagaimana publik menilainya?
 
Saya pikir sebuah hal yang masih bisa dimaklumi jika kaum moralis-religius mulai kembali mengumandangkan nasihat-nasihat religi. Mereka yang turut mencerca pelaku namun turut menyanyangkan perilaku korban di masa hidup. Berharap iman dan pemahaman agama dapat membentengi para perempuan agar tidak mengalami kepedihan yang menimpa Novia.
 
Tapi memang penyampaiannya berbeda-beda. Ada yang santun, halus dan bergelimang retorika. Ada juga yang to the point nabrak dan melabrak ke sana-sini. Tapi inti pesannya sih sama. Jangan pacaran, jauhi zina dan hanya berhubungan seksual jika sudah menikah.
 
Justru herannya, saya belum menemukan komentar mendalam mengenai solusi preventif dari kaum amoral-liberal tentang kasus ini. Mereka yang mencerca pelaku dan turut berduka atas kepergian Novia tanpa mau melihat akar bagaimana tragedi ini terjadi sekarang mau bilang apa ke anak-anaknya?
 
Apa iya masih mau menganjurkan kebebasan perilaku boleh nge-seks asal kamu suka atau semakin giat nyuruh buah hati borong kondom dan letakkan di semua area yang mudah dijangkau biar kalau mendadak birahi tetap bisa safety? Ini saya nanya loh, bukan nuduh.
 
Atau malahan dalam hati ngegoblok-goblokin Novia karena gak safety sex jadinya bisa kebobolan hamil? Ini juga nanya lohh...
 
Ye kalik kalo kamu pergi sama pacarmu terus dibius, sambil pingsan bisa minta pacarmu pakai pengaman sebelum memperkosamu. Kalau kamu pacaran sudah kelewat batas doyan zina lalu tiba-tiba diperkosa, resikonya adalah baik aparat maupun publik bisa jadi sulit mempercayai pengakuanmu.
 
Makanya di USA itu ada tim SVU yang kerjaannya benar-benar meneliti kasus pemerkosaan. Ada jaksa khusus yang menangani kasus dan benar-benar berpihak kepada korban. Di SVU, semua cerita pelapor pemerkosaan dianggap bisa dipercaya sampai ditemukan bukti konkret yang menyatakan sebaliknya.
 
Di Indonesia kayaknya belum ada yang se-intens mereka menanggapi kasus pemerkosaan. Kamu bengak-bengok minta UU Kekerasan Seksual disahkan juga bakal tetap tumpul selama support system masih memiliki celah besar untuk membebaskan pelaku yang mempunyai uang, jabatan, koneksi dan perlindungan ataupun pembiaran dari instansi.
 
Jadi, akar masalahnya itu ada di kalian yang sedang berusaha mengumandangkan perilaku zina sebagai hal yang biasa asalkan suka sama suka. Bukan di orang-orang yang teguh dan kukuh menjalankan perintah agama dan terpantik sisi religiusnya ketika "kebebasan" yang kalian dengungkan justru menorehkan tragedi kepedihan. Camkan itu! (rf/voa-islam.com)
 
Ilustrasi: Google

latestnews

View Full Version