View Full Version
Sabtu, 29 Jan 2022

Indonesia Mengalami Krisis Energi, Benarkah?

 

Oleh: Siti Saodah, S. Kom

 

Tenaga listrik di Indonesia masih menggunakan batu bara sebagai bahan pembakarannya. Hal ini ternyata menyisakan dampak buruk. Baru-baru ini pemerintah melarang ekspor batu bara sebab pasokan domestik menipis. Kekhawatiran pemerintah dibarengi oleh perusahaan batu bara nakal yang tak mematuhi pasokan batu bara untuk domestik. Akibatnya pasokan batu bara dalam negeri menipis yang mengakibatkan gangguan pada energi listrik.

Sayangnya kebutuhan tinggi akan batu bara tak diimbangi dengan pasokan yang cukup untuk kebutuhan dalam negeri. Indonesia di ambang krisis energi sebagaimana diungkapkan oleh Andri prasetiyo dari Peneliti Trend Asia. Ia menambahkan dengan keputusan pemerintah yang menarik rem darurat untuk aktivitas ekspor batu bara menunjukkan bahwa kondisi ketahanan energi sedang tidak aman dan di ambang krisis. Menurutnya Indonesia sudah terlanjur menjadikan batu bara sebagai bahan energi utama dan belum mampu lepas (www.suara.com).

Kebutuhan batu bara masih didominasi oleh PLN sekitar 60% dari pasokan dalam negeri (Perusahaan Listrik Negara) yang digunakan untuk membangkitkan energi listrik. Sedangkan sisanya adalah perusahaan emas, perusahaan pupuk, perusahaan semen, perusahaan tekstil dan lainnya. Industri dalam negeri sendiri masih mengandalkan batu bara sebagai bahan bakar. Sedangkan krisis batu bara sendiri akhirnya berdampak pada industri tersebut.

Krisis Batu Bara Dalam Negeri

Akibat krisis batu bara dalam negeri mengakibatkan perusahaan listrik negara harus melakukan pemadaman listrik bergilir di beberapa wilayah. Sedangkan kebutuhan akan listrik di negeri ini sangat tinggi. Bukan hanya untuk industri besar saja tapi rumah tangga dan industri kecil juga banyak menggunakan energi listrik. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah dan pengusaha batu bara dalam negeri.  

Menipisnya pasokan batu bara di dalam negeri rupanya dipicu oleh ketidakefektifan kewajiban pasokan atau Domestic Market Obligation sebesar 25% tutur Febby Tumiwa selaku Direktur Eksekutif IESR (economy.okezone.com). Tentu saja ini adalah bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh para pengusaha batu bara. Kelangkaan batu bara menjadi krisis energi yang kini dirasakan di dalam negeri. Bukan tanpa sebab batu bara menjadi langka, hal ini dipicu oleh  harga jual di dalam negeri yang terbilang rendah. Akibatnya pengusaha batu bara lebih memilih melakukan ekspor karena harga jual yang tinggi dan mampu mendapatkan keuntungan berlipat.

Motif ekonomi pengusaha batu bara menjadi sebab utama mereka lebih memilih melakukan ekspor dibanding memenuhi pasokan dalam negeri yang telah ditetapkan pemerintah. Sesuai dengan slogan dalam ekonomi kapitalis yaitu meraih keuntungan sebesar-besarnya. Konsekuensinya mereka harus melanggar aturan yang sudah ditetapkan pemerintah. Hal itu bukan hambatan bagi pengusaha batu bara asal mendapatkan untung maksimal.

Padahal batu bara sendiri menjadi penyumbang cukup tinggi dalam pencemaran udara. Polusi yang disebabkan batu bara dihasilkan dari PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang ada di sekitar Jabar dan Banten dan sekitarnya. Polusi ini cukup tinggi mencemari langit-langit Indonesia yang akibatnya udara yang dikonsumsi manusia menjadi tak sehat. Belum lagi wilayah terdekat dengan PLTU paling tinggi merasakan dampak pencemaran udara.  Hal ini berbanding terbalik dengan visi Indonesia yang ingin menuju go green.

Pengelolaan Batu Bara dalam Islam

Visi menjadikan negaranya hijau kembali dan bebas polusi yang diutarakan oleh pemimpin negeri ini seharusnya menjadi standar yang dicapai oleh seluruh kalangan pengusaha. Bukan hanya keuntungan semata yang hendak dicapai tapi dampak yang ditimbulkan tak diantisipasi. Begitupun bisnis yang dijalankan harus memperhatikan kondisi lingkungan dan mahluk hidup di dalamnya. Agar bisnis yang dibangun dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh mahluk. Bukan malah membuat bisnis yang merusak lingkungan dan habitat mahluk lainnya.

Sedangkan dalam Islam batu bara termasuk barang tambang yang tidak  cepat habis. Artinya batu bara adalah milik umum (rakyat) yang tidak boleh dikelola oleh swasta ataupun pribadi.  Seperti dalam hadist berikut :

عَنْأَبْيَضَبْنِحَمَّالٍ،أَنَّهُوَفَدَإِلَىرَسُولِاللهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفَاسْتَقْطَعَهُالْمِلْحَ،فَقَطَعَهُلَهُفَلَمَّاوَلَّى،قَالَرَجُلٌ : يَارَسُولَاللهِ،أَتَدْرِيمَاقَطَعْتَلَهُ؟إِنَّمَاقَطَعْتَلَهُالْمَاءَالْعِدَّ،فَرَجَعَهُعَنْهُ،قَالَ : يَعْنِيبِالْمَاءِالْكَثِيرِ

Dari Abyadh bin Hammal bahwasannya ia mendatangi Rasulullah saw. dan meminta kepada beliau agar memberikan tambang garam kepadanya, maka Rasulullah saw. memberikannya. Setelah Abyadh berlalu, salah seorang dari sahabat berkata kepada Nabi saw, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang baru saja engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti “air yang mengalir–sumber air”. Kemudian Rasulullah saw. mencabut kembali pemberiannya.

Dalam peristiwa tersebut Rasulullah bertindak sebagai seorang pemimpin negara. Sebelumnya Abyadh sendiri sudah mengelola lahan garam tersebut namun kemudian ia meminta izin kepada Rasulullah sebagai seorang kepala negara. Namun Rasulullah yang tidak mengetahui lahan tersebut adalah barang tambang garam yang terus mengalir. Lalu kemudian setelah mengetahui Rasulullah mencabut kembali izinnya. Sebab tambang garam adalah milik umum maka tidak boleh dimiliki oleh segelintir orang atau pribadi.

Peristiwa ini menjadi contoh bagi kaum muslim dalam pengelolaan barang tambang seperti emas, nikel, batu baru, air dan lainnya. Dalam pengelolaan batu bara yang sifatnya barang tambang maka ia wajib dikelola oleh negara. Dalam hal pengelolaan ini negara bisa saja menyerahkan ke badan usaha milik negara lalu keuntungan yang didapat digunakan untuk keperluan umum (rakyat). Keperluan umum ini seperti mencakup pembuatan rumah sakit, sekolah-sekolah, jalan-jalan umum, dan tempat lain yang dibutuhkan oleh rakyat umum.

Jika negara mampu mengelola dengan baik batu bara maka manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh umat. Lalu tidak akan ada perusahaan nakal yang lebih mementingkan ekspor dibandingkan kesejahteraan dalam negerinya. Alhasil tidak akan ada lagi krisis batu bara yang dirasakan di dalam negeri jika batu bara dikelola dengan benar sesuai syariah. Dengan demikian hanya aturan Islam yang mampu mengelola batu bara secara adil dan merata untuk seluruh umat, hingga kesejahteraan dirasakan oleh seluruh mahluk. Waalahualam bisshowab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version