View Full Version
Kamis, 10 Nov 2022

Hilangnya Frekuensi Udara, Kontroversi Hilangnya TV Analog

 

Oleh: Humaida Aulia, S. Pd. I

 

Pada 3 November lalu pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mematikan siaran TV analog di beberapa wilayah seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Pencabutan jaringan dari analog ke digital ini menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat, yang kemudian secara resmi dicabut oleh semua stasiun TV pada tanggal 4 November 2022.

Ketua umum MNC group Hary Tanoe Soedibjo menyatakan bahwa keputusan ini dobel standar karena hanya dilakukan di wilayah Jabodetabek saja. Di akun instagram miliknya ia menyatakan,  “Diperkirakan 60 % masyarakat di Jabodetabek tidak bisa lagi menikmati siaran televisi secara analog, kecuali membeli set top box baru atau mengganti televisi digital atau berlangganan TV parabola.” Ucapnya.

Sementara Mentri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan 98 persen masyarakat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sudah siap beralih dari siaran televisi analog ke digital. Ia menegaskan jika masih ada stasiun TV yang menyiarkan saluran secara analog maka akan dianggap ilegal dan bertentangan dengan hukum.

Pemerintah akan mengakomodasi masyarakat yang belum mampu membeli televisi digital, yaitu dengan memberikan alat berupa set-top box (STB) agar televisi lawas bisa menerima siaran digital. Sebagai informasi, siaran TV analog sendiri selama ini masih menggunakan spektrum frekuensi di pita 700 MHz. Dengan dirampungkannya migrasi TV analog switch off (ASO), frekuensi tersebut nantinya bisa dialokasikan untuk pemanfaatan lain, salah satunya adalah untuk meningkatkan jaringan 4G dan 5G. Begitu keterangan Kominfo.

Migrasi TV Menguntungkan Siapa?

Saat ini perkembangan teknologi memang tidak bisa dipungkiri, termasuk dalam hal telekomunikasi. Jika dulu manusia hanya berputar pada korespondensi surat menyurat, dengan teknologi modern yang serba digital semua akses informasi bisa didapat dengan lebih cepat dan lebih luas. Adanya perkembangan internet, TV digital dan sebagainya menjadi bukti fisik perkembangan tersebut. Sayangnya perkembangan teknologi saat ini tidak bisa dijangkau oleh seluruh masyarakat. Seperti transformasi TV digital, tidak semua masyarakat siap dengan perubahan ini.

Ketidaksiapan masyarakat bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah faktor ekonomi. Untuk migrasi TV analog ke TV digital sebagian masyarakat menengah ke bawah akhirnya terpaksa membeli alat siaran TV digital. Tentu hal ini akan merogoh kocek mereka semakin dalam. Apalagi saat ini, hampir seluruh sektor kebutuhan publik termasuk telekomunikasi juga menjadi bahan komersil. Layanan telekomunikasi tidak murni disediakan oleh pemerintah namun juga ada kendali industri. Maka adanya efisiensi frekuensi akan menguntungkan korporasi telekomunikasi. Seperti penilaian pengamat ekonomi indeks Nailul Huda, migrasi ini juga bisa menguntungkan dari sisi pengembangan telekomunikasi dari 4G ke 5G meski hanya terbatas di daerah-daerah tertentu karena pita frekuensi bisa dipakai industri telekomunikasi.

Alhasil, di balik gemerlap kecanggihan teknologi digital akan ada masyarakat yang tak melek teknologi dan tetap saja harus berputar dengan hidup berteknologi manual. Beban hidup mereka akan semakin bertambah hanya karena untuk mendapatkan layanan tersebut. Inilah atmosfer kehidupan dalam sistem kapitalisme. Pemilik teknologi adalah yang punya modal besar dan mayoritas mereka adalah swasta. Karena bagi kapitalisme teknologi adalah komoditas ekonomi, orang harus mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat menikmati teknologi.

Lambat laun, perlahan tapi pasti, frekuensi udara gratis bagi masyarakat akan hilang. Satu per satu mulai dicabut dan akhirnya semua berbayar. Lebih parah, manusia malah dianggap tak punya fungsi hanya gara-gara mereka gagap teknologi. Tersedianya lapangan pekerjaan tak lepas dari teknologi dan telekomunikasi. Namun untuk mendapatkan pekerjaan itu ditempuh dengan pendidikan tinggi dan biaya yang tak sedikit. Masyarakat harus lebih mengencangkan ikat pinggang di tengah kebutuhan hidup yang semakin mahal dan pendapatan ekonomi yang makin sulit. Kecanggihan teknologi yang diganyang-gayang bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat tentunya jauh panggang dari api.

Islam Punya Solusi

            Islam sebagai agama yang terpancar aturan di dalamnya juga punya pandangan dalam urusan teknologi. Teknologi adalah instrumen pendukung kehidupan. Sehingga semakin luas teknologi semestinya berbanding lurus dengan makin luasnya penyediaan lapangan pekerjaan dan pengelolaan kehidupan yang membaik. Kondisi demikianlah yang akan diciptakan oleh khilafah (sistem Islam). Keberadaan khilafah adalah pelayan (rain) bagi warga negaranya. Seperti kebutuhan telekomunikasi dalam khilafah kebutuhan tersebut merupakan salah satu jenis infrastruktur.

Syekh Abdul Qadim Zallum dalam buku Sistem Keuangan Negara Khilafah menjelaskan sarana pelayanan pos, surat menyurat, telepon, kiriman kilat, telex, sarana televisi, perantara satelit, dan lain-lain merupakan salah satu jenis infrastruktur milik negara yang disebut dengan marafiq.

Marafiq adalah bentuk jamak dari mirfaq, yaitu seluruh sarana yang dapat dimanfaatkan di pedesaan, provinsi, maupun yang dibuat oleh negara selama sarana tersebut bermanfaat dan dapat membantu. Marafiq ammah ialah seluruh sarana umum yang disediakan negara agar dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Maka perkembangan TV analog ke digital dan efisiensi pengguna frekuensi semata-mata akan dikembangkan untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Pengembangan ini akan dibiayai oleh khilafah yang dananya berasal dari baitul mal sebagai sumber pos kepemilikan negara.

Sumber pos kepemilikan negara berasal dari harta usyur, kharaj, ghanimah, jizyah, dan sejenisnya. Tanggung jawab penuh dari khilafah adalah menyediakan layanan publik telekomunikasi akan membuat masyarakat siap dengan berbagai transformasi teknologi. Apalagi telekomunikasi sebagai salah satu perangkat media akan menjadi perhatian. Maka efisiensi frekuensi yang disinyalir mempercepat perkembangan internet akan digunakan untuk kepentingan media. Sebab media dalam khilafah memiliki peran strategis dalam melayani ideologi Islam.

Di luar negeri media khilafah akan berfungsi untuk menyebarkan Islam baik dalam suasana perang maupun damai untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam dan sekaligus untuk membongkar kebobrokan ideologi kufur yang jahat. Sehingga akan semakin tampak kewibawaan khilafah di kancah politik internasional. Sedangkan di dalam negeri media akan digunakan sebagai sarana untuk membangun masyarakat Islam yang kokoh, yakni mengedukasi umat dengan Islam berita keseharian, ilmu sains dan teknologi, informasi politik Islam, maupun informasi politik dalam dan luar negeri.

Dengan hal yang demikian maka sudah pasti kecanggihan teknologi dan kondisi masyarakat akan berjalan berdampingan dan seiring sejalan, yang pada akhirnya menjadikan masyarakat yang maju tak hanya dalam pemikiran Islam, namun juga mampu bersaing di dunia internasional. Wallahu a’lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version