View Full Version
Senin, 27 Mar 2023

“Food Estate” IKN, Proyek Demi Pencitraan?

 

Oleh: Nurhayati, S.S.T.

            Kalimantan dengan daya tariknya karena getolnya proyek pembangunan IKN menjadi hal menarik perhatian untuk diperbicangkan. Pulau Kalimantan yang dijuluki “paru-paru dunia” ini nampaknya berada dalam ancaman krisis iklim dan pangan. Pasalnya proyek food estate yang dijadikan tempat untuk program Presiden Joko Widodo bertempat di Kalimantan Tengah. Dua tahun berjalan, hasilnya gagal. Perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen (BBC.com, 15/3/2023).

            Bahkan perkebunan yang telah digarap ini mendatangkan ancaman banjir ketika intensitas hujan tinggi hingga masyarakat Dayak dan sekitarnya berubah haluan dari kebiasaan mereka bercocok tanam.

            Sayangnya, Kementan yang menjadi pilot project dalam program ini terkesan lepas tangan. Dengan dalih bahwa mereka hanya menangani proyek di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau saja. Hal ini disampaikan oleh Direktur Perlindungan dan Penyediaan Lahan, Kementerian Pertanian, Baginda Siagian, melalui pernyataan tertulisnya pada BBC News Indonesia, Jumat (17/03).

            Hal ini pun mendapatkan sorotan dunia sebagaimana yang dilansir dari laman berita South China Morning Post melalui gambar yang diambil di Kaliman Tengah tersebut memperlihatkan bagaimana proyek pemerintah itu dikatakan gagal karena berhasil menjadi ancaman krisis iklim. Dalam situs tersebut pemerintah Indonesia dinilai miskin akan perencanaan, mengabaikan saran dari kelompok adat, mengakibatkan banjir, gagal panen, menjadikan tanah gersang dan tandus yang justru memperburuk krisis iklim.

 

Proyek Gagal dan Ambisi Tanpa Perencanaan

            Satu lagi proyek pemerintah yang retorika diawal begitu menjanjikan namun dalam perjalanannya justru berhenti ditengah jalan. Dalihnya tidak jauh-jauh dari ketiadaan anggaran sehingga mengakibatkan proyek terpaksa dihentikan sementara.

            Sudah bukan cerita baru bahwa pemerintah kerap kali melempar kesalahan dalam tanggung jawabnya untuk menangani sebuah program ketika terindikasi gagal. Sebagaimana Kementan berkilah akan tanggung jawabnya dalam proyek di Kalteng ini.

            Program food estate di Kalimantan yang diproyeksikan sebagai solusi krisis pangan yang menjadi ancaman negara justru tak menunjukkan hasil.  Bukan malah menambah masalah baru yaitu tanah yang digarap kemudian ditinggalkan begitu saja hingga banjir selalu mengintai wilayah Kalteng. Dari sini makin membuktikan adanya ketidak beresan sejak perencanaannya. 

Bahkan saat digagas,  namun bukan pemerintah Namanya jika proyeknya dikritik lantas mundur. Ambisinya justru dihancurkan dengan miskinnya perencanaan dan minimnya perhitungan resiko. Saat ini makin nyata buah kebijakanyang tak diserahkan pada ahlinya. Belum lagi jika tidak adanya teknologi yang mumpuni serta SDM yang cakap dan handal. Jelas proyeknya hanyalah retorika manis tapi menghasilkan kenyataan yang pahit. Inilah wujud kebobrokan sistem kapitalisme yang diterapkan dalam pembangunan di negeri ini yang dipenuhi ambisi pencitraan.

           

Ketahanan Pangan dalam Islam

            Jika dalam sistem kapitalisme proyeknya sarat akan kepentingan dan pencitraan. Proyek demi proyek tak ubahnya hanya untuk meningkatkan prestise dikalangan public namun ditengah perjalannya justru proyeknya mangkrak hingga ujungnya adalah menggunakan utang luar negeri atau mengundang investor asing untuk mengelolanya. Sebagaiman proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).

            Proyek food estate adalah bagian daripada tanggung jawab penguasa yang harus mewujudkan ketahanan pangan. Hal ini dimaksudkan sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan primer rakyatnya agar badan setiap Muslim sehat dan optimal dalam menjalankan ibadah kepada Allah ta’ala.

            Membangun kemandirian pangan dalam Islam adalah dengan tig acara. Pertama, melakukan optimalisasi intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi adalah menyediakan segala sarana dan prasarana termasuk menyediakan teknologi terbarukan dalam rangka meningkatkan produktifitas pertanian. Adapun ekstensifikasi adalah menghidupkan tanah yang mati agar produktif.

            Kedua, distribusi pangan yang merata. Dalam Islam mengharamkan praktik penimbungan, monopoli pasar dan pematokan harga. Negara yang berlandaskan Islam akan memberangus praktik-praktik semacam ini karena jelas hanya menguntungkan para pemilik modal besar dan mematikan pedagang bermodal kecil. Sehingga tidak ada praktik kezaliman.

            Ketiga, penguasa harus mementingkan kebutuhan pangan dalam negeri. Tidak sembarang melakukan ekspor tanpa memandang ketercukupan dalam negeri.

            Itulah tadi tiga poin penting bagaimana Islam membangun ketahan pangan. Hal yang harus diubah dari penguasa hari ini adalah bagaimana proyek yang dikatakan untuk kepentingan rakyat harus diubah ke dalam paradigma yang benar. Jika selama ini proyek besar gagal bisa jadi ada yang salah dalam paradigma berpikir penguasa. Proyek untuk rakyat bukan hanya seberapa besar rancangannya namun seberapa besar praktik dan menghasilkan maslahat bagi rakyatnya.

            Proyek yang mendatangkan kebaikan dan keberkahan adalah ketika aturan dan tata kelolanya diambil dari sistem kehidupan yang benar yaitu bersumber dari aturan AL Khaliq. Allah subhallahu wa ta’ala berfirman , “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” (TQS. Al A’raf[7]:96). Wallahu ‘alam bishowab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi:Google


latestnews

View Full Version