View Full Version
Selasa, 25 Feb 2014

Subhanallahu, Aisyah & Shafiyah Adalah Ummul Mukminin Cerdas

Sahabat Voa Islam,

Ummul Mukminin merupakan gelaran khusus bagi isteri-isteri Rasululllah SAW.

“Nabi itu ( hendaknya) lebih utama bagi orang Mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka….” (al-Ahzab: 6)

Justeru, ayat ini menjelaskan bahawa Ummul Mukminin membawa pengertian ibu bagi seluruh umat Islam yang beriman. Mereka adalah pribadi yang dipilih oleh Rasulullah.

Sejarah mencatatkan terdapat 13 orang Ummul Mukminin yaitu:

  1. Khadijah binti Khuwailid
  2. Saudah binti Zam’ah
  3. Aisyah binti Abu Bakar
  4. Hafsah binit Umar Al-Khattab
  5. Umm Habibah Ramlah binti Abu Sufyan
  6. Hindun Umm Salamah binti Abi Umayyah
  7. Juwairiyah binti Harith
  8. Sufiah binti Huyai bin Akhtab
  9. Maimunah binti al-Harith
  10. Zainab binti Khuzaimah
  11. Asma’ binti al-Nu’man al-Kindiyya
  12. Amrah binti Zaid al-Kilabiyyah

Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahawa Ummul Mukminin adalah 15 orang. Dua nama Ummul Mukminin adalah berasal dari hamba sahaya yang di merdekakan atau dibebaskan oleh Rasulullah SAW yaitu:

  1. Mariyah binti Syam’um al-Qibintiiyyah
  2. Raihanah binti Zaid al-Quraziyah

Pada tema kali ini, VOA ISLAM mengangkat Ummul Mukminin yang cerdas, yaitu Aisyah dan Shafiyah.

Ibunda kita Aisyah radhiallahu 'anhaa adalah Ummul Mukminin Ummu Abdillah Aisyah binti Abu Bakr, Shiddiqah binti As-Shiddiq, istri tercinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lahir empat tahun setelah diangkatnya Muhammad menjadi seorang Nabi. Ibu beliau bernama Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abdi Syams bin Kinanah yang meninggal dunia pada waktu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup yaitu tepatnya pada tahun ke-6 H.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah dua tahun sebelum hijrah melalui sebuah ikatan suci yang mengukuhkan gelar Aisyah menjadi ummul mukminin, tatkala itu Aisyah masih berumur enam tahun. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun rumah tangga dengannya setelah berhijrah, tepatnya pada bulan Syawwal tahun ke-2 Hijriah dan ia sudah berumur sembilan tahun.

Aisyah menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pasca meninggalnya Khadijah sedang aku masih berumur enam tahun, dan aku dipertemukan dengan Beliau tatkala aku berumur sembilan tahun. Para wanita datang kepadaku padahal aku sedang asyik bermain ayunan dan rambutku terurai panjang, lalu mereka menghiasiku dan mempertemukan aku dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Abu Dawud: 9435).

Kemudian biduk rumah tangga itu berlangsung dalam suka dan duka selama 8 tahun 5 bulan, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia pada tahun 11 H. Sedang Aisyah baru berumur 18 tahun.

Aisyah adalah seorang wanita berparas cantik berkulit putih, sebab itulah ia sering dipanggil dengan “Humaira”. Selain cantik, ia juga dikenal sebagai seorang wanita cerdas yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkannya untuk menjadi pendamping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengemban amanah risalah yang akan menjadi penyejuk mata dan pelipur lara bagi diri beliau. Suatu hari Jibril memperlihatkan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) gambar Aisyah pada secarik kain sutra berwarna hijau sembari mengatakan, “Ia adalah calon istrimu kelak, di dunia dan di akhirat.” (HR. At-Tirmidzi (3880), lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3041))

Selain menjadi seorang pendamping setiap yang selalu siap memberi dorongan dan motivasi kepada suami tercinta di tengah beratnya medan dakwah dan permusuhan dari kaumnya, Aisyah juga tampil menjadi seorang penuntut ilmu yang senantiasa belajar dalam madrasah nubuwwah di mana beliau menimba ilmu langsung dari sumbernya. Beliau tercatat termasuk orang yang banyak meriwayatkan hadits dan memiliki keunggulan dalam berbagai cabang ilmu di antaranya ilmu fikih, kesehatan, dan syair Arab. Setidaknya sebanyak 1.210 hadits yang beliau riwayatkan telah disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim dan 174 hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari serta 54 hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim. Sehingga para sahabat kibar tatkala mereka mendapatkan permasalahan, mereka datang dan merujuk kepada Ibunda Aisyah.
 
Adapun keutamaan Aisyah maka sangatlah banyak. Keutamaan-keutamaan tersebut bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian

Pertama : Allah menyatakan bahwa para istri Nabi kedudukannya tidak sama dengan para wanita biasa, Allah berfirman :

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ

"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa" (QS Al-Ahzaab : 32)

Allah juga berfirman ;

Kedua : Istri-istri Nabi kedudukannya seperti ibu kita. Allah berfirman :

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ

"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka". (QS Al-Ahzaab : 6)

Istri-istri Nabi kedudukan mereka seperti ibu kita sendiri dari sisi penghormatan (bukan dari sisi kemahroman). Oleh karenanya para ulama telah sepakat bahwa setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka tidak boleh istri-istri beliau dinikahi oleh orang lain (Lihat Minhaajus Sunnah 4/207). Allah berfirman :

وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا

"Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah Amat besar (dosanya) di sisi Allah" (QS Al-Ahzaab : 53)

Allah mengharamkan untuk menikahi istri Nabi setelah wafatnya Nabi dalam rangka untuk menghormati kedudukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena jika ditinjau dari sisi pokok-pokok syari'at maka tidak ada dalil yang mengharuskan pengharaman menikah dengan istri Nabi, akan tetapi jelas pengharaman tersebut dikarenakan kedudukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (Lihat As-Shoorim Al-Masluul hal 63)

Maka barang siapa yang mencela istri-istri Nabi, apalagi sampai menuduh mereka telah berzina maka hal ini sungguh merupakan perbuatan yang menyakiti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjatuhkan kedudukan beliau, serta perkara yang besar di sisi Allah.

Sebagian ulama menyebutkan bahwa diantara hikmah tidak boleh menikahi istri Nabi setelah wafatnya beliau karena dalil-dalil menunjukkan bahwa istri-istri Nabi di dunia adalah juga istri-istri beliau di akhirat. Dan Nabi telah menjelaskan bahwa seorang wanita di surga bersama suaminya yang terakhir. Jika istri-istri Nabi menikah dengan lelaki lain maka mereka tidak akan menjadi istri-istri Nabi di akhirat.

Ketiga : Para istri Nabi telah direkomendasi oleh Allah bahwasanya mereka lebih mendahulukan Allah, RasulNya dan akhirat daripada kemewahan dunia. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا (٢٨)وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا

Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka Marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah (pemberian harta-pen) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhoan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, Maka Sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantara kalian pahala yang besar (QS Al-Ahzaab : 28-29)

Dan sangatlah jelas bahwasanya setelah turun ayat ini ternyata tidak seorangpun dari istri-istri Nabi yang diceraikan oleh Nabi, yang hal ini menunjukkan bahwa mereka (para istri beliau) lebih mendahulukan Allah, RasulNya, dan akhirat dari pada kemewahan dan perhiasan dunia. Dan dalam ayat ini juga Allah telah menjanjikan bagi mereka pahala yang besar.

Disebutkan dalam hadits yang shahih bahwasanya istri Nabi yang pertama kali menyatakan bahwa ia memilih Allah dan RasulNya dari pada keindahan dunia adalah Aisyah, lalu diikuti oleh istri-istri Nabi yang lainnya (Lihat HR Al-Bukhari no 4785 dan Muslim no 1475)

Keempat : Karena kemuliaan istri-istri Nabi, maka Allah pernah mengharamkan Nabi untuk menikahi para wanita merdeka selain istri-istri beliau yang ada.

Allah berfirman :

لا يَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ وَلا أَنْ تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَاجٍ وَلَوْ أَعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ

"Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu" (QS Al-Ahzaab : 52)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ;

ذكر غير واحد من العلماء -كابن عباس، ومجاهد، والضحاك، وقتادة، وابن زيد، وابن جرير، وغيرهم -أن هذه الآية نزلت مجازاة لأزواج النبي صلى الله عليه وسلم ورضًا عنهن، على حسن صنيعهن في اختيارهن الله ورسوله والدار الآخرة، لما خيرهن رسول الله صلى الله عليه وسلم، كما تقدم في الآية. فلما اخترن رسول الله صلى الله عليه وسلم، كان جزاؤهن أن [الله] (3) قَصَره عليهن، وحرم عليه أن يتزوج بغيرهن، أو يستبدل بهن أزواجا غيرهن، ولو أعجبه حسنهن إلا الإماء والسراري فلا حجر عليه فيهن. ثم إنه تعالى رفع عنه الحجر (4) في ذلك ونسخ حكم هذه الآية، وأباح له التزوج (5) ، ولكن لم يقع منه بعد ذلك تَزَوّج لتكون المنة للرسول (6) صلى الله عليه وسلم عليهن.

"Banyak ulama –seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Adh-Dhohhaak, Qotaadah, Ibnu Zaid, Ibnu Jarir dan yang lainnya- menyebutkan bahwasanya ayat ini turun sebagai balasan  untuk istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atas baiknya sikap mereka yang memilih Allah, RasulNya, dan hari akhirat tatkala Rasulullah memberi pilihan kepada mereka –sebagaimana ayat yang lalu-.

Tatkala mereka memilih Rasulullah maka balasan bagi mereka adalah Allah hanya membatasi Rasulullah pada mereka saja, dan mengharamkan Nabi untuk menikahi wanita selain mereka, atau menggantikan mereka dengan wanita-wanita yang lain meskipun wanita-wanita yang lain tersebut cantik, kecuali hanya para budak dan tawanan maka tidak mengapa. Kemudian Allah mengangkat/memansukhkan hukum ayat ini dan membolehkan beliau untuk menikahi wanita yang lain, akan tetapi kenyataannya Nabi tidak menikah lagi, agar hal ini (yaitu Nabi tidak menikah lagi) menjadi kebaikan Nabi bagi mereka" (Tafsir Al-Quraan Al-'Azhiim 6/447)

Kelima : Allah telah membersihkan istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari dosa-dosa.

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, Hai ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya" (QS Al-Ahzaab : 33)

Ayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa para istri-istri Nabi shallallahu 'alahi wa sallam dinyatakan sebagai Ahlu Bait Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Allah menyatakan bahwa Allah ingin membersihkan mereka sebersih-bersihnya. Tidak ada khilaf diantara para ulama bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait di dalam ayat ini adalah istri-istri Nabi, karena merekalah sebab diturunkan ayat ini. Dan para ulama berselisih apakah selain para istri Nabi juga masuk dalam ayat ini dari kalangan ahlul bait yang lain?? (lihat penjelasan Ibnu Katsiir dalam tafsirnya 6/410)

Selain ayat di atas, banyak dalil yang menunjukkan bahwasanya istri-istri Nabi termasuk ahlul bait. Diantaranya :

Secara bahasa penggunaan kata ahlul bait adalah mencakup keluarga seseorang (anak dan istrinya). Hal ini sebagaimana firman Allah

قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَجِيدٌ (٧٣)

"Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, Hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." (QS Huud : 73)

Ayat ini jelas bahwa ahlu bait Nabi Ibrahim adalah termasuk istri beliau.

- Sangat jelas bahwa kita diperintahkan untuk bersholawat kepada ahlul bait, dan dalam salah satu lafal shalawat dengan jelas menyebutkan istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari Abu Humaid As-Saa'idi radhiallahu 'anhu berkata :

أَنَّهُمْ قَالُوا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُوْلُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

Mereka berkata, "Wahai Rasulullah bagaimana kami bersholawat kepada engkau?". Maka Rasulullah berkata, "Katakanlah : Ya Allah bersholawatlah kepada Muhammad dan istri-istrinya serta keturunannya sebagaimana Engkau bersholawat kepada keluarga Ibrahim, dan berkatilah Muhammad dan istri-istrinya serta keturunannya sebagaimana engkau memberkahi keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung" (HR Al-Bukhari no 3369)

Maka orang-orang yang mengaku-ngaku mencintai ahlul bait hendaknya mereka mencintai, menghormati, dan membela para istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Shafiyah adalah putri Huyay bin Akhthab, pemimpin suku Yahudi Khaibar. Huyay memerangi dan menampakkan permusuhan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun dia tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan nabi akhir zaman, sebagaimana termaktub dalam kitab Taurat.

Pasukan kaum muslim berhasil mengalahkan benteng pertahanan terakhir suku Yahudi di Khaibar. Huyay bin Akhthab mati terbunuh dalam peperangan itu. Sementara putrinya, Shafiyah, tertangkap dan menjadi salah satu tahanan perang. Shafiyah adalah anak kesayangan bapaknya dan pamannya, sebagaimana dituturkan oleh Shafiyah sendiri, yang dikisahkan oleh Ibnu Ishaq.

“Saya adalah anak kesayangan bapak saya dan paman saya, Abu Yasir. Ketika Rasulullah datang di Yatsrib, beliau turun di Quba’ di kediaman Amru bin Auf. Maka Bapak saya, Huyay bin Akhthab, dan paman saya, Abu Yasir pergi di pagi hari, akan tetapi mereka berdua belum pulang meski matahari sudah kembali ke peraduannya. Tidak lama kemudian, mereka datang dalam kondisi lelah, malas, dan lemas. Mereka berdua berjalan dengan gontai. Saya menyambut mereka dengan ceria, seperti biasanya. Tapi, demi Allah, tidak seorang pun diantara mereka berdua yang menoleh ke saya, ditambah lagi mereka berdua tampak sedih. Tiba-tiba saya mendengar paman saya, Abu Yasir, berkata kepada bapak saya, Huyay bin Akhthab,

“Apakah itu orangnya?”

“Ya, betul,” jawab ayah saya.

“Apa kamu mengenalnya?” tanya paman.

“Ya,” jawab ayah.

“Bagaimana pendapatmu tentang dia,” kata paman.

“Saya akan memusuhinya selama saya hidup,” kata ayah.

Setelah kejadian itu, Shafiyah mengetahui bahwa Rasulullah berada dalam jalan yang benar. Ternyata selama ini, kaumnya tidak memberitahukan tentang Nabi Muhammad kepada Shafiyah, karena faktor kedengkian dan iri hati, bukan karena Nabi Muhammad salah, setelah ada bukti yang nyata pada diri mereka bahwa Nabi Muhammad adalah utusan akhir zaman.

Setelah orang-orang Yahudi kalah, dan bentengnya di Khaibar jatuh ke tangan kaum muslim, Shafiyah menjadi salah satu tawanan perang. Dia masuk dalam bagian pendapatan perang seorang sahabat, Dahiyyah bin Khalifah. Kemudian ada seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “Ya Rasulullah, engkau memberikan bagian kepada Dahiyyah, Shafiyah binti Huyay, putri pemimpin Bani Quraizhah dan Bani Nadhir, padahal Shafiyah hanya layak untuk engkau.”

Rasulullah bersabda, “Panggil Dahiyyah bersama Shafiyah.”

Dahiyyah datang membawa Shafiyah. Setelah Rasulullah melihat Shafiyah, beliau berkata kepada Dahiyyah, “Ambillah budak yang lain dari tahanan yang ada.”

Dahiyyah pergi tanpa membawa pulang Shafiyyah, dia memilih tahanan yang lain untuk dijadikan budak. Sementara Rasulullah mempunyai bagian harta perang, yang biasanya dikenal dengan istilah shafi (jarahan perang yang dipilih pemimpin untuk dirinya). Rasulullah bebas dalam memilih, apakah ingin memilih budak laki-laki, budak perempuan, atau kuda, selama belum melebihi seperlima.

Rasulullah memberikan pilihan kepada Shafiyah, apakah ingin dimerdekakan, kemudian akan dikembalikan kepada kaumnya yang masih hidup di Khaibar, ataukah ingin masuk Islam kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Shafiyah memilih untuk masuk Islam dan menikah dengan beliau, dengan maskawin kemerdekaannya.

Pada saat itu, Shafiyah berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, saya memeluk Islam dan saya sudah percaya kepadamu sebelum engkau mengajak saya. Saya sudah sampai pada perjalananmu. Saya tidak punya keperluan kepada orang-orang Yahudi. Saya sudah tidak mempunyai bapak, dan tidak mempunyai saudara yang merdeka. Lalu untuk apa saya kembali kepada kaumku?”

Ungkapan hati Shafiyah ini menunjukkan kebijaksanaan dan kecerdasannya. Shafiyah menjadi salah satu Ummul Mukminin dan itu merupakan kehormatan yang besar.

**

Dari berbagai sumber sahih & buku “Wanita-wanita Cerdas Sepanjang Masa” oleh Mansur Abdul Hakim, pustaka At-Tibyan, Solo.


latestnews

View Full Version