View Full Version
Jum'at, 26 Jul 2019

Kekerasan Seksual pada Perempuan, Adakah Solusinya?

 

Oleh: Hana Annisa Afriliani,S.S

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) sejak awal diwacanakan ke publik, nyatanya menuai banyak pro dan kontra. Betapa tidak, beberapa pasal yang terdapat dalam RUU tersebut disinyalir bersifat ambigu dan dikhawatirkan justru menjadi payung hukum bagi legalnya kemaksiatan di negeri ini.

Sebagaimana kita tahu bahwa hal yang disoroti dalam RUU P-KS adalah soal “kekerasan” seksual. Maka siapa pun yang dinilai melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan akan dapat terkena delik pidana. Nantinya bukan tidak mungkin, para suami yang “memaksa” istrinya berhubungan intim juga akan terkena delik pidana ini. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dilontarkan oleh Komnas Perempuan beberapa waktu lalu, bahwa suami yang memaksa istrinya berhubungan badan, maka hal tersebut termasuk pemerkosaan dalam rumah tangga. Istri dapat melaporkan suaminya. Dan suami akan dapat dikenai sanksi pidana.

Tak hanya itu, RUU P-KS ini tidak menyentuh sama sekali persoalan zina yang notabenenya dilakukan atas dasar suka sama suka. Selama tidak ada unsur kekerasan di dalamnya, maka hal tersebut seolah sah di mata hukum. Ini juga jelas sangat berbahaya. Mengingat populasi kasus seks bebas di kalangan remaja selalu meningkat setiap tahunnya. Jelas ini bukanlah fakta yang boleh kita anggap remeh, karena rusaknya generasi akan berpengaruh pada warna peradaban di masa depan.

Alih-alih dipromosikan untuk menyelamatkan perempuan dari ancaman, sebaliknya RUU ini justru mendaat menolakan dari kaum perempuan sendiri. Sebagaimana dilansir oleh Medcom.id (14-07-2019) bahwaSejumlah perempuan yang tergabung dalam Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) menggelar aksi menolak RUU P-KS, karena tidak memiliki tolak ukur yang jelas dan bisa multitafsir.

Tak hanya itu, Majelis Nasional Forum Alumni HMI-wati (Forhati) juga menolak RUU P-KS ini karena dinilai melanggar norma agama serta sarat dengan muatan feminisme dan liberalisme. Sehingga memunculkan celah legislasi tindakan LGBT dan pergaulan bebas. (Antaranews.com/15-07-2019)

Sangat nyata bahwa produk hukum yang dikeluarkan dalam kerangka sistem sekular-liberal hari ini tidak mampu menyelamatkan perempuan dalam kehinaan, sebaliknya justru menambah masalah baru. Semakin menjerumuskan perempuan ke dalam kubangan nista penuh dosa. Dan yang paling asasi dari munculnya RUU tersebut adalah kesalahan berpikir penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan.

Dalam pandangan sistem hari ini, kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh adanya ketimpangan gender. Laki-laki menjadi makhluk superior, sehingga kaum perempuan termarginalkan. Posisinya tidak menguntungkan. Makanya perempuan butuh payung hukum yang dapat menindak tegas segala bentuk kekerasan yang terjadi pada dirinya. Namun faktanya, pandangan ini cacat pikir.

Sesungguhnya segala bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan, termasuk di dalamnya kekerasan seksual, adalah buah dari tidak diterapkannya syariat Islam dalam kehidupan. Tidak mungkin ada lelaki yang melecehkan perempuan, jika iman dan pemahaman agamanya kokoh mengakar dalam dirinya. Tidak mungkin pula ada perempuan yang dilecehkan jika ia menjalankan perintah Allah untuk menutup rapat seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Tidak mungkin pula ada kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, jika suami dan istri paham hak dan kewajibannya sesuai yang digariskan syariat. Inilah lingkup ketakwaan individu yang akan menjadi pilar pertama dalam penerapan syariat Islam dalam kehidupan.

Disamping itu, tak mungkin ada kekerasan terhadap perempuan, serta munculnya aneka kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat, seperti LGBT, seks bebas, kekerasan terhadap perempuan, jika ada kontrol di tengah-tengah masyarakat. Artinya, setiap orang saling peduli. Budaya amar ma’ruf nahyi mungkar dihidupkan. Inilah pilar ke-2 dalam penerapan syariat Islam. Berbeda dengan sistem liberal hari ini yang menjunjung tinggi individualisme. Sehingga satu sama lain merasa tak perlu ikut campur.

Selanjutnya, tak akan mungkin ada kezaliman yang menimpa perempuan jika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Sebagaimana yang digariskan Islam, bahwa negara berkuasa penuh atas penerapan syariat kepada warga masyarakatnya. Karena sejatinya negara adalah wakil umat dalam menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Negara berkewajiban melindungi kehormatan dan kemuliaan perempuan, negara akan melarang segala bentuk aktivitas yang mengekspolitasi kecantikan perempuan. Negara juga akan menutup semua celah pornografi dan pornoaksi. Hal ini dalam rangka mencegah lahirnya budak-budak syahwat. Inilah pilar ke-3 dalam penerapan syariat Islam.

Sungguh, semua pilar tersebut akan mungkin diterapkan dalam naungan sistem Islam semata,bukan sistem sekular-liberal hari ini. Maka sudah saatnya kaum muslimin bahu membahu dalam mewujudkan kembali sistem Islam dalam kehidupan, karena hanya dengan syariat perempuan selamat. Wallahu’alam bi shawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version