View Full Version
Selasa, 03 Mar 2020

Islam dan Ketahanan Keluarga

 

PEMERINTAH saat ini tengah menggodok RUU Ketahanan Keluarga. RUU yang muncul sebagai respon dari keadaan masyarakat yang moralitasnya kian merosot tajam. Kondisi sebagian besar keluarga di negeri ini rapuh, tentunya berimbas pada mentalitas generasi. Realita yang ada menunjukkan betapa banyak generasi saat ini terbawa arus yang merusak moral dan masa depan mereka.

Apalagi di tengah masifnya liberalisasi di semua aspek kehidupan era globalisasi ini, membuat keluarga-keluarga tak berdaya menghadapi ancaman yang menggerus keharmonisan dan keutuhannya. Tak sedikit keluarga berujung pada perceraian.

Hal itu dapat dilihat dari meningkatnya jumlah perceraian di Indonesia dalam 8 tahun terakhir. Pada tahun 2018 perceraian mencapai 420 ribu (se-Indonesia), tahun 2013 (ada) 200 ribuan (perceraian), dan saat ini meningkat tajam 2 kali lipatnya (news.detik.com, 22/02/2020).

Latar belakang inilah yang membuat beberapa pihak menganggap perlunya regulasi untuk memperkuat peran dan fungsi keluarga dengan mengajukan RUU Ketahanan Keluarga.

 

Penolakan dari Berbagai Pihak

Namun anehnya, tak sedikit pihak yang menolak RUU tersebut secara terang-terangan. Bahkan penolakan tersebut datang dari istana. Sebagaimana yang dilontarkan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono. Dia menilai RUU Ketahanan Keluarga terlalu menyentuh ranah pribadi."Saya enggak tahu sih, tapi katanya ada pasal yang mewajibkan anak laki-laki perempuan pisah kamar. Terlalu menyentuh ranah pribadi," ujar Dini di Kantor Sekretariat Kabinet Jakarta, Jumat (21/2/2020).

Selain itu, ada pihak yang menganggap RUU Ketahanan Keluarga sebagai ide mundur dan menggugat kemapanan. Dalam perspektif kesetaraan gender, gagasan domestikasi alias “mengandangkan” wanita seperti tersirat dalam Pasal 25 itu seolah pemikiran yang mundur. Selagi perempuan-perempuan sudah banyak yang berkiprah di ranah publik, DPR seolah ingin mengembalikan peran perempuan di dalam rumah saja. "Itu sudah usang—rumah tangga dianggap urusan perempuan saja; absurd," kata aktivis perempuan Tunggal Pawestri. Bahkan, dia menegaskan, "itu akan melanggengkan budaya patriarki (dominasi peran laki-laki)" (www.vivanews.com, 20/02/2020).

Ada juga yang keberatan dengan RUU ini, karena menyiratkan perlakuan diskriminasi terhadap LGBT. Salah satunya datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyebut pasal mengenai LGBT dan kehidupan rumah tangga berpotensi melanggar HAM.

Menanggapi polemik RUU Ketahanan Keluarga, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengingatkan, bahwa Indonesia merupakan anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan begitu, seluruh produk Undang-Undang maupun kebijakan harus berdasarkan pada prinsip dan standar HAM (Liputan6.com, 20/02/2020).

Dalam teori HAM, kata Beka, setiap warga negara memiliki hak atas integritas personal. Artinya berdaulat atas dirinya sendiri, bebas berpikir, bertindak, maupun bersosialisasi. Sehingga negara tidak bisa serta merta masuk ruang-ruang privat warganya.

Beka juga menyoroti potensi terjadinya pelanggaran HAM pada penerapan RUU tersebut. Misalnya, soal kewajiban lapor bagi keluarga atau individu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Dia menjelaskan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 1982 telah mengeluarkan LGBT dari daftar penyakit kejiwaan. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan juga mengeluarkan putusan serupa pada 1993. Karenanya, LGBT bukanlah suatu penyakit.

Selain soal LGBT, aturan mendetail mengenai kehidupan suami-istri juga dinilai melanggar HAM. Sebab, hal itu sudah masuk ke ranah privat (news.detik.com, 22/02/2020).

 

Tantangan Membangun Ketahanan Keluarga

Derasnya penolakan dengan berbagai alasan tersebut menunjukkan bahwa harapan terwujud ketahanan keluarga dari pembakuan relasi suami istri, pendidikan dalam rumah untuk mencegah kekerasan seksual dan mengobati penyimpangan seksual justru dipersoalkan. Hal ini disebabkan karena RUU tersebut bertolak belakang dengan arus liberalisasi serta makin banyak wujudnya keberhasilan berbagai kampanye liberal.

Ini makin memperjelas bukti bahwa dalam sistem sekuler, mustahil menghasilkan UU/ regulasi keluarga berdasarkan Islam karena dianggap melanggar prinsip-prinsip sekuler liberal yang dianut. Padahal ketahanan keluarga hanya bisa terwujud dengan kebijakan integral, tidak hanya menyangkut pengaturan individu anggota keluarga dan pendidikan di dalam rumah.

Sebagai contoh di bidang ekonomi. Kondisi negeri yang mengalami krisis ekonomi, tentu berimbas terhadap pemenuhan kebutuhan hidup keluarga dan anggotanya, mulai dari kebutuhan asasi, pendidikan, kesehatan hingga keamanan. Ekonomi negeri yang carut marut, membuat sempitnya lapangan pekerjaan, hingga sulitnya mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup karena makin mahalnya harga-harga kebutuhan pokok. Akhirnya banyak keluarga kesusahan serta jauh dari sejahtera.

Begitu juga pendidikan dan sosialnya. Negeri yang rendah kualitas pendidikannya, tentu akan berpengaruh pada kualitas keluarga dalam mengatasi persoalan hidup. Sementara ketika kehidupan sosial negeri dipenuhi kerusakan moral, seperti kriminalitas yang tinggi, narkoba, seks bebas hingga LGBT tentu akan mempengaruhi kerapuhan keluarga. Itulah kenapa untuk membangun ketahanan keluarga dibutuhkan upaya yang komperensif, dan hal ini tentu membutuhkan keterlibatan negara.

 

Islam Sempurna Mewujudkan Ketahanan Keluarga

Sungguh jauh beda dengan sistem Islam dalam mewujudkan ketahanan keluarga. Dalam Islam, sekalipun negara tidak mencampuri urusan privat sebuah keluarga. Tetapi negara memastikan setiap anggota keluarga mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, sehingga mampu mencetak generasi berkualitas. Negara memastikannya melalui serangkaian mekanisme kebijakan yang lahir dari hukum syariat.

Penerapan sistem ekonomi Islam yang memastikan terpenuhinya kebutuhan asasi per individu dengan mekanisme yang khas. Mulai pembebanan tanggung jawab nafkah keluarga oleh laki-laki yang sudah baligh dan mampu. Namun jika tidak ada laki-laki seperti itu sesuai jalur nasab, maka tanggung jawab nafkah dibebankan pada negara. Dengan demikian negara harus menciptakan lapangan pekerjaan agar tidak ada laki-laki yang baligh dan mampu tidak bekerja.

Penerapan sistem ekonomi Islam juga memastikan kekayaan negara maupun rakyat tidak jatuh ke tangan asing maupun aseng. Pengelolaannya benar-benar dilakukan negara sendiri. Negara juga tidak mentarget keuntungan dalam pengelolaan sumber daya alam karena memang benar-benar untuk kemashlatan rakyat.

Penerapan sistem pendidikan dalam Islam ditujukan untuk mencetak kepribadian Islam yang akan memberikan banyak manfaat bagi kemajuan Islam dan kaum muslimin. Sehingga terwujud generasi terbaik yang dengan ketakwaannya akan mampu menaklukan tantangan zaman serta memimpin peradaban. Pendidikan ini diwujudkan baik pada ranah keluarga hingga negara.  Negara benar-benar memastikan peran keluarga, dalam hal ini ayah dan ibu mampu mendidik anak-anakya dengan baik tanpa dipusingkan dengan krisis ekonomi dan berbagai ancaman kejahatan.

Penerapan sistem sosial dalam Islam akan menciptakan masyarakat akan bersih dari berbagai kemaksiatan termasuk penyimpangan seksual semacam LGBT.

Penerapan sistem sanksi dalam Islam akan mampu mewujudkan efek jera tidak hanya bagi pelaku criminal, namun juga kemaksiatan mulai zina hingga perilaku kaum sodom LGBT. Inilah yang membuat keluarga aman dari berbagai ancaman yang akan merusak generasi.

Semua penerapan Islam di semua aspek kehidupan akan menguatkan peran keluarga serta mengokohkan ketahanannya. Dan semuanya tidak terlepas dari peran negara. Karena itu, Islam dan Negara sungguh tak terpisahkan serta menjadi hal yang urgen untuk mewujudkan ketahanan keluarga. Wallahu a'lam bishawab.* 

Nabila As Shobiro

Aktivis Dakwah Muslimah

 


latestnews

View Full Version