View Full Version
Ahad, 08 Mar 2020

Ketelanjangan, Kebebasan Ekspresi yang Kebablasan

 

Oleh:  Yauma B. Yusyananda

Tara Basro, seorang model dan aktris dalam film Perempuan Tanah Jahanam ini menuai kontroversi dengan unggahan foto dirinya yang mengkampanyekan body positivy untuk mencintai tubuh secara positif. Kampanye ini dinilai baik di masyarakat bahkan menuai pujian. Namun, yang menjadi persoalan bukan apa yang dikampanyekan dalam caption Tara. Foto yang diunggah bersamaan dengan caption dinilai tidak layak karena menggambarkan dirinya yang sedang telanjang dan hanya menutupi bagian-bagian intim tubuhnya. Walau tidak lama kemudian foto tersebut di-take down dan diganti dengan foto yang tetap menggunakan pakaian yang minim.

Menkominfo, Johnny G. Plate ikut bersuara dalam perihal ini. Menurutnya, unggahan foto tersebut merupakan bagian dari seni dan tidak melanggar UU ITE tentang pornografi (detik.com).

Adapun bunyi dari pasal 27 ayat 1, UU ITE yang dikaitkan dengan foto tersebut oleh masyarakat yaitu “Setiap Orang dengan senaga dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

Apa yang dilakukan Tara, bagi Menkominfo tidak mengandung dan memuat serta melanggar pasal tersebut. Jika kita lihat kembali, standar unsur kesusilaan pada pasal tersebut sesungguhnya tidak dijelaskan dengan baik. Makna kesusilaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal susila atau adab sopan santun. Dan dari definisi susila saja kita belum memahami secara jelas makna sopan santun yang tertera di masyarakat secara umum. Kita diberi mindset jika menggunakan bikini atau pakaian renang di pantai itu sah karena sesuai dengan tempatnya, maka itu disebut sopan. Namun dalam adab, terutama adab ketimuran sebenarnya berbikini di pantai pun dinilai kurang sopan secara tidak tertulis. Modernitas yang menggeser kebudayaan tersebut.

Beda jika kita menggunakan definisi susila dalam Islam. Umbar aurat adalah satu sikap asusila yang tak bisa diterima, apalagi di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam.   

Dunia seolah dibuat terbalik dengan adab sopan santun yang dibuat oleh manusia dengan persepsi pemikiran mereka. Manusia mencampakkan standar yang pasti yaitu Islam dengan mengatur adab dan sopan santun sesuai kebiasaan dan adat istiadat yang umum di masyarakat. Padahal, aturan yang jelas hanya ada pada Islam yang berasal dari Rabb Semesta Alam.

Ketika orang-orang ramai menggunakan cadar atau bercelana laa isbal (cingkrang), masyarakat mengkritik bahwa hal tersebut terlalu ekstrim berada di lingkungan mereka. Namun, jika berbicara tentang tubuh yang minim dalam berpakaian, hal itu dianggap sebagai seni. Mereka yang kontra dinilai sempit pemikirannya.

Sebenarnya, bukan kali ini saja kejadian seperti ini muncul dan viral. Para kaum yang mengusung kebebasan berekspresi dengan menggunakan ketelanjangan tubuh atau menggunakan pakaian yang minim selalu saja hadir untuk mengkampanyekan opininya. Pada tahun 2012, sempat ramai diperbincangkan penggunaan rok mini bagi para anggota Dewan DPR.  Hal ini pun sempat kontroversi karena sudah mengurusi yang dianggap sebagai atribut pribadi. Sampai ada pernyataan bahwa otaknya saja yang mini, sehingga berpikiran negatif terhadap penggunaan rok mini. Pro dan kontra ini terjadi karena tidak ada standar jelas yang mengatur adab kesopanan berpakaian.

Jadi, masyarakat kita memang membutuhkan peraturan yang jelas dan pasti ukurannya dalam mengatur hal tersebut. Alangkah tidak baik jika kita terus menggunakan HAM (Hak Asasi Manusia) sebagai alat mempromosikan apa yang kita yakini sehingga mempengaruhi masyarakat dengan kebebasan tanpa aturan dan tidak bertanggung jawab. Dan hanya Islam yang memiliki aturan jelas secara mendetail karena Islam bukan hanya soal agama, namun bagaimana akhirnya kita menjalankan kehidupan berdasarkan keinginan Pencipta dan Pengatur Kehidupan ini.

Umat di luar Islam pun dapat memahami makna pakaian yang sopan dalam Islam karena di masa kerajaan Eropa terdahulu pun gaun-gaun para bangsawan dinilai tertutup meskipun tanpa penutup kepala. Tidak seperti zaman modern ini, yang seolah pembuatan pakaian mahal namun sejatinya kurang bahan. Anehnya, produk seperti ini diminati dan dicari karena brandnya.

Pengaturan dalam ranah berpakaian ini memerlukan institusi tertentu yang menerapkan Islam secara menyeluruh. Jika tidak, maka pro kontra seperti ini akan terus saja terjadi dan menguras energi umat. Wallahu'alam bish shawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version