View Full Version
Kamis, 12 Mar 2020

Pekerjaan Rumah Tangga, Haruskah Perempuan Mendapat Upah?

 

Oleh: Fatimah Azzahra, S. Pd

 

Seratus tahun lalu, Alexandra Kollontai, seorang feminis-sosialis terkemuka, menegaskan bahwa pembebasan kaum perempuan dimulai dari pembebasannya dari tugas-tugas rumah tangga (Porter 1980). Maksudnya, tugas-tugas rumah tangga bukanlah semata kewajiban perempuan dan bukan kewajiban yang alamiah. Semua perempuan bebas untuk tidak melakukan tugas-tugas itu sekalipun. Semua perempuan, baik kelas atas, menengah maupun bawah (indoprogress.com, 8/3/2020).

Hari perempuan Internasional baru beberapa hari yang lalu dirayakan. Banyak yang merayakannya dengan berbagai cara. Salah satunya, ada yang mengangkat isu pekerjaan rumah tangga bagi perempuan. Mereka tak setuju anggapan pekerjaan rumah tangga adalah kewajiban perempuan. Perempuan harus dibebaskan dari beban pekerjaan rumah tangga. Bahkan, seharusnya ada upah yang dibayarkan bagi perempuan (istri atau anak) yang melakukan pekerjaan rumah tangga.

Benarkah pekerjaan rumah tangga itu beban? Bagaimana dengan mereka yang dengan senang hati melakukannya? Bagaimana dengan mereka yang justru memilih melakukan pekerjaan rumah tangga sebagai 'me time'? Adakah suami aktivis feminis-sosialis yang membayar istri dan anaknya ketika melakukan pekerjaan rumah tangga?

Islam, sebagai ideologi seperti sosialis, juga memiliki pandangan yang khas tentang perempuan. Islam memuliakan perempuan dengan berbagai cara. Islam memerintahkan perempuan menutup aurat agar ia terjaga. Islam melarang perempuan bepergian safar tanpa mahram untuk melindunginya. Islam memuliakan perempuan yang mau berkhidmat pada suaminya. Mereka dijanjikan surga yang bisa dimasuki dari mana saja.

"Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita tersebut, “Masuklah ke surga melalui pintu manapun yang engkau suka.” (HR. Ahmad; shahih)

Islam memandang perempuan dan laki-laki sama. Sama-sama makhluk Allah yang berkewajiban beribadah kepada Allah. Keduanya diciptakan untuk saling membantu sama saling. Termasuk saling tolong menolong dalam melaksanakan kewajiban. Jadi, ketika dalam kehidupan rumah tangga ada aktivitas pekerjaan rumah tangga. Maka, ini dilaksanakan dalam rangka tolong menolong untuk menciptakan rumah tangga yang bersih, yang sehat.

Mari kita contoh bagaimana sikap sahabat Rasul, Umar bin Khattab, dalam berumah tangga. Dikisahkan, ada seorang sahabat tersebut yang sedang frutasi lantaran sering dimarahi oleh istri. Tak tahan omelan sang istri dia bermaksud menceraikannya. Namun, sebelum bercerai dia ingin konsultasi dengan Umar bin Khatthab.

Maka bergegaslah sahabat Rasulullah itu ke rumah Umar. Namun tiba di depan rumah sang Khalifah, dia urung mengetuk pintu. Sebab dari dalam terdengar suara keras istri Umar yang sedang marah. Umar dimarahi istrinya.

Tak terdengar sama sekali suara Umar membantah atau melawan sang istri. Padahal nada marah Istri Umar sangat tinggi. Tak jadi mengetuk pintu rumah Umar, sang sahabat tadi pun berniat pulang. Sambil melangkah meninggalkan rumah Umar dia bergumam,"Kalau khalifah saja seperti itu, bagaimana dengan diriku."

Baru beberapa langkah meninggalkan rumah sang Khalifah, Umar membuka pintu. Melihat sahabatnya, Umar pun memanggil.

"Saudara, ada keperluan apa engkau datang ke rumahku?" kata Umar kepada sahabatnya.

Sahabat itu pun menjelaskan bahwa dia bermaksud konsultasi terkait masalah keluarganya. Dia ceritakan soal istrinya yang sering marah-marah. "Namun, aku mendengar istri Anda sendiri berbuat yang sama (marah). Aku tidak ingin mengganggu, sementara Anda sendiri sedang ada masalah," jelas sahabat tersebut kepada Umar.

Mendengar itu, Umar bin Khattab tersenyum. Dia jelaskan alasan tak membalas kemarahan sang istri. Menurut Umar, seorang istri sudah bekerja memasak, mencuci baju, serta mengasuh dan mendidik anak-anak. "Aku cukup tenteram tidak melakukan perkara haram lantaran pelayanan istriku. Karena itu, aku menerimanya sekalipun dimarahi," kata Umar.

Sahabat tersebut lalu bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, apakah aku juga harus berbuat demikian terhadap istriku?."

"Ya, terimalah marahnya. Karena yang dilakukan istrimu tidak akan lama, hanya sebentar saja," jawab Umar bin Khattab.

Dari kisah di atas, terlihat betapa Umar bin Khattab sangat mengapresiasi aktivitas istrinya melakukan pekerjaan rumah tangga. Bahkan, umar yang terkenal tegas dan ditakuti oleh setan pun diam dihadapan istrinya yang sedang marah. Karena istrinya telah melakukan pekerjaan rumah tangga.

Kacamata yang berbeda akan menghasilkan pandangan yang berbeda. Kalaulah feminis memandang pekerjaan rumah tangga sebagai beban, maka ingatlah bagaimana Rasul menyemangati putrinya.

Rasulullah bersabda kepada putrinya, “Jika Allah SWT menghendaki wahai Fathimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah SWT menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh-Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat.

Ya Fathimah, perempuan yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah SWT menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu derajat.

Ya Fathimah, perempuan yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka Allah SWT menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit.

Ya Fathimah, perempuan yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci pakaian mereka maka Allah SWT akan mencatatkan baginya ganjaran pahala orang yang memberi makan kepada seribu orang yang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang yang bertelanjang."

Masyaallah. Cukuplah Allah sebagai sebaik-baik pembalas semua yang kita lakukan di dunia. Wallahu'alam bish shawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version