View Full Version
Sabtu, 27 Feb 2021

Waspada, Hindarkan Anak dari Paham Sekuler

 

Oleh: Diana Septiani

Sejak keruntuhan negara Islam, sekularisme terus meracuni umat hingga kini. Paham yang memisahkan antara agama dengan kehidupan ini telah menjadikan keyakinan hanya sebatas formalitas belaka. Sekuler juga memandang bahwa keberadaan segala sesuatu harus dibuktikan oleh pancaindera. Hal ini tentu sangat berbahaya, karena realitasnya tidak semua hal bisa dijangkau pancaindera. Misalnya, perkara gaib seperti keberadaan malaikat juga hakikat surga dan neraka. Bila bergantung hanya pada fakta yang dapat terindera, maka tidak mustahil anak akan mengingkari surga dan neraka. Bahkan, bisa jadi keberadaan Allah pun dipertanyakannya.

Sekularisme Lahirkan Generasi Bobrok

Paham sekuler meniscayakan pembuatan aturan kehidupan berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia. Maka jadilah demokrasi sebagai sistem politik, kapitalisme menjadi dasar perekonomian dan liberalisme yang mengatur segala macam perilakunya. Kemudian, bila anak sudah terpapar paham sekuler, ia akan memandang standar baik dan buruk berdasarkan akal manusia, bukan lagi pada ketetapan Sang Pencipta. Ia juga akan berprinsip menuruti hawa nafsunya ketimbang wahyu.

Pandangan bahwa manusia berhak untuk menentukan aturan dan arah hidupnya bisa menyebabkan anak membuat aturan seenaknya sesuai keinginananya sendiri. Maka wajar saat ini terlahir generasi bobrok yang memiliki karakter bebas, sulit diatur, keras kepala, "liar" bahkan pembangkang. Untuk menuruti kesepakatannya dengan orangtua saja --misalnya aturan bermain-- mereka cenderung abai dan merasa tidak berkewajiban untuk menurutinya. Apatah lagi untuk tunduk dan patuh terhadap aturan Allah, mungkin akan jauh lebih sulit.

Bahaya Paham Sesat Lainnya

Terpapar paham sekuler saja sudah sebegitu mengerikan, apatah lagi bila anak juga mengadopsi paham kapitalis, liberal dan plural. Bila anak terkena virus kapitalis, ia akan menilai baik-buruknya berdasarkan nilai materi. Anak akan melakukan yang diperintahkan orangtua bukan karena dorongan birrulwalidain (berbakti kepada orangtua), melainkan karena motivasi hadiah yang akan diperoleh. Misalnya, dia akan berupaya puasa full sebulan selama Ramadhan demi mendapatkan sepeda impian. Begitu pula, saat anak ingin memiliki sesuatu, ia akan melakukan apa saja, bahkan perbuatan maksiat sekalipun seperti mencuri, berbohong dan durhaka pada orangtua. Na'udzubillah!

Lebih parah lagi bila anak juga terjangkiti paham liberal, ia akan menganggap kebebasan adalah segalanya. Anak tak mau lagi diatur-atur, diarahkan bahkan membangkang. Saat diajarkan agar menutup aurat, anak akan merasa orangtuanya terlalu mengekang. Akhirnya banyak kasus anak kabur, hanya karena tak mau diatur. Padahal sejatinya orangtua hanya ingin kebaikan untuk anak-anaknya.

Anak akan semakin "kronis" bila sudah terpapar paham sekuler, kapitalis, liberal bahkan teracuni paham plural. Semua agama dianggap sama saja, sama-sama mengajarkan kebaikan. Tidak ada agama yang paling benar, yang ada semua agama sama benarnya. Sama-sama menunjukkan umatnya menuju ke Surga. Hal ini sangat berbahaya, mungkin saja anak akan dengan mudahnya untuk keluar masuk agama. Agama dijadikan permainan dan candaan.

Agar Anak Tak Terpapar

Menjadi orangtua memanglah tugas yang berat. Tanggung jawabnya dunia akhirat. Selain menjadi penyejuk mata, anak juga menjadi ujian bagi orangtuanya. Butuh kerja ekstra orangtua agar melindungi anak dari paparan paham-paham sesat. Menjaga sekaligus membersihkan mereka dari paham sekulerisme yang merupakan monster kebobrokan generasi saat ini. Dalam menghadapi hal ini, berikut beberapa upaya yang bisa orangtua lakukan untuk melindungi anak agar tak terpapar paham sesat.

Pertama, orangtua harus mengokohkan keimanan anak-anak. Penanaman keimanan kepada anak berarti mengurai simpul besar terkait kehidupan manusia. Dari mana ia berasal, untuk apa tujuan hidupnya di dunia dan setelah kehidupan ini akan kembali ke mana. Anak harus dibimbing agar mampu menjawabnya dengan shahih. Kemudian anak menyadari bahwa keimanannya tidak boleh hanya karena faktor keturunan melainkan karena pemahaman yang disertai kesadaran.

Kedua, untuk membangun keimanan anak, harus diperbanyak fakta yang terindera anak terkait topik keimanan yang akan dijelaskan. Ajaklah anak untuk mengamati alam sekitar, saat melihat langit yang kokoh tanpa tiang. Saat makan buah, ajak anak berpikir siapa yang memberikan rasa dan warna yang berbeda pada satu jenis buah. Agar anak menyadari betapa kemahabesaran tuhannya, Allah Rabb semesta alam yang begitu Mahasempurna dalam menciptakan makhluk-Nya.

Ketiga, orangtua harus mengajarkan aturan Islam dengan benar dan dengan bahasa yang dapat dimengerti anak. Demikian juga penerapannya harus dengan cara yang makruf, hindari dengan kekerasan dan emosional. Mendidik anak agar belajar menaati syariat memang lah bukan perkara mudah, namun bukan pula sesuatu yang mustahil. Bila istiqomah dan dibarengi dengan kesabaran, InsyaAllah Allah akan memudahkan orangtua mendidik amanah dari-Nya. Wallahu a'lambishshowab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version