View Full Version
Rabu, 31 Mar 2021

Menjadi Ibu Sempurna

 

Oleh:

Keni Rahayu || Ibu Muda dan Influencer Dakwah Millenial

 

IBU. Tiga huruf, dalam maknanya. Cita-cita tertinggi seorang perempuan dalam hidup, bahkan setelah berubah status meninggalkan masa lajang. Status "ibu" adalah fitrah yang diidamkan para pasangan menikah. 

Judul tulisan ini memang naif. Bagaimana mungkin ada ibu sempurna. Tapi, siapa yang hidup bukan untuk menuju ke sana? Minimal pasti ia berusaha. 

Menjadi ibu adalah belajar untuk tidak memikirkan diri sendiri. Setelah menyandang status istri, maka selain suami, sang anak adalah buah pikirnya setiap hari. Tak heran jika pekatnya dini hari membangunkan tidur lelapnya, menyiapkan segala hidangan untuk dikudap saat sarapan para penghuni rumah nanti.

Itu baru soal fisik. Belum lagi tugasnya menjadi pendidik. "Al umm madrosatul ula", gitu kata idola kaum muslimin sedunia. Sembari berlelah fisik membantu suaminya urusan "dalam negeri" seperti memasak, dan menata rumah, akal seorang ibu dituntut siap untuk melahirkan sosok penerus masa depan peradaban dunia. Aqidah adalah ilmu dasar yang harus dimiliki, bahkan dalam bentuk praktis yang siap dididikkan ke buah hati. Maka, jadi ibu harus pintar & cerdas. Bukan perkara rangking ya, tapi perkara: mau kujadikan apa anakku dengan treatment bagaimana.

Sayangnya, menjadi ibu sempurna hari ini bak jauh panggang dari api. Ibu dibebani tuntutan hidup tinggi padahal itu urusan para penguasa negeri. Bukan pilihan, tapi mau tidak mau para ibu dipaksa memenuhi kebutuhan ekonomi. Tak salah. Rasa cintanya yang tinggi pada keluarga menuntutnya pergi meninggalkan rumah sampai petang sejak pagi demi bantu suami mengumpulkan sesuap nasi.

Mahalnya biaya pendidikan hari ini adalah niscaya. Belum lagi kuota dan gadget jadi perangkat utama belajar di masa pandemi ini. Di sisi lain, boro-boro ngitung kadar gizi. Bisa makan nasi-lauk-sayur lengkap tiga kali sehari adalah rezeki besar Ilahi. Para ibu mana paham hitung-hitungan itu, tak pernah diajari di sekolah dulu meski ternyata hari ini penting juga. Lebih parah lagi kalau momen kepepet mengharuskan ibu menarik gas motornya menyambangi para pedagang nasi.

Kebutuhan lain tak kalah penat: sabun, sembako, sandang, papan, listrik, air, arisan dan masih panjang daftar  ke bawah. Semua memanggil melambai-lambai tak sebanding dengan bilangan dalam rekening. Ibu, beban pikirmu luar biasa ya.

Belum lagi pergaulan hari ini bikin jiwa ketar-ketir, bu. Standar bahagia yang ditawarkan dunia sungguh jauh dari mulia. Ke luar rumah bahaya, dalam rumah pun sama. Interaksi bablas hari ini bisa sampai ke buah hati meski melalui layar segi empat kecil bermata pisau itu. Satu sisi untuk belajar daring, di sisi lain toktok dan semacamnya bergentayangan mengiming-iming. Sungguh bu, harus berapa jam sehari ya kita dampingi sang buah hati? 

Maka darimu ibu, kami sandarkan masa depan kami di pundakmu. Siapa lagi yang dengan rela mengajarkan A Ba Ta Tsa dengan suka rela jika bukan engkau? Siapa lagi yang memasakkan makanan bergizi agar sel-sel di otak anak terpatri serasi? Ditambah lagi, doa siapa yang paling mujarab menembus ke langit, sembari menengadah indah dan berpeluh air mata cinta, kalau bukan engkau?

Kami paham. Menjadi ibu sempurna adalah cita-cita mulia. Sayangnya, perlu sinergitas negara untuk bisa memenuhinya. Pendidikan, pergaulan, kebutuhan seperti pangan dan semacamnya perlu sistem mulia semulia Islam. Maka, jangan pernah mencukupkan diri dengan ilmu berijazah 3 atau 4 jenjang yang sudah dienyam sebelumnya. Sungguh, ilmu itu kurang bu. Tak akan cukup untuk mendidik anakmu  di zaman yang terus berkembang. 

Duduklah bermajlis minimal sepekan sekali, sebab ribuan keberkahan tak kan tertandingi. Di sana para malaikat menengadah meminta dosa kita diampuni, beriring doa hewan dan tumbuhan darat-laut mengamini. Karena ibu, kau selalu menjadi sosok sempurna dengan keberhasilanmu menjadi "ibu" bagaimanapun rupa. Teruslah memantaskan diri dengan istiqomah mengkaji syariat-Nya. Wallahu a'lam bishawab.*


latestnews

View Full Version