View Full Version
Senin, 17 Jan 2022

Marak Klithih, Butuh Penguatan Beragama

 

Oleh :

Wahyu Utami, S.Pd || Praktisi Pendidikan di Yogyakarta

 

AKSI kenakalan dan kejahatan jalanan oleh anak remaja di Yogyakarta atau yang dikenal dengan sebutan klithih kembali ramai menjadi perbincangan pada akhir tahun 2021. Tagar #JogjaTidakAman dan #SriSultanYogyaDaruratKlithih menjadi populer di Twitter pada Selasa, 28/12/2021.

Sejumlah warganet menumpahkan kekesalan karena klithih masih marak di kota yang berpredikat kota pelajar tersebut. Medsos dibanjiri pengalaman netizen yang menjadi korban klithih. Warganet menuntut ketegasan pemerintah menyelesaikan aksi anak remaja tersebut. 

Awal Mula Munculnya Klitih

Menurut kamus Bahasa Jawa, arti kata klithih-Klithih atau klithihan adalah tansah mlaku wira-wiri semu nggegoleki (berjalan mondar-mandir mencari sesuatu tanpa arah). Namun kini klithih telah mengalami pergeseran makna dan dipakai untuk menyebut aksi anak remaja yang melakukan tindakan melukai orang lain.

Budaya kekerasan yang dilakukan oleh pelajar di Yogyakarta sudah ada sejak era 1980-an dan 1990-an. Kekerasan yang dilakukan pelajar pada masa itu dilakukan oleh dua geng besar yang legendaris, yaitu QZRUH dan JOXZIN. Seiring berjalannya waktu, muncul istilah klithih untuk mengganti kata tawuran, setelah peristiwa pembacokan yang marak terjadi sepanjang 2011 sampai 2012. Sejak saat itu, klithih seolah melekat dengan dunia remaja Yogyakarta yang sult diatasi.

Pada masa pandemi Covid-19 ini, angka klithih mengalami peningkatan. Polda DIY merilis jumlah aksi klithih sepanjang 2020 berjumlah 52 kasus dengan 40 kasus telah terselesaikan. Satu tahun berikutnya atau tahun 2021, total ada 58 kasus dengan jumlah pelaku 102 orang. Dari total pelaku, 80 di antaranya berstatus pelajar dan 22 orang lainnya adalah pengangguran. 38 kasus selesai dengan jumlah pelaku mencapai 91 orang.

Ada banyak faktor penyebab pelajar terjerumus dalam klithih. Salah satunya adalah kebutuhan menyalurkan hasratnya yaitu berkelahi atau gelut. Kurangnya ruang untuk berekspresi dan menunjukkan eksistensi diri membuat remaja bingung. Nglithih menjadi pilihan untuk bisa eksis tanpa modal.

Menyibukkan remaja pada kegiatan positif bisa menjadi solusi jangka pendek. Hanya saja solusi ini lemah karena belum mengurai problem mendasar klithih. Berbagai kegiatan itu hanya akan mengalihkan remaja saja sehingga berpeluang beraksi lagi saat jenuh dengan kegiatan yang dilakukan. Oleh karena itu sangat penting di sini untuk mengupayakan solusi mendasar yaitu merubah pola pikir dan pola sikap remaja menjadi pola pikir dan pola sikap Islam.  

Butuh Penguatan Beragama

Berkaca pada bagaimana cara Rasulullah mendidik dan membina para sahabat, Rasulullah menjadkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah menjadi pondasi pembentukan kepribadian mereka. Rasulullah mengajarkan konsep keimanan pada sang pencipta dengan mengajak mereka memikirkan tentang konsep penciptaan langit dan bumi. Rasulullah juga membiasakan para sahabat dengan ibadah harian seperti sholat, puasa, tilawah Qur’an, dzikir dan lain-lain sehingga jiwa dan hati mereka terikat pada Allah. Tak heran jika para sahabat tak terkecuali generasi muda tumbuh menjadi pribadi bermisi ilahi.

Hasrat dan daya juang generasi muda yang besar tersalurkan dengan benar sehingga melahirkan karya terbaik di masanya. Sebutlah Usamah bin Zaid pada usia 18 tahun memimpin pasukan kaum muslimin yang berhasil dengan gemilang mengalahkan tentara Romawi. Atab bin Usaid juga diangkat menjadi gubernur Makkah pada usia yang sama yaitu 18 tahun.Ada pula Zaid bin Tsabit, seorang pemuda Anshar yang menguasai berbagai bahasa sehingga dipercaya menjadi penulis wahyu oleh Rasulullah.   

Pola pendidikan ala Rasulullah ini masih sangat relevan untuk diterapkan saat ini. Hanya saja butuh usaha yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terlibat yaitu orang tua, guru, sekolah, masyarakat maupun pemerintah. Orang tua harus menanamkan pola pendidikan tersebut secara konsisten di rumah. Jadikan pembentukan tauhid anak sebagai pelajaran utama yang diberikan kepada anak.

Sekolah dengan guru sebagai subyek utama juga memegang kunci keberhasilan di dalam proses pembinaan ini. Guru harus mengetahui problem anak didik dan senantiasa memupuk nilai keimanan dan ketakwaan dalam diri pelajar. Semua guru harus punya tanggung jawab bersama untuk mengatasi ini. Jangan ada pemahaman hal tersebut hanyalah kewajiban dari guru agama dan guru budi pekerti saja. Pemerintah wajib membuat kurikulum yang mengakomodasi masalah ini sebagai materi wajib.

Aparat kepolisian juga harus bergerak cepat untuk mengungkap aksi klithih ini sehingga geng-geng klithih bisa tercerabut hingga ke akar-akarnya. Proses hukum harus ditegakkan secara tegas sehingga memberi efek jera dan membuat yang lain tidak berani melakukan kejahatan yang sama. Komunikasi dan kampanye publik untuk menciptakan kepedulian bersama harus dilakukan secara terus menerus. Pemerintah bisa memanfaatkan media sosial dengan seoptimal mungkin untuk kampanye ini.

Tentu saja pada saat yang sama solusi yang lain juga harus berjalan karena masalah ini tidak berdiri sendiri. Tak sedikit pelaku yang berasal dari keluarga kurang mampu sehingga sulit mendapatkan pendidikan yang layak maupun kecukupan materi. Ada pula pelaku yang berasal dari keluarga kaya tapi kondisi keluarga tidak harmonis. Artinya secara sistemik, banyak bidang yang turut berperan melanggengkan aksi klithih remaja, tidak semata masalah buruknya karakter remaja.

Oleh karena itu, perbaikan bidang ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain harus dilakukan. Kesenjangan ekonomi yang semakin menganga antara golongan kaya dan miskin harus diatasi dengan sistem ekonomi Islam yang berkeadilan bagi semua pihak. Kehancuran keluarga harus dibenahi dengan misi bangunan keluarga samara. Di sinilah dibutuhkan kesadaran bersama semua pihak untuk menguatkan nilai keagamaan.*


latestnews

View Full Version