View Full Version
Ahad, 24 Jul 2022

Wujudkan Perlindungan Anak, Agar ‘Hari Anak Nasional' Tak Sekadar Seremonial

 

Oleh:

Rika Arlianti DM

 

SABTU, 23 Juli kemarin, Indonesia kembali memperingati Hari Anak Nasional (HAN) dengan tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Apakah tema HAN sudah sesuai dengan kondisi anak di negeri tercinta ini? Atau HAN sebatas seremonial belaka?

Faktanya, ada banyak kasus di mana anak menjadi korban kekerasan seksual, perundungan, putus sekolah, kecanduan gadget, pergaulan bebas, hingga penyalahgunaan narkoba. Sangat kontras dengan tema HAN tersebut. Potret anak Indonesia saat ini krisis moral, sosial, dan agama sebab telah dikuasai sistem kapitalisme.

 

Kekerasan dalam Keluarga

Keluarga memiliki peran dan fungsi yang cukup besar terhadap masa depan dan perkembangan anak, baik fisik, psikis, sosial, maupun spiritual. Anak juga wajib memperoleh hak-haknya untuk disayangi dan dilindungi dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan fisik. Namun kenyataannya, sering dijumpai dalam masyarakat, anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dalam keluarga, justru mendapatkan perilaku kekerasan.

Penelitian dari (Pumama, 2013) kekerasan terhadap anak menjadi salah satu persoalan yang memprihatinkan bagi bangsa ini. Keluarga seharusnya menjadi tempat bernaung paling aman bagi anak-anak. Ironisnya, pelaku kekerasan tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan anak, bahkan tak jarang adalah orang tua sendiri.

 

Kekerasan Seksual

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sendiri melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak sepanjang Januari 2022, terdapat 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Jumlah tersebut setara 9,13% total anak korban kekerasan seksual pada 2021 lalu yang mencapai 8.730 kasus (Simfoni PPA).

Tidakkah hal ini menjadi sesuatu yang miris dan mengiris hati? Bahkan sadisnya dalam beberapa kasus, justru predator seksual anak tersebut dilakukan oleh orang terdekatnya.

 

Perundungan

Salah satu kasus yang hangat dibahas saat ini ialah kasus perundungan anak 11 tahun di Tasikmalaya. Itu hanya satu dari sekian banyak kasus perundungan, belum lagi kasus yang tidak tersentuh media. Fenomena perundungan menjadi cerminan buruknya lingkungan sosial saat ini.

Gadget adalah salah satu penyebabnya, ditambah dengan kurangnya pengawasan dan bimbingan orang tua. Sehingga karakter anak saat ini banyak terbentuk dari tontotan. Anak-anak dengan bebas dan mudahnya mengakses apa saja melalui gadget sehingga anak-anak juga mudah terpapar konten pornografi.

Kecanduan gadget dan game online. Akibatnya, anak terbiasa menyaksikan kekerasan sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah. Lemahnya spiritual, akhirnya tidak ada filtrasi sebelum anak bertindak lebih jauh. Mudah terprovokasi, sulit mengendalikan diri, hobi bermalas-malasan, seperti tidak ada mimpi atau tujuan hidup yang harus diperjuangkan.

Apakah seperti ini potret generasi penerus bangsa yang kita idamkan?

 

Peran Orang Tua dan Negara

Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak untuk mendapatkan pembinaan mental dan pembentukan kepribadian. Fungsi dan peran keluarga memiliki andil yang sangat signifikan dalam perkembangan dan masa depan anak, sehingga mampu membentuk generasi berkualitas yang tidak krisis moral.

Sejatinya, saat ini bimbingan dan pengasuhan orang tua pada anak perlahan terkikis sebab kesibukan di dunia kerja dan lainnya. Padahal bagaimana pun, anak adalah titipan yang harus dipertanggungjawabkan.

Selain keluarga, negara juga memiliki peran besar. Entah dari segi pelayanan, penyediaan fasilitas, dan kebijakan-kebijakan yang tidak berat sebelah. Negara harus ikut bertanggung jawab dengan kondisi anak-anak saat ini. Lemahnya ekonomi memaksa sebagian anak putus sekolah dan mengorbankan usia bermain dengan bekerja banting tulang demi membantu perekonomian keluarga.

Hukum yang mengatur tindakan kriminal oleh anak di bawah umur kerap menjadi celah bagi oknum untuk terus melakukan penyimpangan, karena merasa aman meski telah merugikan orang lain.

 

Pandangan Islam

Islam memandang anak sebagai karunia atau kado termahal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi setiap pasangan yang telah menikah. Kado termahal ini sebagai amanah yang harus dijaga dan dilindungi oleh orang tua khususnya dan seluruh masyarakat umumnya, karena anak adalah aset orang tua dan aset bangsa.

Islam telah memberikan perhatian yang besar terhadap perlindungan anak. Seorang anak akan menjadi nikmat, manakala orang tua berhasil mendidik anaknya menjadi pribadi yang bermoral dan tidak fakir dari segi spiritual. Namun jika orang tua gagal mendidik anaknya, maka nikmat itu akan menjadi malapetaka.

Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala pernah menyebutkan anak sebagai qurrata a’yun (penyejuk mata atau permata hati).

وَا لَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَـنَا مِنْ اَزْوَا جِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّا جْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَا مًا

Terjemahnya: Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Furqan: 74)

Dikatakan demikian karena ketika mata memandang seorang anak akan timbul rasa bahagia. Karena itu, anak merupakan harta yang tidak ternilai harganya. Sehingga ada ungkapan yang mengatakan, “Anakku permataku".

Di samping itu, Allah juga mengingatkan bahwa anak itu sebagai ujian atau cobaan.

وَا عْلَمُوْۤا اَنَّمَاۤ اَمْوَا لُكُمْ وَاَ وْلَا دُكُمْ فِتْنَةٌ

Terjemahnya: "Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan." (QS. Al-Anfal: 28)

Dengan nikmat anak, orang tua di uji oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, apakah akan membawa anaknya menuju jalan neraka atau surga. Bila orang tua berhasil mendidik dan membina anaknya, berarti lulus ujian.

Sebaliknya, jika gara-gara terlalu mencintai anak atau lalai mengasuh anak, sehingga anak tidak lagi menaati orang tua, aturan agama, dan negaranya, seperti terlibat kejahatan dan sulit dihentikan, maka orang tuanya gagal dalam ujian. Kegagalan itu harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak. Bila hal itu terjadi, anak telah menjadi sumber malapetaka bagi keluarga, bangsa, dan negara.

Oleh karenanya, orang tua harus berilmu sehingga bisa memahamkan dan menanamkan sosial islami pada anak. Sementara itu, negara berkewajiban untuk mengadopsi berbagai kebijakan non kapitalisme dalam rangka mewujudkan kemaslahatan masyarakat.

Negara berperan penting dalam mengawal perekenomian, pergaulan, pendidikan, jaminan keamanan, perlindungan terhadap masyarakat umumnya, dan kelompok keluarga khususnya, agar anak bisa memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana mestinya. Karena anak adalah generasi penerus bangsa, aset mahal yang harus dijaga, demi mewujudkan "Anak Terlindungi, Indonesia Maju", agar HAN tak sekadar seremonial. Wallahu a'lam.*

 


latestnews

View Full Version