View Full Version
Selasa, 13 Dec 2022

Cerpen: Anak Haram

 

Oleh: Choirin Fitri

 

Bersungut-sungut seorang laki-laki berbadan gempal membanting pintu rumah. Matanya merah menyala. Tangannya mengepal dengan nafas yang saling memburu.

"Untuk apa kau bawa bayi itu? Bukankah bayi itu anak haram?" Suara laki-laki itu menggelegar.

"Bapak?" Fatim yang sedang mengayun-ayun bayi dalam gendongannya berjingkrak kaget. Ia tak menyangka bapaknya akan datang dengan muka berang ke rumahnya.

"Bapak, duduk dulu ya, Pak! Bapak pasti capek setelah perjalanan jauh. Fatim letakkan Almira ke kamar dulu. Dia baru tidur," Fatim mencoba menjinakkan rasa marah bapaknya. Sayangnya, belum sukses.

"Kembalikan bayi itu! Bapak tidak mau anak bapak mengasuh anak haram. Ingat, bapak tak mau punya cucu haram seperti dia." Pak No, panggilan yang disematkan orang sekampung pada laki-laki itu berang. Ia menunjuk-nunjuk bayi dalam gendongan Fatim.

Fatim tahu semua ini akan terjadi. Keputusannya dan suami untuk mengangkat anak dari panti asuhan anak-anak buangan, hasil zina tak mungkin mulus. Pasti ada yang tak setuju. Salah satunya bapaknya.

Bukan tanpa sebab Fatim dan suami memutuskan untuk memiliki anak angkat. Sepuluh tahun bukan waktu sebentar untuk mereka meraih mimpi menjadi orangtua. Nyatanya, niat mereka untuk melahirkan generasi terhalang rezeki. Belum ada rezeki anak untuk keduanya. Sehingga, mengangkat anak adalah pilihan tepat agar rasa keibuan dan kebapakan mereka terpenuhi.

Sebenarnya mereka telah berupaya mencari anak asuh dengan jalur yang sah secara pernikahan. Anak yatim atau anak yang ditinggal oleh orangtuanya yang sah. Namun, melihat fenomena banyaknya bayi yang dibuang karena hasil zina, hati mereka tergerak. Anak-anak ini butuh diselamatkan.

"Pak, tidak ada anak haram, Pak. Allah menciptakan setiap anak dalam kondisi fitrah, suci. Yang haram adalah perbuatan kedua orangtuanya." Fatim mencoba menjelaskan sembari mendekap bayi berumur satu pekan dalam gendongannya.

"Tapi, Bapak tidak mau tahu. Meski kamu belum punya anak dari rahimmu sendiri, bukan berarti kamu bisa mengangkat sembarang anak. Ingat, bibit, bebet, bobot itu harus kamu pilih. Bukan sekadar ambil seenaknya!" Pak No masih bersungut-sungut.

"Assalamualaikum..." Sebuah suara yang amat Fatim kenal datang, suaminya.

"Wa'alaikumussalam wa rohmatullah. Mas, bapak datang," sambut Fatim mencium tangan suaminya takzim.

"Bapak." Imron suami Fatim menyapa mertuanya. Sayangnya, tangannya yang terulur disambut acuh.

Pak No bersedekap dan membuang muka, "Bapak tak suka kalian mengasuh anak haram. Kembalikan, baru kalian boleh menganggap Bapak lagi!"

Fatim menghela nafas. Ia tahu bapaknya memang keras kepala. Tak mudah untuk menjinakkannya.

"Ayo, Pak kita ngopi dan makan sate kambing plus gule di warung sebelah. Imron yakin Bapak lapar. Bapak belum makan kan?" Imron berinsiatif menawari minuman dan makanan mertuanya. Menjelaskan dalam kondisi marah bukan pilihan bijak.

Suara cacing di perut Pak No tak bisa diingkari. Ia memilih membuntuti menantunya.

Imron memberikan kode kedipan mata pada istrinya. Fatim mengangguk sambil tersenyum. Ia yakin suaminya yang bijak bisa lebih baik dalam menyelesaikan ketidakpuasan bapaknya atas keputusan yang mereka ambil.

* * *

Fatim menatap lekat bayi mungil yang ada di hadapannya. Wajahnya imut. Baunya khas bayi.

Almira Khoirun Nisa'. Almira berarti putri mulia. Khoirun Nisa' berarti sebaik-baik wanita. Nama inilah yang ia sematkan pada putri angkatnya. Nama yang merupakan doa dan harapan agar ia kelak menjadi seorang muslimah mulia.

Fatim tahu, putrinya bukan dilahirkan dari rahim seorang wanita yang beradab. Buktinya menurut kesaksian penanggung jawab panti, bayi ini dibuang di kardus dalam kondisi ari-ari belum dipotong. Hanya berbalut handuk yang berlumuran darah.

Sudut mata Fatim berair. Ia merasakan betapa pedihnya menjadi bayi yang tak diinginkan seperti Almira. Bayi yang terbuang.

Ada hal salah kaprah yang berada di benak masyarakat. Banyak yang menganggap bayi hasil kumpul kebo atau zina anak haram. Padahal, mereka suci. Jika bayi-bayi ini bisa memilih, mereka takkan mau dilahirkan seperti itu. Sayangnya, hak pilih itu tak ada.

Sungguh, Maha Adilnya Allah yang telah menjadikan setiap yang terlahir di dunia ini fitrah, suci. Kedua orangtuanyalah yang menjadikan mereka berwarna. Kalau dalam hadis Rasulullah yang sering disampaikan dalam berbagai kesempatan, yang menjadikan Yahudi, Majusi, atau Nasrani adalah kedua orangtuanya.

Fatim dan suaminya memahami bahwa orangtua bukan hanya mereka yang melahirkan anak. Namun, orang-orang yang mendidik generasi ke depan. Orang yang mengasuh dan memberikan kasih sayang terbaik. Itulah pilihan yang akhirnya mereka pilih. Berharap dengan keduanya menjadi orangtua Almira, putri angkatnya ini akan menjadi muslimah mulia yang terhindar dari dosa zina.

"Almira sudah tidur, Bun?" Imron menyapa istrinya.

"Alhamdulillah, sudah dari tadi. Lihat, Yah! Dia tenang banget," ujar Fatim dengan senyum merekah.

Imron menghampiri. Mengecup kening istrinya lalu putri angkatnya.

"Bagaimana Bapak?"

"Beres. Kamu tenang saja ya! Insyaallah, tadi Mas sudah memberikan penjelasan panjang lebar. Semoga Allah melunakkan hati bapak!"

"Aamiin. Tapi, sekarang bapak mana?"

"Langsung pulang. Meski sudah Mas jelaskan dan bapak reda amarahnya, bukan berarti bapak langsung bisa menerima. Kamu kan yang bilang sendiri kalau bapak orangnya keras kepala."

"Iya, sih. Makasih ya, Yah!"

* * *

3 bulan berlalu.

"Kok kamu kelihatan pucat, Bun?" Imron melihat istrinya saat jam sarapan di meja makan.

"Iya, Yah, beberapa hari ini badan rasanya tidak enak. Makan juga tak lahap seperti biasanya," sahut Fatim sembari menyendokkan nasi, mengambilkan sayur, dan lauk untuk suaminya.

"Apa mungkin kecapekan merawat Almira dan berbagai kegiatan yang Bunda ikuti?"

"Alhamdulillah, mengasuh Almira tidak terlalu menguras tenaga kok, Yah. Kegiatan kajian yang Bunda ikuti juga sekarang tidak sepadat dulu. Ibu-ibu banyak yang kerja, jadi sesekali berkegiatan sore saja. Ayah juga yang ngantar," jawab Fatim sambil memegangi perutnya yang mulai terasa mual.

"Apa perlu Ayah antar untuk periksa?"

Fatim tidak menjawab. Ia bergegas berlari ke kamar mandi menumpahkan isi perutnya. Imron pun segera menyusulnya. Belum sempat membantu istrinya, tangis Almira memecah keheningan.

"Yah, tolong gendong Almira saja! Bunda tidak apa-apa," pinta Fatim bersandar di pintu.

"Beneran Bunda tidak apa-apa?" Fatim hanya mengangguk.

Almira kini telah berada di gendongan Imron. Fatim duduk di kursi dan menyiapkan segelas air hangat. Ia meneguknya pelan-pelan demi menghilangkan rasa pahit yang menjalar di mulut.

"Seingat Ayah, kamu belum haid, Bun. Apa kira-kira hamil?" Imron bertanya dengan tatapan berbinar.

"Ah, jangan bercanda! Mungkin hanya masuk angin. Beberapa malam ini aku sering terbangun karena Almira minta disusui."

"Kamu masih nyimpan tespack, Bun?" Fatim mengangguk ragu.

"Coba deh tes dulu! Siapa tahu bayi ini membawa berkah buat kita meraih rezeki anak," ucap Imran meyakinkan.

"Tapi.... Aku takut kecewa, Yah. Selama ini aku sering...."

"Hush," Imron menutup mulut istrinya dengan jari telunjuk, "Belajarlah berkhusnudzan pada Allah!"

Fatim ragu. Namun, sebenarnya ia pun ingin tahu ada apa sebenarnya dengan tubuhnya. Dengan gemetar ia ambil tespack di kotak obat dan berlalu ke kamar mandi.

Imron bergegas menunggu istrinya di depan kamar mandi setelah meletakkan Almira ke tempat tidurnya. Ia mengunggah doa pada Allah, agar Allah berkenan memberikan amanah anak itu kini.

Fatim menyerahkan sebungkus tespack. Ia tidak berani melihat hasilnya.

"Kamu lihat sendiri ya, Yah! Kalau satu garis, tandanya negatif. Kalau dua garis, po...."

"Positif. Iya, ini dua garis, Bun. Masyaallah, alhamdulillah." Imron bergegas menghadap kiblat. Ia bersujud syukur atas nikmat Allah yang telah lama dinantinya.

Fatim melihat dengan seksama. Air matanya tumpah saat Imron memeluk dan mengecup keningnya sembari mengucap syukur.

"Mungkin ini jawaban Allah atas pertanyaan Bunda semalam tentang Almira yang bukan mahram Ayah. Insyaallah jika adiknya sudah lahir, Bunda bisa menyusuinya juga dan menjadikan Almira mahram bagi Ayah dan anak-anak kita."

Fatim hanya mengangguk haru. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada suaminya. Nikmat yang Allah berikan tak ternilai harganya. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version