Oleh: Nur Ameena
Di kota-kota besar, having sex before married (zina) sudah menjadi hal yang lumrah. Maka tak heran jika ada orang-orang yang ketika ditanya, ‘Apakah having sex before married itu penting?’, mereka menjawab ‘Sangat penting’ dengan sangat yakin tanpa ragu apalagi malu. Alasannya pun seragam, agar tahu, apakah enak atau tidak.
Pernyataan yang sangat liberal untuk ukuran negara yang mayoritas masyarakatnya adalah muslim. Dengan alasan itu, sudah dapat dipastikan tidak mungkin melakukan perzinahannya itu hanya sekali. Pasti berkali-kali. Namanya juga ‘mencari yang pas’. Padahal dalam Islam, jangankan berzina, mendekati zinanya saja sudah dilarang.
Ada sebuah cerita, dari seorang wanita yang dulunya sering having sex before married sama mantannya. Bahkan sampai dia sudah punya suami pun, dia masih melakukan hubungan seksual dengan mantannya, dengan alasan bahwa dia tidak merasa puas atau nikmat ketika berhubungan seksual dengan suaminya. Dia mengaku bahwa dia menyayangi suaminya, tapi untuk urusan seks, dia lebih suka melakukannya dengan mantannya. Pertanyaannya, kenapa endingnya nggak nikah aja sama mantannya? Kenapa harus menikah dengan lelaki yang kini menjadi suaminya, padahal dia tidak merasa puas? Katanya having sex before married adalah misi dalam mencari pasangan yang ideal?
Jadi gini, pasangan yang ideal yang dimaksud di sini yang bagaimana? Yakin deh, seburuk-buruknya orang, pasti nggak mau menikah dan menghabiskan seumur hidupnya dengan laki-laki yang buruk. Apa yang bisa kamu harapkan dari seorang laki-laki yang menghabiskan hidupnya dengan berkeliaran mencari wanita yang bisa memuaskan nafsu seksualnya? Bisa saja ia bisa memuaskan wanita mana pun dengan kemampuan seksualnya, namun apakah pantas menjadi seorang suami? Belum tentu. Kalian pasti sering mendengar bahwa ada orang yang hanya untuk dipacari, tapi tidak untuk dinikahi? Ya, seperti itulah kenyataan orang-orang kita saat ini.
Salah satu dampak fatal dari terlalu banyak melakukan hubungan seksual sebelum menikah, ya, di atas. Tidak puas ketika berhubungan seksual dengan pasangan yang dinikahinya. Ya, bagaimana, orang udah ngerasain berbagai macam kesenangan seksual, tentu saja standar ekspektasinya terhadap kepuasan seksual berbeda dengan orang yang belum pernah sama sekali melakukan hubungan seksual.
Pahamilah bahwa pernikahan itu tidak hanya tentang melakukan hubungan seksual, tapi lebih daripada itu. Maka dari itu, menentukan kriteria pasangan hanya dari kepuasan seksual itu salah besar, sekaligus dosa besar.
Para peniliti di School of Family Life, Brigham Young University mewawancarai 2.035 pasangan suami-istri mengenai hubungan seks pertama mereka. Analisa dari hasil wawancara menunjukkan bahwa pasangan suami-istri yang berhubungan seksual setelah menikah memiliki hubungan yang jauh lebih sehat dibandingkan pasangan yang sudah melakukan hubungan seksual sebelum menikah.
Menurut para peneliti, hal tersebut disebabkan pasangan yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah terlalu mempertimbangkan fisik dalam hubungan, bukan soal kepercayaan, kesetiaan, dan komitmen. Karena sekali lagi, pernikahan itu bukan hanya soal berhungan seksual. Justru, berhubungan seksual itu hanya 10 persen saja dari kegiatan bersama dalam pernikahan. Terlalu meremehkan pernikahan jika visi-misinya hanya dilandaskan oleh hubungan seksual saja.
Hukum Allah tidak pernah salah. Banyak orang sekarang yang meremehkan proses ta’aruf sebelum menikah, dan lebih memilih seks bebas dengan alasan agar mendapatkan pasangan yang tepat dan tidak menyesal. Padahal logika semacam itu adalah kesalahan berpikir dan tak lain hanya untuk menormalisasi perzinahan yang dulunya adalah hal yang hina di mata masyarakat kita, kini menjadi hal yang normal dan sah-sah saja.
Tak heran, kerusakan moral generasi semakin marak bila calon orang tua berasal dari generasi seperti yang tersebut di atas. Nauzubillah. Semoga keluarga kita dijauhkan dari hal-hal demikian. Walllahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google