View Full Version
Sabtu, 01 Mar 2014

Terorisme Tidak Lahir dari Rahim Islam

MESIR (voa-islam.com) - Munculnya fenomena Islamphobia di beberapa kalangan sesungguhnya diakibatkan karena minimnya pengetahuan dan dangkalnya pemahaman mereka tentang Islam. Mereka tidak memahami bahwa Islam itu bukan agama yang statis (jumud) dan bahwa hidup berislam bukan berarti kembali ke model kehidupan abad pertengahan. Begitu pula menjadi Islam tidak berarti melepaskan jati diri atau memusnahkan tradisi-tradisi yang telah mapan.

Islam adalah agama peradaban dan budaya. Islam juga bukan agama tandingan bagi agama Yahudi dan Kristen, atau agama fasis, sebagaimana dituduhkan sebagian kalangan Barat. Sebaliknya, Islam adalah agama yang menolak kekerasan dan teror. Kita, umat Islam, diperintakan untuk menghormati sesama manusia meski berbeda agama dan warna kulit. Orang  yang beriman kepada agama toleran (Islam) ini laksana lebah. Ia mengonsumsi makanan yang baik, dan memproduksi sesuatu yang baik pula. Saat ia hinggap di setangkai bunga, ia tak merusaknya. Demikianlah, Allah memberikan suatu kebaikan kepada yang penuh kasih sayang, yang tak diberikan-Nya kepada penyebar kekerasan.

Terkait moderasi dan toleransi Islam ini, sudah banyak sekali kesaksian adil dan jujur yang disampaikan oleh para tokoh Barat, meskipun mereka bukan Muslim dan belum masuk Islam. Misalnya apa yang disampaikan oleh Pangeran Inggris, Pangeran Charles bahwa Islam adalah agama yang mampu mengajari kita cara menciptakan perdamaian dan keharmonisan dalam kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang tidak memisahkan antara manusia dan alam, agama dan sains, atau pun akal dan materi. Hal serupa dikemukakan seorang orientalis Amerika: “Muhammad Saw. tidak datang untuk menghapus Taurat dan Injil, karena dua kitab suci ini diturunkan dari langit untuk memberikan petunjuk kepada manusia sebagaimana Al-Qur’an. Ajaran-ajaran Al-Qur’an membernarkan isi Taurat dan Injil, tapi ia bukan hasil saduran dari dua kitab suci tersebut. Muhammad Saw. menolak seluruh simbol dan mitos. Ia mengajak untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sebagaimana digambarkan di setiap surat Al-Qur’an”. Tokoh lain, Cheryl, Dekan Fakultas Hukum Universitas Wina, Austria, dalam sebuah Konferensi Hukum tahun 1927 menyatakan: “Sejarah kemanusiaan sungguh berbangga karena pernah memiliki manusia seperti Muhammad. Meskipun dia dikenal buta huruf, namun, empat belas abad yang lalu, dia telah menyebarkan sebuah syariat yang belum tentu kita—orang-orang Eropa— mampu menciptakan yang serupa dalam dua ribu tahun mendatang”.

Cendekiawan Jerman, Sigrid Hunke, menyatakan: “Muslim Arab tidak pernah memaksa penduduk bangsa yang ditaklukannya untuk masuk Islam. Dengan tanpa adanya paksaan apapun, banyak orang yang dengan kesadarannya sendiri memilih untuk memeluk Islam, seperti halnya bunga yang dengan sendirinya mencari limpahan cahaya matahari agar dapat hidup lebih segar. Karena itulah, banyak orang, bahkan yang tetap memilih memeluk agama semula mereka, akhirnya bersimpati kepada kaum muslim yang menaklukkan mereka”. “Tidak ada paksaan dalam agama”, demikianlah yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an.

Sudut pandang lain disebutkan oleh Gustave Le Bon. Dia menyatakan,”umat Islam adalah satu-satunya umat yang mampu mengkombinasikan antara kecintaan terhadap agama dan semangat toleransi terhadap para pemeluk agama-agama lain. Meskipun umat Islam pernah menghunus pedang dalam beberapa perang penaklukkan, namun mereka tetap memberikan kebebasan kepada orang-orang yang ditaklukkannya untuk tetap memeluk agama masing-masing”. Comte Henry de Castries, yang telah melakukan penelitian terhadap sejarah orang-orang Kristen di negara-negara Islam, mengemukakan kesimpulan menarik. Menurut hasil penelitiannya, ternyata umat Islam selalu memperlakukan orang-orang Kristen itu dengan baik. Kesimpulan ini sama sekali bukan karena pengaruh dari orang-orang non-Islam, tapi memang di dalam Islam tidak ada kompleks-kompleks keagamaan, atau para pendeta yang biasa mengikuti para tentara perang untuk memaksa bangsa yang ditaklukkan beriman kepada agama mereka.

Akhlak dan prilaku orang-orang Muslim telah membuat orang-orang non-Muslim merenung dan mengambil banyak pelajaran. Itulah yang membuat orang seperti Goethe menulis buku Etika Kaum Muslim. Dalam buku itu Goethe menggambarkan toleransi kaum Muslim dengan menyatakan,”Demi sebuah kebenaran saya, harus katakan: Toleransi kaum Muslim itu bukan karena mereka lemah, tapi sikap toleran itu muncul dari kebanggaan mereka terhadap Islam dan keimanan mereka terhadap ajaran-ajarannya.”

Islam datang dengan seruan “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”, di saat fanatisme agama sedang merajalela di kalangan masyarakat Arab. Seruan itu merupakan sesuatu yang baru dan mengagetkan bagi masyarakat yang  sebelumnya tidak mengenal prinsip kebebasan beragama. Demikian dinyatakan Linn Paul. Dalam buku Dakwah Islam, Thomas Arnold juga menegaskan: “Sejak abad pertama Hijriah, kaum Muslim Arab memperlakukan kaum Kristen dengan toleransi yang tinggi, dan hal itu berlangsung terus pada abad-abad berikutnya. Kita dapat memastikan bahwa suku-suku Kristen yang akhirnya masuk Islam itu adalah murni didorong kehendak dan pilihan mereka sendiri.  Selain itu, keberadaan kaum orang-orang Kristen di tanah Arab hingga saat ini adalah bukti nyata atas toleransi Umat Islam tersebut”.

Bernard Saw mengatakan: “Saya telah meneliti sejarah hidup Muhammad. Ternyata dia sama sekali tidak memusuhi kaum Kristen, bahkan dapat kita katakan dia adalah penyelamat kemanusiaan. Saya yakin, jika orang berakhlak mulia seperti Muhammad ini yang memimpin dunia, maka akan tercipta kebahagiaan dan kedamaian”. Hal senada juga dikemukakan pakar Inggris dan peneliti agama-agama, Karen Armstrong. Dia menyatakan: “Pandangan yang menyatakan bahwa esensi Islam itu adalah kekerasan dan fanatisme—sebagaimana dikemukakan sebagian orang— adalah pandangan keliru. Sebaliknya, Islam adalah agama yang mendunia, dan tidak mendorong permusuhan, baik terhadap dunia Timur maupun Barat. Sebagai orang Barat, kita perlu membuang jauh-jauh sikap  dendam  lama dalam diri kita. Hal itu bisa kita mulai dari pengenalan terhadap pribadi seperti Muhammad. Dia adalah seorang yang baik hati. Dia telah berhasil menyebarkan agama dan membangun warisan peradaban yang bernama Islam, sebuah nama yang menunjukkan pada kedamaian dan harmoni”.

Thomas Carlyle menguatkan dalam pernyataannya: “Tidak sebagaimana dituduhkan beberapa kalangan di Barat, penyebaran Islam tidak dilakukan dengan menghunus pedang dan peperangan. Tuduhan bahwa Muhammad menggunakan kekerasan dan perang untuk mengajak orang lain mengikuti ajarannya adalah tuduhan yang sembrono dan tidak dapat dimengerti!! Tidak masuk akal jika ada orang terkenal menempuh cara kekerasan dengan menghunus pedang dan membunuh orang agar mendapatkan pengikut!”

Sejarah telah membuktikan bahwa agama tidak disebarkan dengan cara kekerasan. Demikian juga dengan Islam. Ia tidak disebarkan dengan cara menghunus pedang, melainkan murni dengan jalan dakwah. Dakwah itulah yang membuat bangsa-bangsa penakluk bangsa Arab sepeti Turki dan Mongol akhirnya memeluk Islam. Al-Qur’an tersebar hingga India, sebuah bangsa yang hanya menjadi persinggahan saja bagi orang-orang Arab. Demikian pula Islam tersebar di Cina, sebuah bangsa yang jengkal tanahnya sama sekali tidak pernah diduduki bangsa Arab. (Gustav Le Bon). Dr. Nabel Lucas Babawi, seorang penganut Kristen Koptik di Mesir, membantah tuduhan bahwa Islam—agama yang dianut saudara-saudara sebangsanya di Mesir— adalah sumber terorisme. Untuk memperkuat hal itu dia meneliti dan kemudian menulis dua buah buku yang penting dibaca, baik oleh orang Muslim maupun Kristen. Buku pertama berjudul Penyebaran Islam dengan Pedang: Antara Kebenaran dan Kebohongan. Sedangkan buku kedua berjudul Terorisme Bukan dari Islam. Terorisme adalah fenomena global yang tak ada kaitannya dengan Islam atau agama-agama lain.

Islam adalah agama pemikiran dan peradaban yang tinggi. Ia tidak memusuhi ilmu pengetahuan. Masyarakat Muslim tidak pernah mengalami kebuntuan akal, kebekuan pemikiran, kekeringan spiritual atau memusuhi ilmuwan sebagaimana pernah dialami masyarakat Eropa. Sejarah mencatat, terdapat sekitar 32 ribu ilmuwan yang dibakar hidup-hidup di Eropa! Hal seperti itu tak pernah terjadi dalam sejarah Islam. Islam tidak pernah menghambat kebebasan berpikir atau bertindak keji terhadap para ilmuwan. Bahkan pada saat Eropa berada pada zaman kegelapan itu, Islam menjadi satu-satunya kutub ilmu pengetahuan. Belum pernah terjadi dalam sejarah, agama yang menyatu dengan kekuasaan dapat memberikan kebebasan kepada para pemeluk agama lain, sebagaimana yang diberikan Islam. (Sejarahwan, Cidyo).

Islam menempatkan agama dan sains seperti saudara kembar. Mengembangkan ilmu pengetahuan, sejak awal, merupakan bagian dari petunjuk ajaran agama. Prinsip inilah yang berhasil menjadikan Islam sebagai mercusuar ilmu pengetahuan yang menakjubkan, yang kemudian banyak menginspirasi  Barat sebelum mereka mencapai kemajuan seperti sekarang. (Maurice Bucaille)

Nabi Muhammad Saw. juga mengajak umatnya untuk berusaha keras dalam mencari ilmu pengetahuan, sehingga mendorong bangsa Arab saat itu berbondong-bondong ke sekolah-sekolah untuk belajar dan mengajar. Hal itu terjadi saat orang-orang Barat masih terbenam dalam buta huruf. Roger Bacon, Galileo, dan Da Vinci, mereka bukanlah pencetus penelitian ilmiah. Para pionir ilmu pengetahuan sesungguhnya berasal dari bangsa Arab yang telah lebih dulu menggunakan akal mereka dalam melakukan serangkaian penelitian ilmiah dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Umat Islam telah menyumbangkan hadiah paling berharga bagi kemanusiaan, yaitu metode penelitian ilmiah yang benar, sehingga Barat dapat memanfaatkannya untuk mengungkapkan rahasia-rahasia alam sebagaimana sekarang ini. Semua rumah sakit dan pusat-pusat kajian ilmiah sekarang ini sesungguhnya hanyalah monumen dan prasasti dari kecanggihan para ilmuwan Arab-Islam. (Sigrid Hunke)

Al-Azhar tidak mengenal terorisme, karena terorisme tidak berasal dari agama dan juga tidak lahir dari rahim Islam. Setiap gerakan atau kelompok bersenjata yang melakukan atau mendukung teror atas nama agama sesungguhnya melanggar prinsip-prinsip ajaran Islam. Semua tindakan yang menyakiti atau mengancam keamanan jiwa, harta, kehormatan, dan kebebasan beragama adalah tindakan teror dan ekstrim, baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok. Tindakan seperti itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam. Islam yang moderat menentang ekstrimisme dan terorisme dalam berbagai bentuknya.

Umat Islam saat ini sangat membutuhkan metode dan sikap moderat untuk menyelamatkan mereka dari berbagai pandangan yang ekstrim dan berlebihan terutama dalam bidang hukum. Sikap ekstrim dan kaku dalam menetapkan hukum ini telah menimbulkan kekacauan dalam pemikiran dan ketentuan-ketentuan hukum. Sekali lagi perlu ditegaskan, umat Islam saat ini membutuhkan metode Al-Azhar yang moderat, metode yang akan menjadi obor penerang, untuk menunjukkan manusia ke jalan yang lurus sesuai dengan mazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah. Metode dan sikap moderat Al-Azhar ini juga penting dalam rangka membela Islam melalui sikap-sikap yang moderat dan independen serta jauh dari kesan keberagamaan yang menakutkan. Mengapa Al-Azhar? Tentu saja karena posisi Al-Azhar sebagai benteng penjaga moderasi Islam. ***

*Dr. Sayyid Bakri Ahmad Abdul Lathif, Guru Besar Universitas Al-Azhar dan Anggota Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional, Cairo Mesir.

Sumber: www.waag-azhar.or.id/islamianews


latestnews

View Full Version