View Full Version
Kamis, 21 Nov 2019

Rindu untuk Gaza

 

 

 

 

 

Oleh: Ummu Aisy

 

Malam gelap tanpa penerang menghiasi hari-hari Gaza. Terkadang cahaya temaram semburat memberikan  seutas harapan. Esok sang mentari pasti akan datang. Itulah impian warga Gaza puluhan tahun lamanya. Mereka akan menghirup udara segar tanpa aroma kimia. Hari itu pasti tiba, bagaikan malam yang tenggelam di balik singgasana kemilau sang surya.

Namun, kapankah hari itu tiba? Hingga kini tak satu pun ada tanda-tanda. Islam masih kelam. Darah masih berceceran. Mayat masit bergelimpangan. Puing-puing bangunan berantakan. Tak ada tawa bahagia, tak ada yang yakin besok tetap bisa membuka mata. Hidup hanya sebatas bisa bertahan, tak berani terlalu tinggi berharap. Kemerdekaan yang diperjuangkan tak kunjung didapatkan. Sampai kapan semua ini akan terjadi?

Lagi dan lagi, hati ini kembali teriris belati. Rakyat Gaza kembali menjerit. Peperangan antara Negeri Bintang David dengan Gaza masih terus berlanjut. Diberitakan oleh liputan6.com Israel mengirimkan rudal-rudalnya pada 13 November 2019, setidaknya 32 orang tewas di Gaza, sepertiganya dari golongan sipil.

Sudah berkali-kali badan perdamaian dunia memberikan saran. Genjatan senjata, berdamai, dan hidup berdampingan antar bangsa. Tapi ini semua solusi sia-sia. Mereka hanya menganggap masalah Gaza sekadar bencana kemanusiaan. Padahal, harusnya lebih dari itu. Ini adalah masalah kemuliaan agama. Masalah penjajahan akan bangsa Islam. Masalah merebut rumah umat Islam. Masalah merendahkan kehormatan umat Islam. Bukan sekadar kemanusiaan.

Tahukah kita bahwa Palestina adalah tanah umat Islam? Tanah yang dibebaskan oleh Sahabat Umar Bin Khotob tanpa pertumpahan darah. Meskipun Palestina sempat direbut kembali oleh orang Romawi, Salahudin Al Ayyubi kembali merebutnya. Dengan begitu status Palestina adalah tanah kharajiyah. Dan akan menjadi tanah kaum muslim hingga akhir zaman.

Oleh karena itu, bangsa Israel sebenarnya tak memiliki andil dalam tanah Palestina. Kedatangan mereka hanya sebagai tamu. Namun, mereka justru menusuk dengan belati. Dengan bantuan dunia merebut tanah yang diberkati. Tanpa rasa bersalah, kasihan, simpati ataupun empati.

Sebagai saudara semuslim, saya merasa malu. Di sini kita enak makan, tenang pikiran, bahkan tidur pun nyenyak. Anak-anak kita bermain dengan beragam mainan. Gonta-ganti baju semaunya. Sempatkah kita berpikir tentang mereka? Pernahkah kita ikut merasakan kehilangan anak, suami, istri atau orang tua dalam sekejap mata? Banyak yang bersimpati, tapi jarang yang berempati bahkan beraksi.

Detik ini berbagai bantuan membanjiri Gaza. Mulai dari makanan, obat-obatan, pakaian dan barang lainnya. Akankah semua itu dapat membebaskan warga Gaza dari penderitaan? Bantuan kita memang meringankan mereka. Tapi bantuan itu belum bisa menjamin mereka merdeka. Hanya bisa untuk bertahan hidup saja.

Gazaku sayang, Gazaku malang. Berapa banyak bangsa yang menyerukan kebebasanmu? Adakah yang bersedia mengirimkan pasukannya untuk membebaskanmu? Semuanya omong kosong! Mereka hanya berani berkelakar mengecam. Tak berani turun tangan. Bahkan sebagian dari mereka justru menjadi mitra Israel. Termasuk bangsaku sendiri, masih berhubungan baik dengannya. Aku malu...

Teruntuk saudaraku di sana. Kami hanyalah seonggok daging, yang sama dengan kalian. Hanya kami diberi kesempatan menghirup manisnya dunia. Sedang kalian langsung menghirup bau Surga. Hidup kalian adalah berjuang dengan Islam. Jika kalian menang, maka Surga didapat. Namun, jika kalian gugur predikat syahid pun didapat. Bagaimana  dengan kami? Hidup dalam gelamor dunia, jika kami lupa jangankan Surga, baunya saja tak didapat. Jika mati, kami rugi karena keegoisan kami yang tak memperjuangkan nasib tanah kalian.

Wahai umat muslim dunia! Sampai kapan kita diam? Sampai kapan kita hanya mengecam? Bukankah kita punya peralatan perang yang lengkap? Senjata yang mutakhir? Bahkan kekuatan militer kita tak ada tanding. Apalagi jika semua bangsa Islam bersatu. Bersama merebut kembali Palestina. Bangsa penjajah pasti lewat.

Mengalahkan mereka diperlukan kekuatan yang besar, yang dimiliki oleh pemimpin yang besar. Seperti Muhammad Al Fatih, Salahuddin Al Ayyubi, atau Umar bin Khatab. Mereka pejuang Islam tanpa tandingan. Alangkah beruntungnya bangsa ini, jika punya pemimpin seperti mereka yang berjuang membebaskan kesewenang-wenangan. Hingga tak ada lagi penjajahan. Dan Palestina kembali ke tangan kaum muslim tercinta. Wallahu a'lam bishowab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version