Sahabat VOA-Islam...
Banyak kalangan yang masih meragukan ketangguhan ekonomi Islam. Bahkan mungkin ada yang masih belum percaya jika Islam mempunyai aturan dalam masalah Ekonomi, termasuk secara makro. Dalam masalah ekonomi, yang dikenal jika bukan Sosialisme, berarti Kapitalisme.
Jikapun ada yang mengenal ekonomi Islam, mungkin yang terlintas juga hanya sekeder lembaga keuangan. Itupun kadang, banyak yang masih menganggap sama saja dengan lembaga keuangan konvensional yang ada.
Padahal tidak demikian. Sebagai agama sempurna, Islam juga melingkupi pengaturan dalam masalah ekonomi, dan seluruh bidang yang mengatur urusan manusia.
Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan anggapan masyarakat yang kurang tepat tentang ekonomi Islam? Jawabannya adalah, sesungguhnya dalam kondisi perekonomian saat ini, khususnya di Indonesia, maka, merupakan momentum tepat untuk kembali dan terus mengingatkan seluruh elemen masyarakat tentang solusi Islam dalam masalah ekonomi, yakni dengan ekonomi Islam.
Indonesia saat ini berada dalam cengkeraman neoliberalisme dan neoimperialisme, yang menjadi penyebab terpuruknya perekonomian. Neoliberialisme dengan gagasan dasar agar negara tidak mempunyai peran dalam mengatur masyarakat. Ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, negara hanyalah regulator, dan kedepannya mengarah kepada corporate state. Karena pada ujungnya pemenangnya adalah para pengusaha dengan adanya regulasi dari negara. Regulasi tersebut berupa undang-undang liberal yang tidak pro rakyat. Inilah kombinasi antara pengusaha dengan para politikus, dan kadang dibantu oleh pihak asing.
Terbukti dengan adanya catatan pengamat dari Universitas Airlangga Surabaya Bambang Budiono MS M.Sosio yang mengatakan 72 undang-undang di Indonesia diintervensi asing. Contohnya World Bank pada UU BOS, UU PNPM; IMF pada UU BUMN (No 19/2003), UU PMA (No 25/2007) dan USAID pada UU Migas (No 22/2001).
Kemudian neoimperialisme, yang berbeda dengan dulu, yaitu penjahan fisik, serta rakyat sadar secara langsung jika dijajah. Maka neoimperialisme saat ini sesungguhnya lebih berbahaya, karena banyak masyarakat yang belum sadar jika dijajah. Substansinya juga sama, jika dulu mengambil rempah-rempah (penguasaan sumber ekonomi/gold), menancapkan kekuasaaan (glory), penyebaran ajaran tertentu (gospel). Sedangkan sekarang juga terjadi eksploitasi kekayaan alam, menancapkan demokrasi, liberalisme, kapitalisme dan lainnya yang nyatanya menyesatkan dan menyengsarakan rakyat.
Dampaknya bisa terlihat, rupiah yang melemah, defisit luar biasa dalam neraca transaksi berjalan hingga USD 27 Triliun, kekayaan alam dirampok, utang menumpuk, daya beli rendah, PHK dan lain-lain. Ditambah dengan solusi hanya berkemungkinan menarik sebanyak-banyak investor, atau utang luar negeri. Wajar jika ada kemungkinan pajak akan kian bertambah, seiring dengan kondisi ekonomi yang kian menurun.
Maka, alih-alih pemerintah menawarkan kebijakan sebagai stimulus ekonomi guna perbaikan ekonomi, justru hasilnya akan sama saja, dan bahkan kian parah, jika neoliberalisasi dan neoimperialisasi tetap bercokol di negeri ini.
Maka sudah barang tentu, jika ekononi Islam sesungguhnya bukanlah hanya opsi, tapi solusi satu-satunya untuk menyelesaikan masalah ekonomi. Karena secara normatif Allah ta’ala telah menjaminnya (QS. Al-A’raaf: 96). Secara historis ekonomi Islam diterapkan berabab-abad semenjak Nabi SAW hingga runtuhnya Khilafah.
Secara faktual-konseptual ekonomi Islam sesuai dengan fitrah manusia, tidak sepenuhnya dibebaskan seperti kapitalisme, juga tidak sepenuhnya dikuasai negara seperti Sosialisme. Namun, ekonomi Islam mengakomodasi setiap kegiatan ekonomi individu, masyakakat dan negara. Dengan diterapkannya ekonomi Islam, maka pra-syaratnya adalah diterapkannya sistem Islam itu sendiri, dalam naungan otoritas politikberupa Negara Khilafah. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Lutfi Sarif Hidayat, SEI (Aktivis Hizbut Tahrir Yogyakarta)