View Full Version
Ahad, 15 Feb 2015

Hirarki Cinta

Oleh: Ilham Kadir, Peneliti Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonseia (MIUMI), Kandidat Doktor UIKA Bogor
 
 
Hari-hari di bulan Februari ini, rasanya tidak ada yang lebih menarik melebihi diskusi tentang cinta kasih, mengimbangi headline news perseteruan tak berkesudahan, KPK versus Polri atau buaya bermoncong putih melawan cicak berotak kancil.
 
Situasi ini terbangun karena adanya kepercayaan beberapa penghuni bumi, terutama Barat dan lebih khusus umat Kristiani bahwa setiap tanggal 14 Februari tiba, setiap itu pula perayaan cinta kasih bernama Valentine's Day dihelat.

Bagi dunia Barat-Kristen tentu itu bukan masalah, sebab mereka memiliki cara pandang tentang alam dan realitas yang berbeda dari Islam dengan pandangan alamnya sendiri (islamic worldview).

Secara sederhana Valentine's Day adalah 'hari kasih sayang', di mana pada hari tersebut segenap muda-mudi yang memiliki pasangan baik dengan ikatan pernikahan atau pun tidak, dianjurkan untuk mengepresikan cinta kasih mereka sebabas mungkin.
 
Dan tentu saja, mereka yang belum terikat dengan pernikahan pun turut serta melakukan hubungan laiknya suami istri alias zina. Antara pemanisnya adalah cokelat berhadiah Kondom. Dalam pandangan Barat-Kristen ini bukanlah masalah serius sebab, melakukan perbuatan zina sebelum nikah adalah lumrah adanya.

Namun Islam melihat bahwa fenomena Valentine adalah sebuah penistaan terhadap norma-norma agama, budaya dan cinta itu sendiri. Dalam agama, segala bentuk perbuatan yang mengarah pada zina ditutup rapat-rapat, karena itulah Al-Qur'an menggunakan istilah, Wala taqrabu az-zina, Dan jangan kamu mendekati zina (QS. Al-Isra' [17]: 32).
 
Mendekati saja tidak boleh, apalagi melakukan. Dan Valentine's Day, tidak hanya membuka lebar pintu perzinahan, malah menganjurkan para pegiatnya untuk melakukan perbuatan terkutuk itu.

 
Membincangkan Cinta

Pakar psikologi dan ilmu sosial hingga kini masih berpendapat bahwa cinta tidak bisa dibentuk dan dipelajari, sebab merujuk pada hasil penelitian, cinta adalah rasa yang tumbuh dalam diri manusia. Tidak ada suatu kekuatan pun yang dapat menghalanginya jika ia muncul, dan tidak pula ada yang bisa mencegahnya jika ia sirna. Sebuah rasa batin dari dimensi lain yang hanya Sang Mahacinta, Allah azza wa jalla yang tahu kesejatiannya.

Andai cinta dapat dibingkai dengan ilmu, maka, kurikulum cinta pun dapat disusun, lalu diajarkan. Dalam realitas hidup ini, betapa banyak orang masygul dengan cinta, terus menerus mencari kesejatian cinta, namun, sayang, sungguh sayang, hingga ajal merenggut, mereka belum jua menemukan kesejatian dan keindahan cinta. Di jagad pembukuan dan dunia tulis menulis, sungguh tak terhitung literatur cinta, namun, tidak ada satu pun karya yang mampu mengurai jawaban cinta sejati.

Mayoritas pecinta memaknai dengan tafsir romantisisme dan gejolak rasa batin yang bermuara pada insan yang dicintai. Tatkala kasihnya tak sampai karena putus atau dikhianati, dunia serasa gelap, sinar matahari seakan redup. Ketika pujaan hatinya pergi untuk selamanya, bumi serasa beguncang begitu hebat, ada gempa dahsyat di dada sang pecinta.

Ada pula pegiat cinta begitu utuh mendalami cintanya sehingga merasa menyatu dengan insan yang dicintainya, lebur bersama sang kekasih. Dalam keutuhan cinta seperti itu, sang pegiat cinta tak ubahnya laksana bulu-bulu beterbangan dihembus angin deburan ombak di tepi pantai. Dunia tampak indah, seindah cinta yang ia rasakan.

Hidup tanpa cinta akan terasa kering dan hampa tak bermakna. Karenanya, setiap orang normal berpacu dengan waktu untuk mewujudkan cinta dalam dirinya, dan atas sesamanya. Cinta menjelma segala sesuatu di alam wujud ini. Itulah yang dimaksud oleh Mahmud Abbas Aqad, sastrawan besar Mesir, sebagaimana dikutif Ibrahim Nafie dalam kitab cintanya, "Kalam Fil-Hubb wa Ash-Shabr" bahwa ada tiga perkara yang seorang tidak dapat memilihnya: kelahiran, cinta, dan kematian.

Begitulah wajah cinta yang kerap kita jumpai dalam altar kehidupan fana ini. Beragam tafsir cinta yang kita dapatkan sangat terbatas dan parsial, serta jauh dari esensi makna cinta yang sesungguhnya. Mereka menafsirkan cinta sebatas apa yang mereka jalani dan rasakan, mereka hanya melihat cinta dalam satu wajah, padahal semua wajah kehidupan berhiaskan cinta.

Karena itu pula hirarki cinta harus dimengerti, agar kita adil dalam meletakkan cinta pada tempatnya masing-masing. Dan, tentu saja tidak berlaku zalim dan biadab terhadap dan atas nama cinta, seperti merayakan hari kasih cinta dengan melanggar syariat dan norma-norma adat bangsa Indonesia.

Jika melihat wajah cinta dari seorang ibu, cinta melembaga dalam pengorbanan tanpa pamrih, kasih tiada putus, cinta nan tulus, dan bening lagi jernih sepanjang hayatnya. Coba liat cinta dari wajah para pelacur, cinta mewujud geliat ego, berlumur birahi, kasih yang berharap materi dan riak selubung kepentingan pragmatisme duniawi.

Ulama Besar Andalusia, Ibnu Hazm, menulis buku cinta, temanya, "Thauq Al-Hamamah fi Ilfah wal-Ullaf", katanya, Cinta, kiranya Allah senantiasa memuliakannya, mula-mula permainan, lama-lama sungguh-sungguh. Cinta memiliki makna yang dalam, indah, dan agung.
 
Tidak ada kata yang kuasa melukiskan keindahan dan keagungannya. Hakikat cinta tak dapat ditemukan selain dengan segenap kesungguhan pengamatan dan penjiwaan, cinta tak dimusuhi agama dan tak dilarang syariat-Nya, cinta adalah urusan hati, sementara hati urusan Tuhan.

Ibnul Qayyim dalam karya fonomenalnya tentang cinta, "Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul-Musytaqqin", menulis, Sebagian orang berkata, Cinta bagi ruh laksana  makanan bagi badan, jika engkau meninggalkannya, tentu akan membahayakan dirimu, dan jika engkau terlalu banyak menyantapnya, pasti akan membinasakan dirimu. Sepakat dengan Ibnu Abdil Barr dalam "Bahjatul Majalis", menulis, Cinta itu kepuasan yang diciptakan di dalam ruh.
 
Cinta dianggap sebagai sinar di hati dan pikiran, selagi tidak berlebih-lebihan. Jika berlebihan, maka ia berubah menjadi derita yang mematikan dan penyakit yang mengerikan. Pendapat tentang cinta tidak pernah habis dan pengobatan cinta semakin beragam. Seorang Asing berkata, Cinta adalah pendamping jiwa dan teman bicara akal, membuat perasaan berbunga-bunga dan mampu menguasai anggota badan.
 
Dengarkanlah apa yang diwasiatkan Gubernur Khurasan kepada anak-anaknya, "Bercintalah agar kalian merasakan keindahan dan jagalah kehormatan agar kalian terpandang!"

Daripada membincangkan cinta antarsesama maka, ada baiknya kita memuliakan diri dengan mengurai hirarki cinta yang teragung. Yaitu cinta tanpa batas kepada Sang Pemilik cinta, Allah SWT. Karena itulah, Ibnu Qayyen dalam kitabnya yang lain tentang cinta "Al-Jawab Al-Kafi Liman Sa'ala 'an Dawa' Asy-Syafi''" memaparkan bahwa tingkatan cinta yang paling mulia adalah wisata hati mencari yang dicintai.
 
Sifat kecintaan ini murni milik Allah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sahabat dalam sebuah Astar, Begitu lamanya kerinduan orang-orang berbudi baik ingin bertemu dengan-Mu, dan aku lebih rindu ingin bertemu dengan-Mu. Petikan ini, sesuai dengan makna yang diekspresikan oleh Nabi berdasarkan riwayat Bukhari [6508] dan Muslim [2686].
 
Siapa yang ingin bertemu dengan Allah, maka Allah juga ingin bertemu dengannya. Para ulama lalu menyingkronkan sabda Nabi dengn Firman Tuhan, Siapa yang berharap bertemu dengan Allah, maka sesungguhnya waktu yang dijanjikan Allah itu pasti tiba, (QS. Al-Ankabut [29]: 5).

Ibnul Qayyem melanjutkan uraiannya, Kehidupan yang paling baik secara mutlak adalah kehidupan orang-orang yang mencintai, yang selalu merindukan dan selalu meminta ridha. Itulah kehidupan yang hakiki, sebab, syarat untuk mendapatkan surga Allah adalah ridha, dan bagi pencinta karena Allah, tidak ada kehidupan yang lebih baik, lebih lezat, dan lebih membahagiakan dari kehidupan di bawah keridhahan-Nya.

Tentu saja, bentuk manifestasi cinta kepada Allah adalah menaati segala aturan-Nya yang terkandung dalam kitab wahyu, baik Al-Qur'an maupun Sunnah, dan di antara ketetapannya, melarang segenap kaum muslimin mengikuti segala bentuk perayaan agama lain, bertingkah laku dengan menyerupai mereka. Maka, ditinjau dari sisi teologis dan syariat, parayaan Valentine's Day sangat tidak layak diikuti oleh para pencinta Nabi Muhammad. Wallahu A'lam! [syahid/voa-islam.com]

latestnews

View Full Version