View Full Version
Sabtu, 24 Aug 2019

Benarkah Indonesia Bebas dari Penjajahan?

 

Oleh:

Aishaa Rahma 

Pegiat Sekolah Bunda Sholihah, Malang

 

SELEBRASI yang jatuh setiap 17 Agustus, selalu menjadi momen seluruh bangsa Indonesia untuk  merayakan hari kemerdekaannya. Selama 74 tahun, berbagai karnaval, parade, lomba dan aneka ragam aktivitas lainnya dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Berbagai Umbul-umbul dan bendera merah putih dikibarkan sebagai simbol kemerdekaan. Namun, menjadi pertanyaan mendasar, benarkah Indonesia sudah merdeka? Benarkah penjajahan di negeri ini sudah berakhir?

Diberitakan melalui detiknews.com. Terdapat beberapa kejutan yang muncul ketika Presiden RI menyampaikan pidato dalam sidang tahunan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-74 Indonesia. Kejutan pertama adalah saat Jokowi berganti busana dalam sidang tahunan di depan DPD dan DPR, Gedung Nusantara, Komplek Parlemen, Jumat (16/8/2019). Saat itu, Jokowi mengenakan baju adat khas Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sementara itu, dalam pidatonya, Jokowi mengawali pidatonya dengan menyapa kompetitornya dalam Pilpres 2019. Jokowi menyapa Sandiaga Uno yang hadir dalam acara tersebut.

Saat berpidato di forum sidang bersama dengan DPD-DPR, Jokowi menyinggung kebiasaan eksekutif dalam melakukan studi banding ke luar negeri. Jokowi secara tak terduga mengeluarkan telepon selulernya, sembari mengatakan segala informasi bisa didapat dari alat tersebut. "Untuk apa studi banding jauh-jauh sampai ke luar negeri padahal informasi yang kita butuhkan bisa diperoleh dari smartphone kita. Mau ke Amerika? Di sini komplet, ada semuanya. Mau ke Rusia? Di sini komplet, ada semuanya. Mau ke Jerman? Di sini ada semuanya," jelas Jokowi.

Jokowi menegaskan ucapannya tidak hanya ditujukan bagi eksekutif. Tapi juga bagi anggota legislatif. Jokowi juga mengingatkan lembaga pemerintah tidak antikritik. Tujuannya adalah untuk mencapai kebaikan bersama. Kemudian, Jokowi meminta ukuran kinerja penegak hukum dan HAM harus diubah. Termasuk hal pemberantasan korupsi. Jokowi mengatakan penegakan hukum yang keras didukung penegakan HAM yang tegas diapresiasi. Menurutnya dalam setiap penegakan hukum bisa dinilai berhasil berapa potensi kerugian negara yang diselamatkan.

Jokowi juga menyinggung mengenai pentingnya perlindungan data pribadi. Dia aturan terkait hal itu segera dibuat. Jokowi juga tak lupa meminta izin kepada anggota legislatif mengenai rencana pemindahan ibu kota. Dia menilai pemindahan ibu kota bisa meratakan ekonomi, Jokowi menambahkan, ibu kota negara bisa menjadi representasi kemajuan bangsa. Pemindahan ibu kota juga sebagai bentuk upaya pemerataan ekonomi.

Saat menutup pidato, Jokowi mengungkapkan peribahasa Melayu yang berbunyi 'biduk berlalu kiambang bertaut'. Dalam KBBI, peribahasa tersebut bermakna orang yang berkelahi atau bertengkar yang akhirnya berbaik dan berkumpul kembali (tentang orang ramai berkumpul). Jokowi ingin mengatakan perbedaan bukanlah penghalang. Dia mengibaratkannya seperti kiambang yang kembali bertaut, usai biduk pembelah berlalu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka diartikan sebagai bebas dari penghambaan atau penjajahan, berdiri sendiri dan tidak terikat atau tidak bergantung kepada pihak tertentu. Bila demikian, apakah bangsa Indonesia benar-benar merdeka?

Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat dilihat dari dua unsur penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni apakah dalam menentukan kebijakan dan peraturan perundang-undangan sudahkah benar-benar telah berdiri sendiri, tidak terikat dan bergantung pada pihak lain? Untuk mengetahuinya, hal ini dapat dilihat dari hukum yang menjadi terapan di negeri ini yang masih menggunakan warisan kompeni.

 

Sudahkah Merdeka?

Kemeriahan dalam merayakan hari jadi  ke 74 tahun kemerdekaan Indonesia, memang sudah menjadi tradisi di seluruh negeri. Berbicara kemerdekaan, erat korelasinya dengan keberhasilan negara dalam menyejahterahkan rakyatnya, termasuk menurunkan angka kemiskinan, menihilkan kriminalitas, juga mampu mengatasi berbagai problematika sosial di tengah masyarakat. Menghilangkan angka korupsi pejabat, dan hutang negara yang mampu tereduksi, termasuk kemampuan negara untuk berdikari tanpa didominasi oleh tekanan asing, terutama dalam pengelolahan sumber daya alam, juga menyangkut kebijakan-kebijakan publik yang pro terhadap kepentingan rakyat bukan kepentingan asing. Namun ironis, secara de facto, berbagai macam problematika tidak berkurang, justru kian bertambah di bumi Pertiwi ini. Mulai persoalan ekonomi yang menghimpit rakyat, pencabutan berbagai subsidi, ditambah lagi dengan berbagai kebijakan pemerintah yang tak memihak kepada rakyat kecil, seperti wacana pungutan pajak pada kertas bungkus, dan BPJS yang mencekik rakyat ekonomi kelas bawah.

Pada era pemerintah sekarang misalnya, tercatat BBM naik 12 kali  (news.detik.com/3/7/2018). Dimana jelas-jelas kenaikan BBM menjadikan rakyat makin terhimpit dan sulit memenuhi kebutuhan baik komoditas pangan, sandang maupun papan dampak dari naik kenaikan harga BBM.

Tak hanya itu, hutang Indonesia yang kian  menggunung menjadikan indikasi lemahnya stabilitas ekonomi Indonesia. Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia hingga Mei 2019 mencapai US$368,1 miliar atau sekitar Rp5.153 triliun (Kurs Jisdor akhir Mei Rp14.313 ribu per dolar AS). (cnnIndonesia.com 15/7/2019). Bahkan berbagai penjualan aset negara yang dilakukan oleh pemerintah sebagai solusi tambal sulam sistem yang kacau. Yang terbaru, pemindahan ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Jakarta ke salah satu lokasi di Kalimantan, membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, mencapai Rp 466 triliun. Salah satu komponen utama pendanaan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dan sebagai wacana, Jokowi hendak menjual aset negara di Thamrin cs. ( CNBC indonesia.com 20/8/2019) Padahal menjual aset negara mengutip pendapat Fadli Zon adalah salah satu bentuk penghianatan bangsa.

Dapat disaksikan bahwa sumber daya alam Indonesia yang begitu berlimpah ruah  nyatanya tak dikuasai oleh pribumi, namun dikuasai oleh asing. Dapat disaksikan salah satu penguasaan asing atas sumber daya alam Indonesia, contohnya penguasaan tambang emas oleh PT Freeport yang dinilai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebabkan kerugian bagi negara.  Berdasarkan laporan kinerja Kuartal I tahun 2019 yang dikeluarkan oleh Freeport-McMoran Inc (FCX)  produksi tembaga PTFI hanya menyentuh angka 145 juta pon, atau merosot sebesar 53,38 persen dari produksi kuartal I tahun lalu yang berada di angka 311 juta pon. (Kompas.com 29/4/2019)

Belum lagi menyentuh persoalan kemiskinan yang diberitakan menurun dengan presentasi 0,25% nyatanya belum bisa  diindikasikan sukses mengentaskan penduduk dari keterpurukan hidup. Mengutip dari ( liputan6.com, 15 Juli 2019). Ditambah problem degradasi moral, serta kondisi lingkungan serba permissif pada aspek sosial yang dihadapi Indonesia, yakni maraknya kasus aborsi, free sex, gaya hidup hedonis yang berkiblat kepada Barat, hingga pada akhirnya dari berbagai fakta problematika kompleks yang ada di Indonesia secara de facto, Indonesia belum bisa dikatakan merdeka. Jelas, Indonesia masih dijajah secara pemikiran dan kebijakan.

 

Merdeka yang Sebenarnya.

Negara merdeka adalah negara yang idealnya terbebas dari berbagai bentuk penjajahan fisik maupun non fisik dari berbagai aspek, sosial, politik, budaya, ekonomi, hukum dsb. Hal tersebut bertentangan dengan yang terjadi di negeri ini. Memang benar, saat ini bangsa Indonesia tidak lagi dijajah dalam bentuk fisik. Namun, sesungguhnya penjajahan itu masih berlangsung dalam bentuk yang berbeda, yakni penjajahan gaya baru (Neo-Imprealisme). Neo-Imprealisme merupakan bentuk penjajahan gaya baru yang ditempuh negara-negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain. Sangat berbeda dengan penjajahan gaya lampau yang masih menggunakan senjata atau militer, penjajahan gaya baru ini meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi, politik dan berbagai sektor kehidupan lainnya. Caranya, cukup mengintervensi kebijakan suatu negeri untuk menggapai tujuannya menguasai negeri tersebut.

Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan misalnya, tekanan dan intervensi asing sangat besar. Di tahun 2010, Melalui tempo.com (20/8/2010). Salah satu politisi PDIP, Eva Kusuma Sundari berdasarkan informasi dari Badan Intelijen Negara (BIN), selama 12 tahun reformasi ada 76 produk undang-undang sektor strategis seperti pendidikan, perbankan, energi, kesehatan dan politik yaitu UU Sumber Daya Air No.7 tahun 2004, UU Kelistrikan No.20 tahun 2002, UU Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003, UU Migas No.22 tahun 2001, UU BUMN No.19 tahun 2003, UU Penanaman Modal No.25 tahun 2007 serta UU Pemilu No.10 tahun 2008. Semua UU tersebut draft-nya disusun oleh pihak asing, yakni Bank Dunia, IMF dan USAID. Hampir semua produk undang-undang yang diback-up oleh pihak asing tersebut sangat kental bernuansa liberalisasi.

Eva juga mengungkapkan bahwa membuka pasar bebas, menghilangkan proteksi, free competition dan membuat standarisasi yang membebani petani dan rakyat kecil adalah syarat-syarat yang diajukan Bank Dunia, IMF dan USAID dalam proses legislasi. Semua persyaratan itu tidak lain adalah manifestasi dari resep-resep ekonomi yang termaktub dalam Washington Consensuss atau yang lebih popular dengan istilah neoliberalisme. Intinya, adalah penguasaan ekonomi nasional oleh Negara besar melalui Multi-national Corporation. Bahkan intervensi asing dalam proses legislasi juga terlihat dalam proses amandemen UUD 1945, yang kemudian melahirkan "UUD 2002". Lembaga-lembaga seperti USAID dan UNDP turut membiayai proses amandemen yang juga mengubah pasal 33 UUD 1945 (yang sebenarnya berwatak sosialis) menjadi ramah pada liberalisasi.

 Sejak itulah regulasi-regulasi sektor ekonomi yang bernuansa liberal makin massif disusun oleh Pemerintah dan Parlemen. Puluhan undang-undang yang disebut Eva Sundari sebagai pesanan asing hanyalah salah satu bukti dari sekian banyak bukti keramahan para pengambil kebijakan negeri ini pada imprealisme. Alih-alih menjaga kekayaan alam Indonesia dari penjarahan, para penguasa negeri justru berperan sebagai tangan panjang para imprealis. Hal ini diidentifikasikan oleh John Perkins dalam bukunya, Economy Hit Man.

 

Islam Solusi Kemerdekaan Hakiki.

Negara yang merdeka adalah yang terbebas dari penjajahan baik secara fisik, politik, ekonomi juga budaya. Negara tersebut bebas menerapkan aturannya dalam melindungi rakyatnya. Tidak lagi ada tekanan dari Negara yang pernah menjajahnya atau lainnya. Dan bagi umat Islam tentu saja Negara tersebut haruslah sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah saw.  yaitu sebuah Negara yang menerapkan aturan Allah dalam berbagai kebijakannya. Karena umat Islam yakin hanya dengan menjalankan aturan Allah saja-lah mereka akan menjadi umat yang maju yang tidak akan bisa dijajah oleh Negara mana pun. Hal tersebut telah dibuktikan oleh kaum Muslimin dimasa lalu.   Inilah kemajuan dan kebangkitan umat yang dijanjikan Allah di dalamAl-Qur’an: Islam Solusi Kemerdekaan Hakiki.

Negara yang merdeka adalah yang terbebas dari penjajahan baik secara fisik, politik, ekonomi juga budaya. Negara tersebut bebas menerapkan aturannya dalam melindungi rakyatnya. Tidak lagi ada tekanan dari Negara yang pernah menjajahnya atau lainnya. Dan bagi umat Islam tentu saja Negara tersebut haruslah sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah saw.  yaitu sebuah Negara yang menerapkan aturan Allah dalam berbagai kebijakannya. Karena umat Islam yakin hanya dengan menjalankan aturan Allah saja-lah mereka akan menjadi umat yang maju yang tidak akan bisa dijajah oleh Negara mana pun. Hal tersebut telah dibuktikan oleh kaum Muslimin dimasa lalu.   Inilah kemajuan dan kebangkitan umat yang dijanjikan Allah di dalamAl-Qur'an:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur:55)

Ibnu Katsir mengatakan; ayat ini adalah janji dari Allah kepada Rasulullah saw. bahwa Dia akan menjadikan umatnya sebagai penguasa di muka bumi. Yakni umat Islam akan menjadi pemimpin atas bangsa-bangsa lain. Saat itulah seluruh negri  akan mendapatkan kesejahteraan dan semua manusia tunduk kepada mereka. Tidak ada lagi ketakutan seperti yang selama ini menerpa kaum Muslimin.

Namun semua itu akan terjadi jika kaum Muslimin benar-benar memegang teguh keimanannya dan mengamalkan agamanya secara konsekuen dalam seluruh kehidupannya, dengan  menerapkan aturan Islam secara sempurna, maka akan dijumpai kemerdekaan hakiki yang akan mengantarkan Indonesia sebagai negeri yang mulia. Wallahu a’lam bishawab.*


latestnews

View Full Version