View Full Version
Senin, 20 Dec 2021

Terjebak Narasi Moderasi

 

Oleh:

Keni Rahayu || Influencer Dakwah Millenial

 

COOMING SOON nih. Tanggal-tanggal kritis isu toleransi. Kalau sudah Desember, pertanyaan paling ramai: Boleh gak ngucapin selamat Natal ke pengembannya? Jawabannya, boleh gak ya? Cekidot.

Yang gak kalah asoy, sosok yang sukanya pansos ke kaum muslim. Sok-sokan buat sayembara, kasih 50 juta ke siapa aja yang bisa kasih dalil Qur'an atau Hadits yang isinya larangan ucapan natal. Ialah Abu Janda. Bukan dia kayaknya kalau gak banyak gaya. Sayembara itu diumumkan Abu Janda melalui unggahan akun Instagramnya @permadiaktivis2 Rabu (15/12/2021). 

“Alhamdulillah saya punya uang Rp 50 juta. Saya berikan ke siapa pun yang bisa tunjukkan ke saya satu ayat atau satu hadits yang berbunyi larangan ucapkan selamat natal. Saya tunggu ya. Karena saya yakin tidak ada,” kata Abu (Malang Times,  6/12/21).

Kalau saya boleh bertanya balik, emang ada dalil yang bilang kalau ngucapin natal itu boleh? Memahami dalil tentu gak sereceh itu. Gak seremeh itu, bro. Tapi anehnya, giliran ada yang berhasil kasih dalilnya di kolom komen, malah dibilang cocoklogi. Gak ada tanda-tanda dikasih hadiah 50 juta. Emang suka cari ribut aja, gak bisa liat orang tenang.

Boleh Gak Sih Sebenarnya?

Banyak yang bilang kalau ucapan aja gak papa. Kan cuma mengucapkan, gak ikut merayakan, katanya. Tapi masalahnya, lisan ini suatu hari nanti akan Allah mintai pertanggungjawaban. Bagaimana mungkin kita melisankan sesuatu yang Allah tidak suka? Bukankah perayaan Natal itu adalah merayakan natalnya (hari lahir) nabi Isa As. Masalahnya, di sini nabi Isa bukan dideklarasikan sebagai nabi, tapi sebagai Tuhan. Apakah dirimu tega menduakan cinta Allah Swt? Bukankah dosa syirik/menyekutukan Allah adalah dosa yang tidak terampuni?

Di Balik Narasi Moderasi

Isu toleransi ini santer disuarakan mengiringi momen nataru. Dengan resiko, siapa yang gak mau ngucapin selamat Natal, artinya ia tidak toleransi. Tentu saja narasi ini berdiri tegak di atas kalimat semua agama sama. Apa lagi kalau bukan liberalisme dan sekularisme yang jadi penopangnya. Di dalam itu ada ide pluralisme sekaligus moderasi. Akankah kita dengan lugu terjebak gagasan sesat ini?

Katanya sih, tak ada pengaruh apa-apa sebab kita sekadar mengucapkan saja, tidak mengubah hati kita. Begitu katanya. Padahal, syahadat juga dilisankan saja. Tapi dampaknya luar biasa. Pengikrar syahadat bisa berubah statusnya menjadi mualaf meski “hanya” melafalkan syahadat. Maka jangan sekali pun meremehkan ucapan kita. Ini salah satu visi keji di balik narasi moderasi. 

Sebenarnya, ini adalah bentuk baru tuduhan jahat terhadap kaum muslim. Dulu kaum muslim dituduh sebagai teroris. Masa berlalu. Sinetron itu tak lagi laku. Lagu lama berganti lirik menjadi "radikal dan ekstrim". Maka, agar tidak seram menjadi radikal, berjalan saja di tengah. Moderasilah solusinya. Beginilah nalar murni visi di balik moderasi.

Bagaimana Islam Memandang Moderasi

Tentu saja moderasi bukan berasal dari Islam. Bahkan istilah umat wasat pada QS. Al Baqarah ayat 143 yang sering digadang penggagas ide moderasi, sejatinya bukanlah dalil Islam moderat. Ayat ini bermaksud menyerukan manusia berlaku adil, pada tempatnya. Tidak ekstrim bak Yahudi maupun Nasrani. Adil. Itu adalah Islam. 

Maka menyelesaikan semua masalah umat hari ini bukanlah dengan moderasi, melainkan Islam. Karena Islam satu-satunya solusi cemerlang dari setiap masalah manusia. Termasuk dalam hal toleransi, jangan ajari Islam. Hanya Islam yang menyerukan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah:256). Islam juga menyampaikan bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS. Al-Kafirun:6). Islam juga ajarkan bahwa kita dilarang mencaci sesembahan orang-orang kafir (QS. Al-An'am:108). 

Maka cukup dengan membiarkan pemeluk agama selain Islam menjalani ibadah sesuai aturan mereka, tanpa kita halangi, tanpa kita caci. Sungguh benar-benar cukup, kita biarkan mereka menjalani keyakinannya. Kita tidak perlu turut merayakan bersama, mengucapkannya, atau membantu proses perayaannya. Sebab berbahaya. Itu bukan toleransi, tapi menggadaikan akidah sendiri. Nauzubillahu min zalik. Wallahu a'am bishowab.*


latestnews

View Full Version