View Full Version
Selasa, 06 May 2014

Gedung DPR: Panggung Sandiwara Anggota Parlemen

Sahabat Voa Islam,

Hasil final pileg 2014 memang belum diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sementara itu, hasil Quick Count memperlihatkan siapa yang bakal duduk di Senayan sebagai anggota DPR RI periode 2014 -2019. Bahkan sejumlah caleg memastikan diri terpilih. Memang di berbagai provinsi sudah melakukan rekapitulasi suara sehingga masing-masing partai sudah bisa memastikan siapa-siapa saja jagoannya mendapatkan jatah kursi di Senayan.

Seperti pemilu sebelumnya, para caleg hanya berasal dari kalangan politisi. Ada juga dari pengusaha, dari pengamat politik sampai pengamat olahraga, peneliti, bahkan para artis. Ada yang berperan sebagai pemain sinetron, drama, hingga komedian. Partai politik justru diuntungkan karena tidak butuh waktu yang lama dan dana yang besar untuk mempromosikan caleg-caleg mereka.Karena dari sisi popularitas telah mereka miliki, bukankah popularitas merupakan modal utama dalam demokrasi?

Partai Amanat Nasional (PAN) misalnya, memastikan jagoannya dari artis papan atas, Eko Patrio, Primus Yustiso, Desi Ratnasari, Anang Hermansyah dan Lucky Hakim melenggang ke Senayan. Hal ini disampaikan oleh Ketua Badan Pemenangan Pemilu PAN Viva Yoga Mauladi, usai diskusi Forum Kamisan Formappi 'Membahas Isu Politik Aktual secara Kritis, Tajam dan Konstruktif' di kantornya, Jl Matraman Raya, Jakpus, Kamis (24/4/2014)."PAN itu Partai Artis Nasional, Partai Atlet Nasional dan Partai Anak Negeri. Kita tidak boleh beri sekat karena mereka itu artis. Justru kita beri nilai profesionalnya. Apa artis itu nggak berkualitas? Apa artis nggak boleh berpolitik? Kita sudah ada proses seleksi dan mereka sudah lolos seleksi,”. jelasnya. Kemudian ditambahnya lagi."Desi lolos karena punya latar pendidikan politik dan hukum. Kalau Anang karena lebih disenangi masyarakat dan lagunya banyak dikenal". Memang PAN menjadi parpol dengan artis terbanyak di pemilu 2014. Ada 18 caleg artis dari PAN yang mengadu nasib ke Senayan.

Syamsudin Haris, peneliti politik senior dari Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan bahwa ''Munculnya caleg-caleg artis adalah juga kegagalan pendidikan di Indonesia tentang politik”. Ditambahnya lagi "Artis-artis ini, saya melihat, tak punya lejitimasi pendidikan ataupun moralitas yang jelas. Apalagi kalau untuk duduk di roda pemerintahan. Saya apatis dan kecewa," ujar dia.(Republika,10/02/2014).

Dalam sejarah perpolitikan dunia, artis alih profesi menjadi politisi bukan hal yang langka. Presiden ke-13 Filipina Joseph Estrada, mantan Gubernur California Arnold Schwarzenegger, mantan Walikota Carmel Clint Eastwood, dan Presiden Partai Peronis Perempuan Argentina Evita Peron adalah beberapa selebriti yang pernah mencicipi karier di dunia politik. (vivanews, 14 Maret 2014)

Tetapi yang menjadi pertanyaan besar adalah mampukah mereka menjalankan amanah rakyat yang telah memilih dan memberikan kepercayaan, harapan, dan cita-cita kepada mereka? Jangan-jangan mereka juga tidak memahami permasalahan rakyat yang mereka wakili, karena selama ini kehidupan meraka sangat jauh kalau dibandingkan dengan rakyat yang memilih. Kehidupan jet set dan glamour. Serta tidak berlepas dari berbagai persoalan yang melilit.

Politisi Sejati

Apa gerangan politisi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa politisi sama dengan politikus. Keduanya bermakna ahli politik, ahli kenegaraan dan orang yang berkecimpung dalam bidang politik. Namun, benarkah politisi sekarang ahli sesuai dengan makna tersebut?

Padahal dalam Islam, politik bermakna ri’âyah syuûni an-nâs, yakni mengurusi urusan masyarakat. Berdasarkan hal ini politisi/politikus mestinya adalah orang-orang yang menyibukkan dirinya dalam mengurusi urusan rakyat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki cara berpikir untuk mengurusi pemerintahan dan urusan rakyat; memiliki sikap jiwa (nafsiyah) yang baik; memiliki keahlian dan kemampuan untuk menjalankan perkara kenegaraan; menyelesaikan problematika kerakyatan yang tengah dihadapi dan menuntaskannya penuh kebijaksanaan dan keadilan. Mereka juga adalah orang-orang yang mampu mengatur berbagai interaksi dengan masyarakat dan antar anggota masyarakat. Jadi, politisi sejati memfokuskan perhatiannya pada urusan rakyat serta berjuang demi kebaikan dan keberkahan rakyat. Berbeda dengan itu, politisi semu hanyalah memikirkan kepentingan dirinya atau kelompoknya.

Aktivitas seperti ini adalah aktivitas bentukan yang melalui proses pemahaman tentang ideologi yang diembannya. Permasalahan saat ini adalah ketika ideologi saat ini (kapitalis-sekular) melahirkan aktivitas politik yang pragmatis.Sehingga lahirlah politisi-politisi yang juga pragmatis. Sehingga bisa kita bayangkan produk kebijakan seperti apa yang dihasilkan oleh para politisi kita.

Belum lagi, demokrasi menjadikan politisi bersikap pragmatis dan nir-ideologi. Rujukan dalam membuat hukum pun bukan berasal dari hukum-hukum Allah Swt. Mereka cenderung menuruti akal yang tebatas. Serta kepentingan partai dan kelompok yang tidak memihak rakyat. Di sisi lain, intervensi asing melalui politik menjadikan aggota legislatif tidak berdaya. Bisa dipastikan siapa pun itu yang duduk di gedung senayan tak ubah akan memainkan sandiwara. Seolah mereka berfikir untuk rakyat, tapi hakikatnya menikam rakyat. Jika demikian, apakah sumber kerusakan di negeri ini berasal dari tempat berkumpulnya anggota legislatif? Lantas, sistem politik apa yang akan memanusiakan manusia? Tinggalkan demokrasi! Kembalilah pada keagungan politik Islam. Wallahu a’lam bisshawwab

Oleh: Rudini (Lajnah Siyasiyah HTI Surabaya)


latestnews

View Full Version