Solusi Pemerintah
Melihat gambaran bencana kekeringan yang melanda negeri ini berikut dampak yang ditimbulkannya, pasti akan memunculkan pertanyaan, ‘apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah?’.
Bencana kekeringan yang dipengaruhi oleh anomali iklim El Nino ini bukanlah kali pertama melanda negeri ini. Dalam catatan bencana di Indonesia El Nino yang terjadi pada tahun 1997-1998 merupakan fenomena yang memiliki dampak paling kuat. Kerugian yang dialami Indonesia terutama terjadipada sektor pertanian dan kehutanan.
Saat itu kekeringan melanda 3,9 juta hektar lahan pertanian dengan total kerugian 466 juta dollar AS. Sementara itu, kebakaran hutan dan lahan terjadi pada 11,6 juta hektar dengan total kerugian 2,75 miliar dollar AS.Dari luas total hutan yang terdampak ketika itu, terdapat 1,45 juta lahan gambut yang kaya karbon. Ini mengakibatkan emisi karbon dioksida sebesar 2,5 gigaton atau setara 40 persen emisi global.
Angka emisi karbon yang menggila tersebut berdampak luar biasa hebat pada kebakaran hutan dan seketika mencemarkan langit Indonesia dengan warna hitam pekat akibat kebakaran hutan. Kala itu, lebih dari 20 juta penduduk Asia Tenggara terkena serangan pada kesehatan pernapasan.Bahkan ketika itu banyak pakar ekonomi memprediksi bahwa gejala El Nino 1997 menjadi pemicu paling masuk akal atas krisis moneter Indonesia yang paling parah sepanjang sejarah bangsa.
Pengalaman bencana kekeringan akibat El Nino 1997-1998 seharusnya menjadi pelajaran bagi pemeritah untuk bisa menghadapi bencana kekeringan akibat musim kemarau di tahun yang akan datang. Akan tetapi, seperti bencana kekeringan yang terjadi saat ini,pemerintah terkesan lamban dan masih meraba-meraba solusi apa yang paling tepat untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah kekeringan ini.
Sekalipun pemerintah sudah melakukan berbagai tindakan untuk mengatasi dan mencegah dampak yang lebih buruk akibat kekeringan, akan tetapi semuanya hanya tambal sulam dan aksi-reaksi saja. Pemerintah baru akan bekerja ketika telah terjadi bencana. Ketika bencana belum datang pemerintah abai terhadap berbagai hal yang berpeluang menyebabkan kekeringan. Seperti apa yang dikutip dariKompas.com (26/9/2009) yang menyebutkan bahwa sekitar 500 hektar areal hutan di NTB berada dalam keadaan kritis akibat penebangan.
Sungguh sangat disayangkan negeri yang mayoritas muslim (apalagi terbesar di dunia), pemimpinnya pun muslim, menjadi negeri yang terpuruk dengan berbagai masalah yang tidak terselesaikan
Kondisi hutan yang kritis ini, menurut berita itu, menyebabkan sumber mata air di NTB berkurang drastis dari 700 menjadi hanya 200. Disebutkan juga, pada waktu itu, masih ada lima pengusaha yang akan melakukan investasi di bidang kehutanan dengan luas area lebih dari 25.000 hektar. Gubernur NTB sendiri, Muhammad Zainul Majdi pada 2009 secara terbuka menyatakan di media bahwa banjir yang melanda Kabupaten Lombok Utara terjadi karena dipicu oleh tindakan penebangan liar (Viva.co.id, 2009).
Sementara itu, aktivitas penambangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing di berbagai wilayah negeri kita sebenarnya juga turut memicu minimnya vegetasi di sekitar areal pertambangan. Padahal bisa jadi, daerah sekitar penambangan adalah daerah sabuk hijau atau pusat tangkapan air. Kondisi ini tentunya akan semakin parah tatkala pemerintah semakin membuka luas investasi asing untuk mengelola dan mendayagunakan hutan kita.
Apalagi setelah pidato presiden yang mengundang para investor asing untuk masuk ke negara kita saat pidato kenegaraan di APEC beberapa waktu yang lalu, mengakibatkan laju PMA di sektor pertambangan mencapai 1,1 miliar dollar AS (17,3%) (koran-jakarta.com) 5/05/2015. Tentu hal ini akan semakin mempersempit tempat-tempat resapan/tangkapan air.
Terkait dengan krisis air bersih, yang sudah dilakukan pemerintah adalah dengan mengirim tanki-tanki air atau memberikan bantuan pompa air ke beberapa titik kering. Akan tetapi solusi itu pun hanya bisa menyelesaikan kekeringan di tempat-tempat yang dapat dijangkau oleh mobil tanki air, sementara tempat-tempat yang terpencil? Warga di tempat-tempat tersebut hanya bisa gigit jari sambil meratapi nasib kapan kemarau akan berakhir. Padahal seharusnya, pemerintah bisa berbuat lebih dari itu, sebab Indonesia sebenarnya masih mempunyai beberapa tempat yang dapat menyediakan air bersih bagi kebutuhan rakyatnya.
Akan tetapi ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan privatisasi/swastanisasi air sejak tahun 1993 (pertama kali di daerah Serang, Jawa Barat) maka jadilah tempat-tempat tersebut tidak bisa mensuplai kebutuhan air rakyat. Sebab pemerintah telah menjual sumber kebutuhan pokok rakyatnya tersebut kepadaasing dan sekaligus menguntungkan mereka di atas penderitaan rakyatnya sendiri. Padahal air termasuk kebutuhan sangat vital bagi rakyat.
Dari gambaran di atas, nampak bahwa upayayang dilakukan oleh pemerintah hanya mengupas/mengurai permukaan masalahnya saja. Tidak sampai menyentuh ke inti keruwetan dan akar permasalahannya. Hak penetapan regulasi yang ada pada pemerintah sebenarnya memiliki peranan yang cukup besar dalam meminimalisasi penyebab dan dampak buruk dari kekeringan. Akan tetapi nampaknya tanggung jawab negara sebagai pihak yang berkewajiban untuk melindungi dan menyediakan layanan dasar seperti air bagi rakyatnya telah hilang dan dialihkan peran tersebut kapada pihak swasta. Dalam hal ini peran negara terus digerogoti, dan negara hanya berperan sebagai regulator saja tidak lagi menjadi penyedia layanan.
Cara Khilafah Mengatasi Kekeringan
Masalah kekeringan, selain merupakan masalah teknis akademis dan keahlian, juga merupakan masalah non-teknis. Oleh karena itu maka solusinya pun berbeda.
Dalam konteks yang pertama, teknis akademis dan keahlian, maka Khilafah melalui Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika [BMKG], dengan tim terbaik yang dikumpulkan dari seluruh dunia akan melakukan kajian secara menyeluruh, cermat dan akurat untuk melakukan pemetaan iklim, kondisi cuaca, potensi panas, hujan, termasuk dampak dan pemanfaatan keduanya untuk tanaman. Termasuk juga di dalamnya rekayasa dan solusi yang dilakukan oleh khilafah ketika menghadapi atau menyiasati kondisi ekstrim, baik yang bersifat jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.
Rekayasa dan Solusi Khilafah Mengatasi KekeringanSecara Teknis Akademis
Secara teknis akademis kekeringan bisa diatasi, antara lain dengan cara:
Adapun untuk mengatasi kekeringan, karena faktor klimatologis Negara Khilafah akan melakukan:
Rekayasa dan Solusi Khilafah Mengatasi Kekeringan Secara Non Teknis Akademis
Kekeringan yang terjadi saat ini bisa saja merupakan, teguran, peringatan, atau bahkan azab dari Allah SWT agar kitamengintrospeksi diri apakah selama ini kita melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, atau kita berdiam diri terhadap perbuat kemaksiatan yang terjadi di hadapan kita.
Oleh karena itu Khalifah sebagai perisai dan pelindung umat, akan memimpin seluruh rakyatnya untuk berdoa dan memohon kepada Allah SWT, dengan mendekatkan diri kepadaNya, meninggalkan kemaksiatan dan menutup tempat-tempatnya, baik melalui shalat istisqa’, anjuran untuk berdoa dan mendoakan di hari, waktu dan tempat yang mustajab agar Allah menurunkan hujan untuk kemaslahatan umat.
Ini pernah terjadi di masa Nabi saw. ketika Madinah mengalami kekeringan, masyarakat datang menghadap Nabi sebagai kepala negara untuk berdoa, agar Allah menurunkan hujan. Nabi saw. pun mengajak penduduk Madinah untuk melakukan shalat istisqa’ di lapangan, yang kini dibangun Masjid Ghamamah. Setelah itu, hujan pun turun tak henti-henti sepanjang hari, sampai mereka pun datang kembali kepada Nabi saw. untuk berdoa, agar hujan berhenti. Demikian pula pada masa ‘Umar bin Khatthab menjadi Khalifah, sungai Nil meluap hingga menyebabkan terjadinya banjir di daerah sekitarnya.
Bencana yang datang silih berganti di negeri ini bisa jadi disebabkan karena negeri ini telah mendustakan ayat-ayat (hukum) Allah dan lebih memilih menerapkan hukum-hukum kufur kapitalis, liberalis
‘Umar pun menulis surat kepada sungai Nil, agar berhenti meluap. Sungai itu pun berhenti. Sa’ad bin Abi Waqqash, panglima Perang Qadisiyah, ketika hendak menaklukkan Persia, harus menaklukkan sungai Dajlah. Sa’ad yang doanya memang mustajab itu memimpin doa, dan bersama pasukannya beliau berhasil melintasi sungai yang ganas itu bersama pasukan berkuda.
Hal yang patut kita renungkan adalah firman Allah SWT “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” [Q.s. al-A’raf: 96].
Bencana yang datang silih berganti di negeri ini bisa jadi disebabkan karena negeri ini telah mendustakan ayat-ayat (hukum) Allah dan lebih memilih menerapkan hukum-hukum kufur kapitalis, liberalis. Karenanya, negeri ini selalu dihadapkan dengan masalah yang tanpa ada solusinya, kalaupun ada, solusi tersebut akan selalu menunculkan masalah yang baru.
Sungguh sangat disayangkan negeri yang mayoritas muslim (apalagi terbesar di dunia), pemimpinnya pun muslim, menjadi negeri yang terpuruk dengan berbagai masalah yang tidak terselesaikan. Padahal umat Islam adalah ‘kuntum khaira ummat’, pernah tercatat sebagai kiblatnya peradaban dunia, temuan-temuan sains dan teknologinya luar biasa. Tetapi karena umat ini mencampakkan Islam dan menghamba pada hukum dan negara kufur maka seperti inilah balasannya.
Oleh karena itu jika kita ingin mengembalikan pada keberkahan yang akan dilimpahkan Allah dari langit dan bumi, maka tiada ada hal lain selain kembali pada syariah Allah, pemimpinnya menerapkan hukum-hukum Allah dalam naungan sebuah negara seperti yang dicontohkan oleh Rosulullah SAW yaitu negara Khilafah. Habis. [syahid/voa-islam.com]