Oleh: Edy Mulyadi*
Pekan-pekan ini Badu sedang ‘memanen’ tudingan dari sejumlah pihak sebagai manusia yang mencla-mencle alias tidak konsisten. Semua bermula dari pilihannya mengangkut penumpang dari Kota ke Blok M. Ya, sudah sebulan ini ini dia menjadi pengemudi Trans Jakarta koridor 1.
Padahal, selama lebih dari 17 tahun dia setia membawa penumpang rute Bendungan Hilir alias Benhil-Tanah Abang. Dengan bemo kebanggaannya yang sudah uzur, Badu dan penumpangnya harus ikhlas menempuh jarak yang menurut google maps kurang dari 2,5 km itu, dengan durasi lebih dari setengah jam.
Nah, alih profesi dan alih rute tersebut yang membuahkan kritik, juga hujatan. Alasannya, ya itu tadi, Badu mencla-mencle. Harusnya dia konsisten. Sekali bemo ya selamanya tetap bemo, dong. Harusnya, jika sudah berada rute Benhil-Tanah Abang mbok yao jangan berganti rute lain.
Tapi Badu punya alasan yang pas untuk menepis berbagai kritik dan hujatan. Alasannya, antara lain, tidak mungkin dia bertahan menyusuri rute Benhil-Tanah Abang dengan menggunakan Trans Jakarta. Kalau pun dia nekat, aturan yang ada tidak mengizinkan hal itu terjadi.
Alasan berikutnya, kebutuhan hidupnya juga sudah lebih besar dibandingkan 17 tahun silam, saat dia pertama kali menyetir bemo. Hanya mengandalkan bemo tuanya untuk mengais rejeki guna memenuhi kebutuhan hidup di ibu kota, rasanya nyaris mustahil. Jadi, (terpaksa, lah) dia menyingkirkan bemonya dan mengganti dengan bus Trans Jakarta.
Alhamdulillah, penjelasan sederhananya itu mengena. Teman-teman yang sebelumnya menghujani dia dengan kritik dan cemooh, mulai memahami. Bahkan banyak di antaranya yang justru mendukung langkahnya tersebut. Kini dia bisa menekuni profesi barunya dengan tenang dan senyum makin terkembang.
Cerita tentang si Badu di atas bisa fakta, bisa juga fiktif. Namun, baik fakta maupun fiktif, pesannya sama. Tidak mungkin memaksa orang untuk tetap konsisten dengan situasi dan kondisi yang berbeda atau berubah. Justru salah satu keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk Allah yang lainnya adalah kemampuannya melakukan adaptasi. Bukan cuma itu, dengan akal budinya manusia malah dianugrahi kemampuan untuk ‘menaklukkan’ keadaan dan tantangan menjadi peluang.
Kalau para pengeritik Badu bisa dibuat mengerti bahkan mendukung dengan penjelasan sederhana, tenyata itu tidak terjadi pada para pengeritik Haposan Napitupulu. Tenaga Ahli bidang energi Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli (RR) itu tengah menuai kritik dan hujatan. Pasalnya, dulu dia mendukung pengembangan lapangan gas abadi Masela dengan pembangun kilang laut alias floating (FLNG) plant atau mencla-mencle. Namun, kini Haposan balik badan, jadi pendukung kilang darat alias anshore.
Gonta-ganti POD
Para pengritik itu adalah kubu Jusuf Kalla (JK), Sudirman Said, dan teman-temannya yang selama ini gigih memperjuangkan kilang apung di laut. Mereka sibuk menebar opini sekaligus stigma, bahwa Haposan tidak konsisten karena sekarang ikut langkah Rizal Ramli sebagai bos barunya. Padahal, dulu, ketika masih duduk sebagai pejabat SKK Migas, justru Haposan yang mengusulkan plan of development (POD) lapangan Abadi blok Masela dengan skenario kilang mencla-mencle.
Saya sudah menghubungi Haposan untuk perkara ini. Doktor geologi perminyakan lulusan University of Texas itu ternyata punya penjelasan yang masuk akal terkait perubahan sikapnya tadi. Pastinya, dia bukan sedang mencla-mencle, apalagi hanya karena mengikuti kemauan Rizal Ramli.
Begini penjelasannya. Pertama, kata Haposan, para pengritiknya adalah orang-orang yang tidak paham proses persetujuan POD. Sayangnya, mereka justru berlagak paling mengerti sehingga merasa berhak menyemburkan cemooh sekaligus stigma.
Sejalan dengan Peraturan Tata Kelola (PTK) POD, disebutkan POD yang telah disetujui harus direvisi jika terjadi tiga perubahan. Pertama, volume besaran cadangannya berubah (membesar atau mengecil). Kedua, terjadi perubahan rencana besaran biaya pengembangan. Ketiga, ada perubahan atas skenario pengembangan. Satu saja dari tiga perubahan itu terjadi, maka POD harus direvisi.
Pada konteks Masela, temuan awal cadangan gas di sana adalah 6-7 trillion cubic feet (tcf). Hasil kajian juga memutuskan memilih membangun kilang offshore. Dengan mengalirkan ke pulau Aru yang berjarak sekitar 600 km. Maklum, saat itu pulau Aru dianggap paling memungkinkan. Memang ada pulau yang lebih dekat, yaitu pulau Selaru. Namun studi saat itu menyebutkan ada palung yang dalam sehingga tidak mungkin dilalui pipa bawah laut. Belakangan terbukti kemiringan palung itu ternyata hanya 2-3 derajat.
Alasan berikutnya, dengan cadangan 6-7 tcf, Blok Masela hanya bisa memproduksi gas sebanyak 2,5 mtpa. Itulah sebabnya, pengembangan dengan membangun kilang apung di laut lebih feasible dari pada dibawa ke darat.
Sebagai pejabat yang berwenang di SKK Migas, Haposan menyetujui usulan sekanrio POD kilang laut pada 2010. Asal tahu saja, POD pertama diajukan pada 2008. Namun sekitar tujuh tahun kemudian, Inpex selaku operator mengajukan POD kedua, pada Oktober 2015. Kali ini disebutkan cadangan yang semula ‘hanya’ 6-7 tcf, ternyata membengkak jadi 28 tcf dengan kapasitas produksi 7,5 mtpa. Artinya, melonjak sekitar 300%.
Nah, berbekal temuan dan data terbaru itulah Haposan kemudian berubah sikap. Sebelumnya dia setuju kilang apung, kini berbalik mendukung pembangunan kilang darat. Pada titik ini, kita bisa kembali pada tamsil kisah Badu dengan bemonya. Dulu, waktu jadi supir bemo, Badu menyusuri rute Benhil-Tanah Abang. Kini, dengan bus Trans Jakarta, rutenya jadi jauh lebih panjang, Kota-Blok M. Alasannya, dulu bodi dan kapasitas bemo kecil dan sedikit. Sedangkan wujud bus Trans Jakarta jauh lebih besar dan trayeknya jauh lebih panjang.
Pada konteks ini, saya ingin bertanya kepada JK, Sudirman Said dan kawaan-kawannya, mengapa mengapa kalian tetap ngotot menghendaki kilang apung? Bukankah data dan fakta Masela berkembang seperti sekarang, yaitu cadangan naik dari 6-7 tcf menjadi 28 tcf dan kapasitas produksi membengkak dari 2,5 mtpa ke 7,5 juta mtpa? Tidakkah kalian bisa berpikir lebih jernih sebagaimana yang telah Haposan lakukan dengan berbalik badan?
Bukankah hitung-hitungan teknis yang kalian sodorkan, bahwa kilang apung lebih murah dibandingkan kilang darat, itu seluruhnya bersumber dari Inpex dan Shell? Mengapa kalian menelan mentah-mentah data pihak asing, yang pasti sarat dengan muatan kepentingan mereka? Bukankah mereka sengaja membesar-besarkan (mark up) biaya kilang darat dan mengecil-kecilkan kilang laut? Sebagai pihak luar, bagaimana mungkin orang asing akan berjibaku untuk mensejahterakan bangsa dan rakyat Indonesia? Tidakkah semua kalkulasi ini masuk dalam nalar dan nurani kalian?
Saya tahu, bahwa latar belakang pendidikan dan pengalaman JK-SS sama sekali bukan jauh dari jangkauan soal-soal teknis permigasan. Namun, dengan berprasangka baik, saya ingin menyampaikan penjelasan Haposan terkait temuan data dan fakta yang berujung pada perubahan sikapnya.
Begini. Dengan temuan cadangan gas Masela yang sekitar 28 tcf, seharusnya gas Masela tidak sekadar dijadikan produk LNG. Pasalnya, untuk mengubah gas menjadi LNG diperlukan tambahan biaya sekitar US$2-3/mmbtu. Saat LNG akan dimanfaatkan, harus diubah kembali menjadi gas dengan biaya yang juga US$2-3/mmbtu. Artinya, proses dari gas ke LNG dan kembali ke gas memberi tambahan biaya sekitar US$4-6/mmbtu.
Dengan fakta tersebut, akal sehat dan nurani yang bersih seharusnya berpikir bagaimana caranya gas Masela bisa memberi nilai tambah bagi penduduk negeri ini. Kalau kilang dibangun di laut, maka gas dari Masela hanya diangkut ke luar negeri dalam bentuk LNG. Dari sini Pemerintah akan menerima sekitar US$2,5 miliar/tahun. Sementara itu penduduk Maluku dan sekitarnya cuma jadi penonton sambil gigit jari.
Sebaliknya, jika kilang dibangun di darat mereka dapat ikut menikmati berkah dari Allah Yang Maha Pemurah kepada bangsa ini. Paling tidak, akan ada banyak multiplier effect buat mereka. Dengan mengalirkan gas ke pulau Selaru lewat pipa sepanjang 90 km, sebagian gas itu bisa dimanfaatkan untuk pengembangan wilayah Maluku. Antara lain, mendistribusikan CNG ke pulau-pulau sekitarnya menunjang pembangkit listrik dan industri lainnya. Indonesia akan punya kota Balikpapan atau Bontang baru.
Aspek multiplier effect inilah yang akan mengakselerasi pembangunan ekonomi Maluku dan sekitarnya. Akan terjadi penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat sekitar, ada penyerapan tingkat kandungan lokal, transfer teknologi, maupun pembangunan industri petrokimia dan lainnya. Dari sini, negara pun bakal meraup sekitar US$6,5 miliar/tahun.
Bagaimana mungkin bicara tentang multiplier effect, tentang percepatan pembangunan ekonomi rakyat Maluku dan sekitarnya, kalau membangun kilang di laut? Bagaimana bisa bicara tentang pabrik petrokimia, tentang penyerapan tenaga kerja, tentang tingginya kandungan lokal, dan transfer teknologi kalau yang dibangun adalah kilang apung di laut?
Saya kok menjadi prihatin sekaligus sedih. Sebegitu dahsyatkah iming-iming kelompok asing itu, hingga mampu membuat kalian mengabaikan akal sehat? Sebagai anak bangsa yang menghendaki kemashlahatan bagi sebesar-besarnya bagi rakyat Maluku dan di Indonesia bagian timur, saya seharusnya marah kepada kalian. Mengapa kalian tega membunuh hati nurani kalian sendiri, hingga tega membiarkan saudara-saudara kita di bagian timur tetap berada dalam jeratan kemiskinan? Sebegitu dahsyatkah iming-iming kelompok asing itu?
Tapi baiklah, mungkin hitung-hitungan tadi tidak masuk dalam nalar kalian karena kadung disesaki berbagai kepentingan. Satu hal yang ingin saya tanyakan, kenapa kalian tidak mematuhi Presiden? Bukankah Presiden Joko Widodo dalam rapat-rapat kabinet dan rapat terbatas telah memberi arahan, agar pemanfaatan gas bumi tidak hanya dijadikan sumber pemasukan dalam bentuk devisa? Gas Masela juga harus dilihat sebagai sarana penggerak ekonomi, baik secara nasional maupun, terutama di daerah sekitar lokasi ladang gas.
Sangat mengherankan jika kalian yang konon orang-orang pandai, bahkan banyak yang menyabet gelar doktor, gagal memahami arahan Presiden. Dengan diksi yang lebih sederhana, arahan Presiden itu kan sama artinya dengan ‘perintah’ Presiden untuk mengembangkan blok Masela dengan skenario kilang di darat.
Sebagai wakil dan pembantu Presiden, bukankah sikap JK-SS ini adalah subordinasi alias pembangkangan. Perbuatan ini jauh lebih berbahaya ketimbang tudingan kalian terhadap Rizal Ramli sebagai pembuat gaduh. Apalagi kalau tudingan itu dilontarkan karena ‘kegaduhan’ yang diciptakan Menko Maritim dan Sumber Daya itu telah mengusik keasyikan tikus-tikus yang hendak berpesta pora menjarah sumber daya alam (SDA) milik rakyat.
Pembangkangan kalian juga jauh lebih serius dibandingkan tudingan kalian bahwa RR seenaknya mengubah nomenklatur kementeriannya. Katanya mau bantu Presiden, kok malah gitu? [syahid/voa-islam.com]
*) Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)